MELBOURNE, KOMPAS.com - Seorang perempuan berdiri di podium setelah azan dikumandangkan. Di atasnya sebuah layar terpajang bertuliskan "Vice Chancellor Address, Professor Jane den Hollander, Vice Chancellor and President Deakin University".
Di hadapannya, puluhan orang duduk berkelompok masing-masing 6-9 orang mengelilingi satu meja makan bundar. Mereka diundang oleh Deakin University dan Australian Intercultural Society (AIS) untuk mengikuti acara buka puasa atau iftar di kampus Deakin University di kawasan Burwood, sebuah daerah pinggiran dekat Melbourne, Victoria, Kamis (9/6/2016) sore.
Uniknya, orang-orang yang hadir tidak semuanya berpuasa dan datang dari beragam latar belakang, mulai dari pelajar sampai mantan pejabat, dari kalangan atheis sampai rabi Yahudi.
Di setiap meja, posisi duduk setiap tamu ditata agar berbeda latar belakang budaya dan agamanya. Misalnya, jika Anda beragama Muslim, sebelah kanan dan kiri Anda bisa saja seorang yang tidak mengakui Tuhan atau seorang penganut agama Katolik.
Jika melayangkan pandangan ke sisi kiri pintu masuk ruangan, di meja nomor 3, seorang rabi dari kalangan Yahudi duduk mengikuti acara buka puasa bersama atau iftar berlangsung. Di sebelahnya, duduk sejumlah orang dari berbagai latar belakang, mulai dosen, perwakilan komunitas maupun agama lain.
Para pelayan hilir mudik mengantarkan penganan khas Timur Tengah dan India untuk berbuka puasa, seperti kurma dan samosa.
"Acara buka puasa tahunan yang kami gelar membawa orang-orang dari berbagai latar belakang iman dan budaya dan juga komunitas dalam semangat perdamaian, toleransi dan saling menghormati. Ini merupakan kesempatan untuk bertemu, bertukar pikiran dan menikmati keramahan sebagai bagian penting dari tradisi dalam komunitas Muslim," kata den Hollander.
Den Hollander mengatakan, acara buka puasa semacam ini telah digelar sebanyak enam kali hingga tahun ini sebagai respon terhadap kebutuhan akan pemahaman yang lebih baik antarmanusia yang berbeda latar belakang. Apalagi, lanjutnya, kehidupan sosial dan akademik di kampus diwarnai keragaman budaya dan agama.
Merayakan perbedaan
Namun, menurut dia, yang terpenting dari sekadar makanan adalah nilai-nilai tentang saling memahami dan menerima satu sama lain.
"Saya kira ini pengalaman yang akan selalu diingat, setiap orang bahagia karena berkumpul bersama dalam keragaman. Orang dari beragam latar belakang berbagi makanan, berbicara tentang berbagai isu, berbicara tentang apa yang ditemukan, tentang pengalaman dan nilai bersama, seperti rasa peduli, saling mengerti satu sama lain, penerimaan dan saling menghormati satu sama lain," ungkapnya.
David mencatat bahwa Australia, negara bagian Victoria khususnya, memiliki komposisi masyarakat yang multikultural. Oleh karena itu, momen seperti ini sangat efektif untuk saling mengenal dengan lebih baik satu sama lain.
"Orang-orang (di Victoria) datang dari beragam negara, tradisi dan agama. Kami bekerja dan bermain bersama, naik tram dan bermain football bersama dan kini kami merayakan perbedaan itu bersama," tambahnya.
Hal senada juga disampaikan oleh Peggy Page, perwakilan dari Buddhist Council of Victoria. Ini bukan pengalaman mengikuti iftar yang pertama bagi Peggy. Namun, dia selalu menyempatkan diri untuk datang menikmati kebersamaan dalam keragaman.
"Saya pikir ini sangat bagus apalagi ini sudah tahun keenam (penyelenggaraannya). Kalau saya ingat pengalaman saya pertama kali mengikuti acara ini, saya tidak tahu apa itu iftar," kata Peggy Page.