Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Heboh 100 Anak Meninggal dalam 10 Hari di Rumah Sakit India

Kompas.com - 20/08/2017, 08:59 WIB

NEW DELHI, KOMPAS.com -  Pengadilan India meminta pemerintah untuk menyerahkan laporan tentang meninggalnya sekitar 100 anak di sebuah rumah sakit di Gorakhpur, negara bagian Uttar Pradesh, India utara.

Media melaporkan, dengan merujuk informasi dari dalam pihak rumah sakit sendiri, penyebab kematian adalah pemutusan suplai oksigen karena tagihan belum dibayar kepada pemasok.

Namun, laporan itu dibantah pemerintah yang menjelaskan bahwa kematian anak-anak  yang terjadi dalam waktu 10 hari itu disebabkan encephalitis atau peradangan otak.

Keputusan pengadilan tinggi di Allahabad ini diambil setelah munculnya petisi yang meminta penyelidikan hukum atas hal yang sebenarnya terjadi di balik kematian anak-anak itu. 

Awalnya adalah sekitar pukul 20.00 waktu setempat, pada 9 Agustus 2017, seorang dokter mengabarkan petani bernama Brahmadev Yadav tentang kematian bayi laki-laki dan kondisi kritis bayi perempuannya.

Yadav (30) dan istrinya, Suman, memiliki bayi kembar setelah berupaya mempunyai anak selama delapan tahun terakhir. Bayi kembar itu baru berusia satu pekan.

Setelah didiagnosis mengalami demam, Yadav membawa dua bayinya ke Baba Raghav Das Medical College di Distrik Gorakhpur yang berada di Uttar Pradesh, negara bagian di India utara.

Baca: Diduga Kekurangan Oksigen, 60 Anak Meninggal di Rumah Sakit di India

"Tidak ada yang memberitahu kami tentang isu oksigen," kata Yadav kepada wartawan BBC Hindi, Samiratmaj Misra, sembari terisak mengingat peristiwa tersebut.

Namun ketika Yadav melihat bayi perempuannya memuntahkan darah, dia sadar paru-paru putrinya kehabisan oksigen. Bayinya meninggal dunia malam itu.

"Seperti itu jugalah anak-anak yang lain meregang nyawa. Semua orang menangis, berteriak, memeluk anak-anak mereka, dan membawa mereka pulang. Apa lagi yang dapat mereka lakukan?"

Kematian pertama di rumah sakit itu dilaporkan pada 7 Agustus. Namun kabar itu baru menjadi pemberitaan utama media massa empat hari kemudian, ketika angka kematian secara cepat bertambah.

Sebanyak 30 kematian lain terjadi antara 10 dan 11 Agustus. Sejumlah media melaporkan rumah sakit itu kehabisan oksigen sehingga menyebabkan kematian 60 anak dalam jangka waktu lima hari.

Di sisi lain, meskipun mengakui suplai oksigen kacau, pejabat pemerintah setempat berkeras hal itu bukanlah penyebab kematian massal tersebut.

Mayoritas korban meninggal di ruang perawatan intensif bayi atau ketika sedang mendapatkan penanganan penyakit encephalitis, sebuah peradangan otak mematikan yang merajalela di kawasan itu selama beberapa dekade terakhir.

Baik pemerintah negara bagian maupun pihak rumah sakit menyebut bayi-bayi tersebut meninggal akibat mengidap sejumlah penyakit, termasuk encephalitis.

Menyusul reaksi publik atas kejadian itu, pemerintah menjatuhkan sanksi untuk pejabat utama di kampus kedokteraan itu karena menunda pembayaran ke penyedia oksigen.

Baca: Krisis Oksigen Terburuk di India, 85 Anak Tewas di Rumah Sakit

Rumah sakit di lembaga pendidikan itu disebut berutang lebih dari 6 juta rupee atau sekitar Rp1,2 miliar.

Perdana Menteri Narendra Modi menyinggung kematian itu pada pidato yang disampaikannya pada peringatan kemerdekaan India, Selasa.

Modi mendorong masyarakat turut berkabung atas kejadian tersebut. Ia pun memerintahkan penyeledikan terhadap kematian 100 bayi itu.

Terdapat sejumlah alasan penundaan pembayaran ke penyedia oksigen yang muncul ke publik, antara lain birokrasi yang lamban hingga kesibukan rumah sakit menyiapkan kunjungan menteri utama negara bagian Uttar Pradesh pada 9 Agustus.

Sementara itu, para orang tua korban terus mengisahkan cerita pedih tentang anak-anak mereka yang sesak nafas sebelum meninggal.

Banyak dari orang tua itu mengatakan, beberapa dokter memberi mereka kantong dan meminta mereka secara manual menyalurkan oksigen ke paru-paru anak mereka.

"Dalam 30 menit saya melihat tiga anak saya meninggal di depan mata saya," kata Vipin Singh kepada wartawan BBC Hindi, Nitin Srivastava.

Putri Singh yang bernama Arushi masuk rumah sakit karena gejala encephalitis.

Suhu tubuh bayi perempuan itu, kata Singh, rendah. Namun dokter memintanya tak khawatir. Dua jam setelah itu, dia diberitahu bahwa Arushi telah meninggal.

Singh berkata, hari itu ia merasakan sesuatu yang aneh di dalam bangsal.

"Para dokter berlarian, tapi mereka tidak berbicara banyak. Yang saya dengar hanya tentang kematian anak saya dan saya harus membawa jenazah putri saya keluar dari bangsal itu.

Saya hanya membungkus jenazahnya dalam selimut lalu saya membawanya pulang."

Tragedi tersebut memunculkan beragam pertanyaan tentang jaminan kesahatan di negara bagian Uttar Pradesh. Hingga kini para orang tua itu belum mendapatkan jawaban yang mereka nantikan.

Baca: Setiap Hari, Satu Warga India Tewas Diserang Gajah dan Harimau

"Bahkan ketika kami bertanya, mereka tak memberitahu kami apapun," kata Yadav yang tak memiliki catatan medis perihal diagnosa atau alasan kematian anak-anaknya. Meski begitu, Yadav tetap ingin mencari tahu penyebab kematian dua bayi kembarnya.

Yadav mengubur dua bayinya di dekat rumahnya yang berada di Desa Bagha Gara, di Distrik Gorakhpur. Keduanya dikubur dan tidak dikremasi sebagaimana diatur dalam ritual Hindu.

"Saya siap menggali makam mereka untuk keperluan post mortem," ujarnya.

Ibunda Yadav, Rajeshwari, menuduh para dokter telah berbicara kasar kepada putra dan menantunya. Dokter-dokter itu disebutnya berteriak ke pasangan itu ketika mereka mengajukan pertanyaan.

"Setelah delapan tahun, Tuhan memberkahi kami dengan dua anak, namun kami tidak berkesempatan bercengkrama dengan bayi kembar itu, bahkan dalam dua hari," ujar Rajeshwari.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com