Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kesaksian WNI yang Jadi Korban Perdagangan Manusia di AS

Kompas.com - 03/02/2014, 13:43 WIB
WASHINGTON, KOMPAS.COM — Dengan suara bergetar, Shandra Woworuntu berbicara kepada VOA tentang kisah kelam yang dialaminya ketika menjadi korban sindikat perdagangan manusia di New York pada 2001.

"Tidak ada satu orang pun yang ingin terjebak. Tidak ada seorang manusia pun ingin mengalami hal ini, tetapi itu di luar daya upaya kita," ujarnya dalam wawancara melalui telepon, Minggu (2/2/2014).

Shandra mengatakan, ia tertarik mengadu nasib ke Amerika setelah melihat iklan pekerjaan di beberapa media Indonesia. Ketika itu, ia sedang menganggur setelah diberhentikan dari pekerjaannya sebagai analis keuangan di sebuah bank akibat krisis moneter yang melilit Indonesia pada pertengahan 1998.

Berbekal iklan yang sama dari surat kabar Kompas dan Pos Kota, Shandra menghubungi sebuah agen di daerah Tebet, Jakarta Selatan, yang menurutnya memiliki hubungan dengan agen perjalanan Vayatour, dan kemudian mengurus keberangkatannya. Ia membayar Rp 30 juta rupiah untuk seluruh biaya administratif dan tiket perjalanan, di luar visa yang harus diurusnya sendiri di Kedutaan Besar AS di Jakarta.

"Agensi ini menawarkan pekerjaan di Amerika, Jepang, dan beberapa negara lain. Saya coba telepon dan setelah melalui sekian banyak tes dan interview, saya diminta membayar Rp 30 juta, katanya biaya itu untuk administrasi, tiket, dan lain-lain. Saya senang sekali karena kalau Rp 30 juta sudah termasuk tiket berarti tidak terlalu mahal kan?" ujarnya.

Dengan membawa dokumen-dokumen resmi tentang calon tempat kerjanya, sebuah hotel di Chicago, Shandra memperoleh visa dan kemudian berangkat ke Amerika Serikat.

"Saya senang sekali karena berhasil meraih mimpi untuk mendapat uang di Amerika dan kembali ke Indonesia dalam enam bulan untuk ketemu anak saya lagi," ujar ibu dua anak itu.

Namun, keadaan ternyata tidak semulus yang dibayangkan, ujarnya. Agensi yang menjemputnya di Bandar Udara John F Kennedy di New York buru-buru mengatakan mereka tidak bisa langsung berangkat ke Chicago karena sudah malam sehingga harus menginap.

"Di situlah saya dipindahtangankan, dari satu tempat ke tempat lain. Saya tidak bekerja di hotel, tetapi justru disekap, dari satu orang ke orang lain. Ganti-ganti tangan. Saya harus melakukan pekerjaan yang tidak diinginkan. Tidak seperti yang dibayangkan dalam perjanjian. Saya… dipindah-pindah beberapa kali," ujarnya.

Manhattan, Chinatown, Queens, Brooklyn, Bay Side, New London, dan Foxwoods adalah beberapa tempat di kota New York yang diingat Shandra menjadi lokasi operasi sindikat perdagangan manusia tersebut.

Shandra mencatatnya dengan lengkap dalam sebuah buku harian, yang kelak sangat membantu aparat berwenang di Amerika untuk menggulung komplotan itu.

Shandra, yang tiba di New York pada awal Juni 2001, akhirnya berhasil melarikan diri dengan melompat dari jendela sebuah kamar mandi hotel pada awal musim dingin tahun yang sama.

Ia menghubungi nomor telepon yang diperolehnya dari seorang perempuan cantik yang dikenalnya dalam lingkungan sindikat itu, yang secara tak terduga justru menjerumuskannya pada sindikat perdagangan lain. Ironisnya, pimpinan sindikat berikutnya ini justru warga Indonesia sendiri.

"Ini memang jaringan. Yang penghabisan, atau kelima ini adalah warga Indonesia. Singkat cerita ia mau menjual atau 'pakai' saya dalam kaitan yang tidak bagus, jadi saya kemudian kabur lagi," ujarnya.

"Saya ke polisi, tetapi polisi tidak mau bantu. Saya juga ke Konsulat (KJRI New York), tetapi juga mereka tidak bantu. Saya betul-betul tidak punya tempat tinggal dan uang untuk hidup. Saya terpaksa tinggal di dalam subway (stasiun kereta api bawah tanah) dan di taman-taman hingga suatu saat ada yang menolong. FBI akhirnya turun tangan. Mereka kontak polisi dan kasus saya ditangani."

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com