Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Rusia Bermain Api di Crimea

Kompas.com - 02/03/2014, 10:01 WIB
Oleh: Anton Sanjoyo

Jatuhnya Presiden Viktor Yanukovych ternyata tidak serta-merta membuat Ukraina stabil. Faktor ekonomi negara itu yang nyaris bangkrut, dan terutama ”perlawanan” Rusia yang sangat kecewa dengan perkembangan Kiev, membuat mimpi warga pro Eropa Barat untuk segera bangkit dari ketertinggalan masih harus menunggu. Entah untuk berapa lama.

Bagi Rusia, Yanukovych merupakan benteng terakhir dalam tarik-menarik kepentingan antara kelompok negara Barat yang dimotori Amerika Serikat di satu pihak dan Rusia di pihak lain. Namun, setelah kekuasaan Yanukovych rontok dan bahkan dikenai dakwaan pembunuhan massal, Rusia harus mencari cara lain untuk tetap menanamkan pengaruhnya di negeri berpenduduk 46 juta jiwa itu.

Rusia tadinya merasa di atas angin setelah Yanukovych menolak menandatangani pakta perdagangan dengan Uni Eropa, dalam pertemuan puncak di Vinius, Lituania, November tahun lalu. Namun, angin perubahan yang bertiup kuat dari Maidan, atau Lapangan Kemerdekaan di Kiev, membuat benteng terakhir itu runtuh.

Rusia masih punya ”kartu as” lain, yakni minoritas warga Ukraina yang tinggal di wilayah timur dan selatan. Mereka adalah etnis Rusia, sehari-hari memakai bahasa Rusia, dan bahkan di beberapa wilayah—terutama di Semenanjung Crimea—mereka lebih merasa Rusia ketimbang Ukraina.

Dari Crimea ini pula Rusia melakukan perlawanan untuk tetap memberikan tekanan kepada pemerintahan sementara Kiev yang dipimpin Olexander Turchynov.

Manuver Rusia di Crimea dipicu oleh gerakan perlawanan masyarakat pro Moskwa, sehari setelah Yanukovych jatuh. Mereka berkumpul di depan gedung parlemen di Simferopol, ibu kota Republik Otonom Crimea. Mereka menentang penguasa baru Kiev, bahkan mengibarkan bendera Rusia di puncak gedung parlemen.

Apa yang terjadi di Simferopol dan juga di kota pelabuhan Sevastopol—pangkalan Armada Laut Hitam Rusia—sebenarnya reaksi spontan warga Ukraina etnis Rusia. Ada kekhawatiran mereka akan menjadi warga kelas tiga jika Kiev dikuasai pro Barat.

Meski begitu, Presiden Rusia Vladimir Putin, yang sejak krisis meletus November lalu terus meneriakkan ketidaksukaannya terhadap intervensi Amerika Serikat dan Uni Eropa, langsung merespons keresahan etnis Rusia yang merupakan mayoritas di Crimea itu. Putin memerintahkan 150.000 tentaranya di wilayah barat untuk siaga dan memeriksa kesiapan tempur.

Setelah perintah itu, perkembangan di Crimea mengkhawatirkan, bahkan sebagian besar pemimpin Barat beranggapan semenanjung itu akan menjadi ”arena perang” baru antara Barat dan Timur, mengulang Perang Dingin antara blok Barat dan blok Uni Soviet beberapa dekade lalu.

Dikuasainya bandara Simferopol dan Sevastopol oleh orang-orang bersenjata lengkap dengan pakaian tempur militer—tetapi misterius karena tanpa pengenal—diyakini atas restu Kremlin. Menteri Dalam Negeri ad interim Ukraina Arsen Avakov terang-terangan menuding Moskwa melakukan intervensi bersenjata.
Bukan milisi bersenjata

Siapakah pasukan misterius tersebut? Kremlin menyangkal itu adalah unit tempurnya. Pastinya. Namun dari senjata, perlengkapan, kendaraan, serta tingkah lakunya, mereka adalah tentara terlatih dan unit yang sangat disiplin. Ben Barry, ahli perang dari Institute for Strategic Studies di London mengatakan, mereka pasti bukan milisi bersenjata atau kelompok sipil pro Rusia yang dipersenjatai.

”Pasukan milisi kadang-kadang bisa tampak seperti mereka. Namun, peralatan milisi tidak akan seseragam dan secanggih itu,” ujar Barry.

Pertanyaannya, jika benar pasukan siluman itu terhubung dengan Moskwa, untuk apa mereka melakukan itu?

Spekulasi pun beredar. Kremlin tak ingin benar-benar kehilangan muka dengan jatuhnya Kiev ke tangan pro Barat. Namun jika terang-terangan mengirimkan pasukan seperti kasus di Ossetia Selatan, ketika Rusia menyerang Georgia pada 2008, akan memicu konflik besar dan terbuka dengan Barat.

Maka, dengan strategi pasukan siluman, Moskwa tetap punya daya tawar untuk mempertahankan atau bahkan memperluas otonomi Crimea sekaligus melindungi mayoritas masyarakat etnis Rusia di sana.

Permainan api di Crimea juga diyakini sebagai strategi Moskwa untuk mengingatkan kepada penguasa baru Kiev bahwa Rusia masih harus dipertimbangkan dalam menentukan masa depan Ukraina pasca Yanukovych.

Moskwa pun paham, Ukraina adalah negara yang nyaris bangkrut dan mereka pun tak punya daya sebesar kelompok Barat untuk membantu. Namun sekali lagi, Moskwa tak ingin terlihat inferior di mata kelompok Barat, apalagi Rusia masih punya kartu as lain, yakni suplai gas mereka kepada Ukraina.

Rusia hanya ingin mengatakan, mereka tak bisa ditinggalkan begitu saja dalam penentuan masa depan Ukraina.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com