Salin Artikel

"Culik Dewi Sinta", Pagelaran Wayang Rasa Bule di Swiss

Kini, mulai mulai muncul hal baru di kota itu, setidaknya  bagi warga Indonesia atau  mereka yang menyukai budaya Nusantara. Ikon baru itu adalah gamelan Jawa,.

Semua bermula dari kerja keras Nicole Coppey. Bersama anaknya, Timothee Coppey, mereka, perlahan namun pasti, mulai mengenalkan budaya Indonesia, khususnya gamelan Jawa.

Tak sekadar pentas, lalu selesai. Namun, keluarga Coppey mendirikan sekolah musik yang dinamai Un, Deux, Trois, Musiques atau Musik Satu Dua Tiga.

Sekolah musik ini berdiri sebelas tahun silam.  Keberadaan sekolah ini membuat budaya Nusantara, khususnya gamelan, akan terus berkumandang di kota yang dikuasai pegunungan Alpen itu.

"Kami, sejak lama, memang mencintai musik, khususnya gamelan Jawa,“ kata Nicole kepada Kompas.com.

"Ini musik bagus, spektakuler, harus dilestarikan,“ imbuhnya.

Dari gamelan Jawa, pada akhirnya akan menularkan juga wayang kulit dan seni batik. Kedua kesenian itu saling berkaitan dengan gamelan Jawa.

Pada mulanya, mereka hanya menggelar pentas di kalangan keluarga. Lambat laun, merambat  ke KBRI Bern, hingga ke Indonesia.

KBRI Bern sendiri meminjamkan seperangkat gamelan Jawa. Serta menghibahkan seperangkat wayang kulit untuk sekolah musik ini.

Proyek terbaru sekoah tersebut adalah pagelaran wayang kulit untuk umum dengan lakon yang diambil dari epos Ramayana, "Culik Dewi Sinta".

Dan, tiket yang dibandrol sebesar 23 franc Swiss atau setara Rp 320.000 untuk pertunjukan Sabtu malam (23/2/2019) itu, sold out alias ludes.

"Meskipun wayang kulit tergolong budaya baru bagi warga Sion, mereka mampu menyajikannya secara memikat. Indah namun tetap terkomunikasi,“ kata Maria Ronnie Sri Rohanah, salah satu penonton.

Maka, dalam lakon "Culik Dewi Sinta" yang berdurasi satu setengah jam itu, selain dialog dalam bahasa Perancis, Christopher dengan luwes mengumandangkan suluk seperti  "bumi gonjang ganjing, langit  kelap kelap" atau "haladialah" dan sejenisnya.

Penabuh gamelan, semua adalah anak didik Nicole Coppey. Pemegang kendali, adalah Timothee Coppey yang menabuh gendang.

"Tentu saja saya harus juga mengikuti apa yang dimainkan dalang. Bukan hal mudah, tapi dengan banyak latihan, akhirnya jalan juga,“ kata Timothee.

Meski hanya satu setengah jam, sedikitnya 100 penonton memenuhi gedung sekolah tempat pagelaran itu dihelat. Lebih dari seratus penonton, tambah Nicole, tak akan muat.

Ki Sri Joko Wiyono, pakar wayang kulit sekaligus diplomat PTRI Jenewa, menyambut baik upaya Nicole mengenalkan wayang kulit ke publik Sion.

Sebagai hiburan, imbuh Joko, pagelaran ini cukup berhasil. Ratusan penonton itu mengerti kisah yang dipaparkan dalam lakon "Culik Dewi Sinta".

Aksi dalang Christopher serta iringan gamelan Timothee, imbuh Joko, sudah mirip seperti pertunjukan wayang kulit di Jawa.

"Cuma memang bukan seperti pagelaran wayang kulit seperti aslinya. Paling tidak, dominannya bahasa asing, khususnya Perancis, menghilangkan ruh wayang kulit itu,“ kata Joko.

https://internasional.kompas.com/read/2019/02/27/17340591/culik-dewi-sinta-pagelaran-wayang-rasa-bule-di-swiss

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke