Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Prof Emmerson: Jokowi Lebih Menjanjikan daripada Prabowo

Kompas.com - 24/07/2014, 10:14 WIB

Apa masalah yang menjadi target pekerjaan utama Jokowi setelah dilantik? Reformasi ekonomi atau justru mengatasi intoleransi beragama dan minimnya perlindungan terhadap kaum minoritas?

Saya kira kita harus bedakan antara prioritas dan masalah. Dalam hal prioritas, saya kira prioritas utama Jokowi adalah reformasi ekonomi. Harus diakui bahwa makro-ekonomi Indonesia tidak terlalu baik, angka pertumbuhan masih di bawah 6 persen. Angka ini sebenarnya, jika ingin jujur, merupakan hal yang tidak seharusnya. Artinya, angka pertumbuhan ini masih bisa didorong lebih tinggi lagi jika Indonesia berniat tidak sekedar jadi negara berkembang.

Infrastruktur merupakan prioritas penting lain terkait reformasi ekonomi. Indonesia dikenal sebagai negara yang punya sumber daya beragam, minyak, emas, mineral, dll, sehingga infrastruktur merupakan hal vital. Jalan, jembatan, pelabuhan, bandara, dll. Infrastruktur merupakan hal yang sangat vital. Tanpa infrastruktur yang memadai, Indonesia akan tertinggal secara domestik dan luar negeri. Padahal, ini sangat penting untuk mendorong angka pertumbuhan. Hal lain adalah anggaran. Hampir seperlima anggaran habis untuk subsidi BBM. Saya tahu mencabut subsidi BBM akan sangat menyakitkan rakyat, tetapi saya juga yakin  legitimasi Jokowi akan membuat rakyat memahami kebijakan ini jika ia memutuskannya pada tahun pertama setelah berkuasa.

Prioritas penting lain setelah ekonomi adalah pendidikan. Untuk mencegah terperangkap dalam kemiskinan secara terus-menerus, Indonesia harus meningkatkan kualitas pendidikan. Sebenarnya kebijakan pendidikan Indonesia sejak zaman Soeharto sudah cukup baik, terutama dari sisi kuantitas atau banyaknya jumlah anak yang bisa sekolah. Namun, dari sisi kualitas, saya kira perlu ada terobosan. Jika Indonesia tidak bisa membuat SDM-nya bersaing di pasar global, masa depannya akan kurang cerah.

Sementara itu, dari sisi tantangan, yang paling utama adalah intoleransi yang Anda sebut tadi. Meningkatnya jumlah kelompok Islam garis keras dan kekebalan hukum yang mereka miliki setelah melakukan aksi kekerasan terhadap kelompok Kristen, kelompok Islam-minoritas dll merupakan tantangan utama yang harus diatasi Jokowi. Saya sangat gembira ketika menyadari pidato kemenangan Jokowi di Pelabuhan Sunda Kelapa, yang tampaknya dimaksudkan untuk menunjukkan Indonesia memiliki akses maritim global, menggunakan beragam bahasa. Salam pembuka Jokowi dalam pidato itu tidak saja menggunakan bahasa Arab "Assalammualaikum", tetapi juga bahasa Buddha, Hindu, dll. Ini menunjukkan bahwa Jokowi sejak awal punya keberanian untuk mengatasi intoleransi beragama di Indonesia.

Tantangan kedua Jokowi adalah korupsi. Survei terbaru Gallup menunjukkan bahwa 91 persen warga Indonesia yakin bahwa korupsi meluas dari pemerintahan dan 86 persen warga yakin korupsi meluas dari dunia bisnis. Ini merupakan salah satu tantangan utama bagi Jokowi untuk memberantasnya dan menurunkan angka korupsi. Saya yakin Jokowi mampu karena dalam salah satu pernyataannya dia mengatakan "jika ada menteri yang kinerjanya tidak baik, termasuk melakukan korupsi, maka dia akan memecatnya." Ini tidak terjadi pada pemerintahan Yudhoyono, terutama pada masa jabatan keduanya. Momentum pemberantasan korupsi yang digalakkan pada masa jabatan pertama pupus begitu muncul sejumlah kasus korupsi pada masa jabatan keduanya, yang bahkan menjadi wabah tidak saja di pemerintahannya, tetapi juga partai politiknya.

Jika Jokowi menyadari masalah dan tantangan yang dihadapinya, pastinya akan terjadi perubahan kebijakan besar-besaran dalam pemerintahan Jokowi?

Ya. Namun, saya harus jujur menganalisis karena saya independen dan tidak partisan. Jokowi memang jauh lebih menjanjikan sebagai pemimpin baru dibanding Prabowo, tetapi jangan lupa partai yang mengusungnya ke puncak kekuasaan. PDI-Perjuangan dan pimpinannya Megawati Soekarnoputri bukanlah orang luar. Ia adalah orang dalam. Setidaknya pernah berada dalam lingkaran kekuasaan. Demikian pula Jusuf Kalla yang kini akan berjuang bersama Jokowi, patut diakui dia memiliki rekam jejak yang baik dalam menangani berbagai isu, terutama konflik di Aceh dan Poso, tetapi dia juga orang dalam. Dia juga bagian dari elite politik. Latar belakangnya di Golkar, partai yang kini justru mendukung Prabowo. Jadi, saya optimistis, tetapi juga waspada, berhati-hati melihat pengambilan kebijakan Jokowi nantinya. Jika Anda mencoba memosisikan diri dalam posisi Jokowi dan menjadi incumbent, banyak hal akan berubah. Dalam arti, dia akan menyadari bahwa banyak hal yang harus dilakukan dan tanggung jawab yang harus dipikul lewat kompromi.

