Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Budaya Indonesia yang Mengakar di Negara Mandela

Kompas.com - 07/12/2013, 17:30 WIB

KOMPAS.com - ORANG kulit berwarna atau disebut coloured, yang dominan di Cape Town sangat bangga akan kebudayaan mereka seperti ghoema, coen, atau klopse. Bahkan, setiap tahun di akhir Desember sampai Januari, ada festival besar kebudayaan klopse. Dan, salah satu akar kebudayaan itu sebenarnya dari Indonesia.

Semua berawal pada abad ke-17. VOC membangun benteng di Cape Town sebagai tempat transit antara Belanda dan Indonesia. Maklum, saat itu penjajahan VOC di Indonesia memasuki tahap awal dan dibutuhkan transportasi yang sering di antara kedua negara.

Namun, di Cape Town sendiri butuh banyak tenaga untuk membangun permukiman baru dan fasilitasnya. Maka dari itu, didatangkanlah budak-budak dari berbagai daerah, terutama dari India dan Indonesia.

Jumlah budak India paing banyak. Namun, mereka kemudian tinggal di Natal. Sementara itu, budak Indonesia yang merupakan terbanyak kedua, tetap tinggal di Cape Town. Dulu, orang Indonesia disebut Malay karena belum ada nama Indonesia. Wajar, warga Cape Town yang sebagian besar keturunan Melayu pun akhirnya disebut Cape Malay. Mereka termasuk coloured people dalam kategori sistem Apartheid.

Budak Indonesia yang dibawa ke Afsel rata-rata punya keahlian, misalnya bertani, mencukur, menjahit, dan jago bermusik atau bersyair. Mereka tetap mempraktikkan sebagian kebudayaan di daerahnya.

Sebuah opera berjudul Ghoema produksi David Baxter dengan penampil Baxter Theatre Center tahun 2006 mengambil setting cerita awal perbudakan di Afsel. Dan, di sini lebih banyak diceritakan tentang kehadiran, orang, kebudayaan, dan kehidupan budak dari Indonesia.

Lagu-lagu mereka pun dibuat bernuansa Melayu, dalam hal ini Indonesia. Jenis musiknya juga sama seperti musik Melayu atau dangdut, mirip lagu-lagu Indonesia era 1950-an.

Dalam sebuah lagu disebutkan banyak kata Indonesia, seperti "belajar", "piring", "pisang", "berkelahi", dan "rokok". Pakaian mereka juga khas Indonesia, kadang memakai caping, kadang memakai peci.

Seperti catatan di buku "Indonesians in South Africa: Historical Links Spanning Three Centuries", orang asing pertama yang dibawa VOC ke Afsel (Cape Town) adalah orang Indonesia. Africanhistory.about.com juga menyebutkan, budak pertama yang dibawa ke Cape Town berasal dari Indonesia pada tahun 1653. Namanya Abraham van Batavia.

"Batavia.... Batavia... Batavia..." begitu salah satu cukilan lagu dalam opera berjudul Ghoema, dinyanyikan dengan nada sedih. Ini mengisahkan para budak dari Batavia (Jakarta) yang rindu kampung halamannya.

Selain budak, banyak pula tahanan politik di Indonesia yang dibuang VOC ke Cape Town. Salah satunya Syeikh Yusuf dan pengikutnya. Mereka bahkan sangat berpengaruh serta menyebarkan agama Islam dan menularkan budaya Indonesia.

Selama bertahun-tahun, orang Indonesia beranak-pinak dan terjadi kawin silang sehingga di Cape Malay sekarang banyak orang keturunan Indonesia. Karena itu, Cape Town juga disebut Cape Malay.

Pengaruh Tradisi dan Bahasa

Kebudayaan Indonesia pun banyak yang mewarnai kebudayaan di Cape Malay. Dalam "Indonesians in South Africa: Historical Links Spanning Three Centuries", ada beberapa catatan. Sebagai contoh, tari Lingo Ayoen, tari Kusin, dan tari Beras.

Bahkan, debus pun terbawa ke Cape Town. Tapi, di Cape Town, debus disebut "ratieb". Budaya ini dimungkinkan dibawa oleh pengikut Syeikh Yusuf. Sebagai catatan, Syeikh Yusuf punya banyak pengikut dari Banten, tempat debus berkembang. Dia bahkan mengawini anak Ki Ageng Tirtayasa (raja Banten).

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com