Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Michelle Obama Beberkan Sulitnya Menjadi Ibu Negara Berkulit Hitam

Kompas.com - 11/05/2015, 19:45 WIB
WASHINGTON DC, KOMPAS.com — Ibu negara Amerika Serikat, Michelle Obama, biasanya menghindari pembicaraan dengan topik masalah ras. Namun, kini dia mengungkap beratnya tekanan yang dihadapinya sebagai ibu negara pertama yang berkulit hitam di AS.

Michelle mengatakan, dia harus berjuang melawan persepsi buruk terkait latar belakang Afrika-Amerika yang mengalir dalam darahnya selama kampanye pemilihan presiden pada 2008.

Saat itu sang suami, Obama, memenangi pemilihan presiden dan menjadi presiden kulit hitam pertama di Amerika Serikat.

Sang ibu negara, yang lahir dari kalangan keluarga sederhana di Chicago dan kemudian sukses meniti karier sebagai pengacara perusahaan, sangat jarang membicarakan masalah ras selama dua kali masa jabatan suaminya.

Namun, serangkaian kasus rasialisme yang terkait dugaan penganiayaan polisi terhadap sejumlah warga kulit hitam, yang terbaru adalah kasus di Baltimore, membuat Michelle kini tak bisa menghindar untuk membicarakan masalah ini.

"Saat menjadi kandidat paling kuat menjadi ibu negara Afrika-Amerika pertama di AS, saya selalu menjadi sasaran serangkaian pertanyaan dan spekulasi. Pembicaraan (tentang Michelle) biasanya tak jauh dari rasa takut dan persepsi yang salah terhadap sesama," ujar Michelle, akhir pekan lalu.

"Apakah saya terlalu keras, terlalu pemarah, atau terlalu membatasi? Atau apakah saya terlalu lemah, terlalu keibuan, bukan perempuan karier sesungguhnya?" ujar Michelle saat memberikan pidato di Universitas Tuskegee, Alabama.

Pada 2008, majalah The New Yorker sempat memuat kartun Obama dan Michelle. Dalam kartun itu digambarkan bahwa Obama adalah seorang anggota kelompok radikal Islam dan Michelle adalah seorang teroris.

"Dalam kartun itu saya digambarkan berambut kribo dan menyandang senapan mesin. Ya, kartun itu memang satire. Namun, sejujurnya itu sedikit memukul saya. Kartun itu membuat saya berpikir apakah seperti itu orang memandang saya?" tambah Michelle.

Dalam pidato berdurasi hampir setengah jam itu, Michelle juga mengingat beberapa komentar berbau rasial terkait dirinya yang dimunculkan sejumlah media.

"Saat itu, saya bahkan kesulitan tidur karena khawatir soal penilaian orang lain terhadap saya," kenang Michelle.

"Saya akhirnya harus mengabaikan itu semua dan menjadi diri saya sendiri, dan sisanya akan berubah dengan sendirinya," tambah Michelle yang disambut tepuk tangan riuh para mahasiswa dan alumni.

Michelle menambahkan, selain dia harus memahami rincian kebijakan pemerintah, di sisi lain, dia juga harus memastikan semua upayanya bermanfaat untuk anak-anak dan keluarganya.

"Dan, itu berarti saya harus melakukan banyak hal dengan kreatif dan dengan cara yang tak biasa," lanjut Michelle.

"Jadi, ya saya berkebun dan bermain hula-hoop bersama anak-anak di lapangan Gedung Putih. Saya juga menari di televisi dan di pengujung hari, saya mendapati bahwa seluruh perjalanan ini sangat membebaskan diri saya," kata Michelle.

Merasa frustrasi, lanjut Michelle, bisa membuat seseorang terisolasi dan menganggap hidup sudah tak berarti. Dalam beberapa kejadian, semua perasaan itu bisa menjadi kenyataan.

"Perasaan itu sudah tersimpan selama bertahun-tahun yang membuat banyak orang frustrasi dan merasa tak berarti. Perasaan-perasaan inilah yang berperan besar dalam peristiwa di Baltimore dan Ferguson serta di banyak tempat negeri ini," papar Michele.

Di pengujung pidatonya, Michelle mengakui bahwa hidup sebagai kelompok minoritas di AS bisa menghadirkan kesulitan tersendiri. Namun, bukan berarti harus kehilangan harapan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com