Apakah mungkin terjadi kompromi, atau saya lebih suka menggunakan kata "rekonsiliasi", di antara kubu Jokowi dan Prabowo? Mungkinkah Jokowi menawarkan sejumlah posisi bagi Prabowo?

Ini topik yang krusial. Karena begini, setelah pengumuman KPU dan ada penetapan pemenang secara sah, tanpa gejolak, mungkin banyak warga dan pemimpin dunia merasa lega. Mereka mulai mengalihkan perhatian ke Ukraina, krisis Israel-Palestina, dll. Tetapi, saya tidak. Menurut saya, masa di antara saat pengumuman KPU 22 Juli hingga pelantikan Oktober nanti justru merupakan masa-masa genting. Jelas bahwa partai-partai yang mendukung Prabowo bisa akan bubar atau keluar dari koalisi yang mereka ciptakan. Mereka akan mencari kesempatan untuk bergabung dengan Jokowi yang saat ini hanya menguasai 37 persen kursi di DPR.

Harus diakui bahwa meskipun Jokowi jadi presiden, dia adalah presiden minoritas karena partai-partai yang mendukungnya hanya merupakan kelompok kecil di DPR. Sementara itu, sistem politik Indonesia adalah campuran antara presidensial dan parlementer. Jokowi akan menghadapi kesulitan jika dia menemui tantangan dari koalisi besar yang berada di belakang Prabowo. Kabar baiknya adalah koalisi permanen Prabowo itu justru akan bubar. Namun, jangan salah, hal ini juga berpotensi menimbulkan masalah baru karena jika kita belajar dari era pemerintahan Yudhoyono yang merangkul begitu banyak partai pendukung dan merasa "kuat", padahal hanya dalam tanda petik. Dukungan yang diperoleh Yudhoyono semu dan banyak anggota kabinetnya yang mengambil kebijakan sendiri-sendiri karena merasa loyalitasnya diukur dari sikap loyal kepada partai politiknya, bukan kepada presiden.

Alhasil, pemerintahannya kacau dengan begitu banyak politisi independen dan Yudhoyono tidak bisa membuat kabinetnya kompeten. Sudah tidak kompeten, dipenuhi skandal korupsi pula. Jadi, saya kira sebaiknya hanya melakukan koalisi secara minimal, 53 hingga 54 persen, sehingga bisa mempertahankan kekuatan mayoritas tadi tanpa perlu diganggu oleh mereka yang hanya loyal pada partai politik dan bukan pada presiden. Saya menilai Jokowi cukup mampu mewujudkan hal ini karena dia pernah mengatakan bahwa hanya 20 persen dari kabinetnya yang berasal dari partai politik. Jika itu yang terjadi, saya yakin kompetensi pemerintah Jokowi akan tinggi dan korupsi bisa ditekan.

Adakah kebijakan luar negeri yang perlu diubah Jokowi?

Dari kampanye-kampanya saya melihat Jokowi menekankan perlunya memperkuat hubungan antara Indonesia dan Palestina, yaitu dengan membuka kedutaan Indonesia di Palestina. Namun, di luar Timur Tengah, saya kira banyak pihak menanti bagaimana sikap Indonesia mengatasi beragam tantangan baru di Asia Tenggara, termasuk pendekatan apa yang akan dilakukan terhadap China. Kini ada anggapan bahwa "Anda bisa mendekat ke China untuk meningkatkan kemakmuran dan mendekat ke Amerika untuk memperkuat keamanan".

Jika Jokowi benar-benar tulus saat mengungkapkan rencana untuk menjadikan Indonesia sebagai "poros maritim dunia" atau "global maritime access",dia harus mempersiapkan kebijakan untuk menghadapi China, terkait krisis di Laut China Selatan, dan tentu saja pada ASEAN. Indonesia adalah "natural leader" ASEAN, tetapi herannya dalam beberapa tahun ini Indonesia tidak suka memainkan peran penting. Kebijakan luar negeri Indonesia malah bisa dibilang "naif".

Kita dengar dari Yudhoyono bahwa kebijakan luar negeri Indonesia berlandaskan "million friends zero enemy". Itu bukan strategi, itu kontes popularitas. Saya harap Jokowi memahami luasnya Indonesia, signifikannya peran yang dimainkan, bahkan negara kepulauan terbesar di dunia dengan beragam sumber daya, sehingga kebijakan luar negerinya lebih baik. Saya kira Indonesia tidak bisa bersikap pasif saja terhadap banyak hal, terutama terhadap China. Karena jika hal ini terus terjadi, dari perspektif Amerika, jika Amerika diminta Vietnam dan Filipina untuk membantu menghadapi China, sebenarnya Amerika justru mempertanyakan peran Indonesia dan ASEAN terlebih dulu. Jika negara-negara di Asia Tenggara tidak peduli dengan konflik yang terjadi di Laut China Selatan, kenapa Amerika harus peduli? 

Pendekatan yang sekarang ini terjadi ialah "mendekat ke China untuk meningkatkan kemakmuran dan mendekat ke Amerika untuk memperkuat keamanan" bukanlah pendekatan yang baik untuk jangka panjang, apalagi bagi Amerika yang pastinya tidak ingin "dimintai" membantu menjaga keamanan Asia Tenggara, tetapi ditinggal saat Asia Tenggara mencari kemakmuran ke China. Pernyataan ini bisa jadi kontroversial, tetapi saya rasa Indonesia di bawah Jokowi harus memikirkan hal ini. Banyak pihak, termasuk Amerika, yang menunggu inisiatif Indonesia dalam berbagai isu.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com