Alhasil, Bank Sentral AS menurunkan suku bunga hingga 1 persen. Masyarakat kemudian merespons kebijakan itu. Salah satunya dengan berinvestasi di bidang perumahan.
Sayangnya, gelombang investasi itu juga berwarna spekulasi. Artinya, banyak masyarakat yang menjual kembali rumah mereka yang belum lunas ke pihak ketiga. Trik refinancing inilah yang berujung kredit macet perumahan. Tercatat, angka kredit macet mencapai 605 miliar dollar AS .
Meskipun begitu, kata Doli D Siregar, pada Selasa (29/10/2013), pemerintah AS mengambil kebijakan mengontrol harga aset-aset perumahan yang mangkrak. Caranya dengan menugaskan profesional penilai melakukan penilaian. Dengan cara itu, pemerintah AS memunyai data lengkap dan akurat untuk menuntaskan perkara kredit macet melalui penjualan rumah yang nilai dan harganya benar-benar objektif. "Ini salah satu contoh pentingnya profesi penilai,"kata Doli dalam peluncuran buku karyanya bertajuk Breakthrough Profesionalisme Penilai Indonesia bersama Masyarakat Penilai Indonesia (Mappi).
Dalam lingkup di Indonesia, profesi penilai juga menjadi bagian penting agar spekulasi tidak merugikan keuangan negara. Menurut catatan Doli yang termaktub dalam bukunya di halaman 3 dan 4, pemerintah pernah kehilangan uang banyak saat krisis ekonomi 1998 merebak. Waktu itu, melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), pemerintah mengambil alih aset-aset bank yang bangkrut. Klaim nilai aset itu mencapai Rp 650 triliun. Sementara, duit pemerintah yang digelontorkan untuk program itu ada Rp 600 triliun.
Tatkala aset-aset itu hendak dilepas untuk pengembalian dana talangan, ketahuan kalau nilai aset tersebut cuma Rp 167 triliun. Kenyataan itu menunjukkan ada penggelembungan nilai aset empat kali lipat.
Lagi-lagi, kata Doli terkait kenyataan itu, penilai profesional tidak dilibatkan dalam penentuan nilai aset. Maka, masuk akal kalau penggelembungan terjadi.
Penting
Kenyatannya, imbuh Hamid Yusuf, di Indonesia baru ada sekitar 350 penilai profesional. "Jumlahnya sangat kurang,"tegas Hamid Yusuf.
Sementara, menurut Doli, minimnya jumlah penilai profesional lantaran pemangku kepentingan di Tanah Air belum memunyai kesadaran cukup soal pentingnya tugas penilai.
Doli, dalam buku sembilan bab tersebut juga memberikan penekanan kalau berbagai upaya harus dilakukan untuk menambah jumlah penilai sesuai kebutuhan. Caranya melalui jalur pendidikan di perguruan tinggi.
Di samping itu, juga di dalam buku yang kali pertama dicetak pada Maret 2013 tersebut, Doli memberi penekanan kalau sudah waktunya ada undang-undang khusus tentang penilai profesional. "Peraturan ini perlu untuk menunjukkan pentingnya peran penilai profesional bagi Indonesia,"demikian Doli D Siregar.