Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menengok Myanmar yang Mulai Bangkit dari Kemiskinan

Kompas.com - 01/07/2014, 15:36 WIB
KOMPAS.COM — Pada masa jayanya, Myanmar adalah salah satu negara yang maju di kawasan Asia. Yangon menjadi penghubung bisnis di antara kota-kota di Asia dan dunia. Namun, masa jaya tersebut telah lewat. Myanmar terletak antara dua raksasa kembar Asia —India dan China—, tetapi ekonominya jauh tertinggal.

Setengah abad pemerintahan militer dan stagnansi ekonomi menyebabkan jutaan rakyat Myanmar terbelenggu kemiskinan.

Jalanlah di sekitar kawasan Yangon yang bersejarah, Anda akan menyadari segala sesuatunya bisa begitu berbeda. Pada masa keemasannya pada sekitar tahun 1920, kota ini merupakan kota terpenting di kawasan.

Rangoon, sebagaimana sebelumnya dikenal, merupakan pusat perbankan dan bisnis untuk seluruh Asia dan memiliki penduduk yang multikultur daripada New York.

Bangunan perkantoran berdesain arsitektur art deco berdiri sepanjang jalan di tepi sungai dan perahu-perahu berlayar mengakut penumpang kaya menuju dan dari Eropa.

"Pada masa itu, bila anda ingin terbang dari London ke Melbourne, Anda harus pergi melalui Rangoon," penulis dan sejarawan Thant Myint-U mengatakan ke koresponden internasional.

Rangoon merupakan jalur yang tepat dengan menjadi penghubung kota-kota yang berkembang seperti Hongkong, Bangkok, atau Kuala Lumpur. Namun, sejarah tidak ramah kepada rakyat Myanmar.

Alih-alih memperoleh kemakmuran, mereka mengalami masa-masa represi tentara dan harapan ekonomi mereka pun musnah.

"Negara ini sama sekali tidak memperoleh keberuntungan dari kemajuan yang kita lihat di Asia. Dan itu artinya yang pertama dan utama, kami punya 60 juta rakyat, 59 juta di antaranya dalam kondisi miskin dengan cara yang tidak seharusnya mereka menjadi miskin," jelas Dr Myint-U.

Akan tetapi sekarang Myanmar mulai terbuka dengan dunia luar. Dalam dua tahun terakhir ini pemilihan umum sudah digelar, kebebasan berekspresi semakin meningkat dan perusahaan asing mulai berdatangan, tertarik untuk berbisnis di pasar yang baru.

Dr Myint-U percaya bahwa jalan masih panjang untuk menuju ke sana.

"Saya kira cakupan negara ini dalam jangka waktu lama (terlalu) disederhanakan," ucapnya.

"Negara ini dikesankan sebagai negara yang satu-satunya kisah adalah kisah tentang junta militer dan jenderal-jenderal, melawan gerakan demokrasi dan Daw Aung San Sui Kyi, sedangkan pada kenyataannnya situasi itu situasi politik yang sangat rumit," papar Dr Myint-U.

Pelanggaran hak asasi manusia dan konflik etnik terus berlanjut di Myanmar dan pertumbuhan ekonomi melambat karena tata kelola yang buruk.

"Anda akan mendapatkan banyak orang yang datang dengan pemikiran ini adalah batasan selanjutnya," kata mantan duta besar Inggris Vicky Bowman, yang memimpin Myanmar Centre for Responsible Business yang berbasis di Yangon.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com