Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Negeri Ini Terlalu Miskin untuk Rayakan Hari Kemerdekaan

Kompas.com - 02/07/2016, 10:50 WIB

JUBA, KOMPAS.com - Pada 9 Juli mendatang adalah hari kemerdekaan Sudan Selatan yang kelima. Namun, negeri termuda di dunia itu sudah menyatakan tak akan merayakan hari bersejarah itu.

Mengapa? Alasannya sederhana, pemerintah negeri itu tidak memiliki uang untuk menggelar sebuah pesta perayaan hari kemerdekaan.

"Kami memutuskan untuk tidak merayakan hari kemerdekaan pada 9 Juli mendatang karena kami tak ingin menghabiskan banyak uang. Kami harus menyisihkan uang untuk keperluan lain," kata Menteri Informasi Sudan Selatan, Michael Makuei Lueth awal pekan ini seperti dikutip Al Jazeera.

Lima tahun lalu Sudan Selatan mendeklarasikan kemerdekaan dari Sudan, setelah perang selama beberapa dekade melawan etnis Arab yang banyak menghuni sisi utara negeri itu.

Dalam referendum yang digelar pada 2011, 99 persen pemilik suara memilih untuk merdeka dari Sudan dan sebagian besar negara di dunia kemudian mengakui Sudan Selatan sebagai negara berdaulat.

Sayangnya, akibat kondisi keuangan negara yang buruk, maka rakyat Sudah Selatan tidak akan merayakan pesta hari kemerdekaan mereka.

Menteri Lueth mengatakan, biaya untuk menggelar peringatan hari kemerdekaan diperkirakan mencapai 450.000 poundsterling atau hampir Rp 8 miliar.

"Jika kami bisa mendapatkan uang sebanyak itu maka kami lebih memilih menggunakannya untuk mengatasi masalah ekonomi seperti pembayaran gaji pegawai," ujar Lueth.

Perayaan hari kemerdekaan tahun lalu diwarnai upacara kenegaraan dan parade yang diisi tari-tarian dan pertunjukan musik.

Banyak kalangan mengatakan, memang seharusnya perayaan tak perlu digelar di negeri ini. Meski kaya akan sumber daya alam tetap perang selama beberapa dekade membuat Sudan Selatan kekurangan industri dan infrastruktur.

Di negeri ini dilaporkan hanya terdapat sekitar 500 kilometer jalan beraspal di seluruh negeri. Situasi bertambah buruk ketika harga minyak mentah dunia anjlok.

Bank Dunia menyebut Sudan Selatan sebagai negeri yang paling tergantung dengan minyak di seluruh dunia karena 90 persen pendapatan negara berasal dari emas hitam itu.

Belum lama ini Dana Moneter Internasional (IMF) memperingatkan bahwa akibat anjloknya harnya minyak anggaran Sudan Selatan akan hanya tersisa seperempatnya dan inflasi akan meningkat hingga 300 persen.

Menurut harian Sudan Tribune, bank sentral negara itu mengatakan, negeri muda itu hanya memiliki cadangan devisa untuk bertahan selama satu bulan.

Setelah perang selama bertahun-tahun yang mengakibatkan ribuan orang tewas dan 2 juta orang lainnya kehilangan tempat tinggal, pemerintah Sudan Selatan akhirnya meneken kesepakatan damai dengan pemberontak tahun lalu.

Pada Aprli lalu, pemimpin pemberontak Riek Machar kembali ke ibu kota Juba untuk bekerja sama dengan Presiden Salva Kiir untuk membangun kesatuan negara.

Meski terlihat tanda-tanda stabilitas, pertempuran masih berlangsung. Pada Selasa lalu, seorang pejabat pemerintah mengatakan, politisi senior Ali Tamim Fartak membentuk milisi baru untuk memerangi pemerintah.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com