Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Etiskah bila Turis Australia Memboikot Bali?

Kompas.com - 20/02/2015, 14:54 WIB
KOMPAS.com — Saat rencana eksekusi terpidana mati Bali Nine, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran, semakin dekat, sejumlah pihak di Australia menganjurkan para turis untuk memboikot Bali. Apakah tindakan boikot itu akan mampu menghukum Pemerintah Indonesia atau justru membuat kehidupan rakyat Bali menjadi sulit?

Saat wartawan dan penulis catatan perjalanan dari Amerika, Jeff Greenwald, memuat opininya di koran The Washington Post pada tahun 1996 untuk mengajak orang Amerika memboikot Myanmar, dia mendapatkan respons yang besar.

Namun, apakah tindakan boikot merupakan cara menghukum junta militer yang memenjarakan Aung San Suu Kyi ketika itu, atau justru cuma menambah kesulitan ekonomi bagi rakyat biasa?

Kini, sejalan rencana eksekusi Andrew Chan dan Myuran Sukumaran, pro-kontra tindakan boikot itu mencuat kembali.

Pekan lalu, tak kurang, Menlu Australia Julie Bishop sendiri yang menyatakan, "Saya pikir orang Australia akan menunjukkan ketidaksetujuannya jika kedua orang itu dieksekusi, termasuk membuat keputusan untuk menentukan tempat tujuan wisata mereka."

Meskipun ajakan memboikot Bali sempat ramai di media sosial, mantan Dubes Australia untuk Indonesia, Philip Flood, pekan ini menyebut ajakan itu sebagai "ajakan tolol". Sebab, menurut dia, tindakan itu tidak akan banyak pengaruhnya kepada Pemerintah Indonesia.

Bagi Greenwald, yang mendorong aksi boikot atas Myanmar pada tahun 1990-an, saat ini ia mulai melunakkan sikapnya. Alasannya, sangat sulit mengukur seberapa efektif tindakan seperti itu.

Sementara itu, Tony Wheeler, salah seorang pendiri Lonely Planet yang menerbitkan buku tujuan wisata yang menjadi rujukan di dunia, juga sangat skeptis atas ajakan boikot.

Menurut dia, orang seharusnya memang sadar politik, tetapi "tidak seharusnya mereka tidak datang ke satu tempat tujuan wisata gara-gara hal itu".

"Ada ribuan eksekusi hukuman mati di Tiongkok dan tak ada yang menyerukan jangan pergi ke Tiongkok, atau ratusan eksekusi mati di Amerika Serikat, tetapi tidak ada yang bilang jangan pergi ke Amerika," ujarnya.

Namun, baik Wheeler maupun Greewald percaya bahwa para turis bisa memiliki suara politik dan seharusnya memiliki pengetahuan politik mengenai negara tujuannya.

Greenwald mendirikan Ethical Traveler, sebuah LSM sekitar 10 tahun lalu. Tujuannya untuk menumbuhkan kesadaran atas isu kemanusiaan bagi para turis global.

Setiap tahunnya, LSM Ethical Traveler ini merilis 10 tempat terbaik tujuan wisata di negara berkembang berdasarkan kondisi lingkungan hidup, kesejahteraan sosial, dan catatan HAM. Sejak 2013, isu kesejahteraan binatang juga menjadi pertimbangan mereka.

Greenwald mengakui, tidak ada suatu negara yang sempurna. Namun, ia berharap para turis bisa mengambil keputusan di mana mereka akan membelanjakan uangnya.

Daftar tersebut hanya difokuskan pada negara berkembang. Greenwald beralasan, ekonomi negara-negara tersebut sangat bergantung pada turisme.

Namun, Tony Wheeler tampaknya tidak begitu setuju dengan Greenwald. Menurut Wheeler, kebanyakan orang pergi berwisata tanpa mempertimbangkan apakah pemerintah di daerah tujuan wisatanya itu korup, otoriter, atau merusak lingkungan hidup.

"Sepanjang ada pantai yang indah, mereka akan tetap datang," katanya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com