Ombak Laut Arafuru menderu menabrak bebatuan di pinggir pantai, sedangkan di sisi kiri, ombak bergulung menuju hamparan pasir putih.
Turun-temurun
Dianne Biritjalawuy Gondarra dari klan Golumala, penduduk asli Aborigin dari suku Yolngu yang menyertai perjalanan kali ini menuturkan, pantai ini diberi nama Macassan Beach karena menurut cerita turun-temurun di keluarganya ini menjadi lokasi berlabuhnya para pelaut Makassar ketika rutin datang dari abad terakhir 17 hingga awal abad 19.
Paul Thomas, Coordinator Indonesian Studies School of Languages, Literatures, Cultures and Linguistics dari Monash University, mengungkapkan hal yang senada dengan Dianne.
“Macassans Beach itu nama yang diberi oleh orang Eropa. Oh itu pantai yang sering dikunjungi orang dari Makassar,” tutur Paul ketika ditemui di Monash University, akhir Mei lalu.
Kisah hubungan dagang dan persahabatan antara penduduk Yolngu dan pelaut Makassar meninggalkan kesan yang dalam nan indah yang terus diceritakan turun–temurun.
Hingga akhirnya kisah mesra selama hampir 1,5 abad itu sirna karena pelaut Makassar tak pernah datang lagi setelah pemerintah South Australia mewajibkan para pelaut yang ingin memanen teripang di kasawan Australia untuk membayar pajak. Peristiwa ini meninggalkan lara bagi penduduk Yolngu.
“Semuanya kolaps. Orang-orang tidak memiliki motivasi untuk hidup. Semuanya diambil dari mereka, penghidupan sehari-hari. Kami ingin memulai hubungan itu lagi, mulai berdagang dan bersahabat kembali seperti dahulu,” ungkap Dianne.
Kenangan manis terhadap Mangathara direkam dalam sebuah taman dengan walking track sepanjang 200 meter di tempat ini.
Pada papan keterangan di pintu gerbang taman dijelaskan, orang-orang Makassar datang ke tanah Yolngu mulai pertengahan 1700-an sampai 1907. Mereka datang untuk memanen teripang yang akan dijual ke pasar di China.
“Yolngu masih mengingat momen ini hingga sekarang,” demikian tertulis.
Tanah ini sebelumnya didiami oleh klan Lamamirri. Namun, setelah kelompok ini punah, Garahan, lokasi pantai ini berada, diserahkan kepada klan Gumatj.
“Ayah saya, Nikunu, diminta oleh Bululunga (pemimpin klan Lamamirri yang terakhir) untuk menjaga tanah ini. Kami adalah penjaga negeri ini,” demikian pernyataan Djalalingba Yunupingu, pemimpin klan Gumatj, pada tahun 2005, seperti tertera di papan informasi.
Namun, perasaan ini kontras dengan kewaspadaan yang muncul ketika lekat-lekat memandang pesan yang tertera papan peringatan “Crocodile Warning” atau “Djäka Bäruwu”.
Pada papan yang berdiri di jalan masuk Macassan Beach ini, para pengunjung diberi peringatan untuk tidak berenang atau bakar-bakar ikan di pinggir pantai. Pasalnya, buaya mungkin sekali muncul di kawasan itu.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.