Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berbekal Video YouTube, Montir Kamboja Bangun Sendiri Pesawatnya

Kompas.com - 09/06/2017, 16:14 WIB

PHNOM PEHN, KOMPAS.com - Setiap malam selama tiga tahun, Paen Long rela begadang setelah istrinya tidur.

Montir di sebuah bengkel itu menghabiskan waktu berjam-jam menonton video-video di YouTube.

Paen Long tidak menonton video viral atau video musik seperti yang dilakukan kebanyakan orang.

Pria yang tinggal di pinggir jalan sebuah ruas jalan tol di tenggara Kamboja itu, punya satu obsesi yaitu pesawat terbang.

"Awalnya, saya mengetik kata 'jet'," katanya.

Dari sana, Paen Long menemukan video-video yang memperlihatkan pesawat lepas landas dan mendarat, simulasi penerbangan, dan tur virtual ke pabrik-pabrik pesawat.

Baca: Remajakan Model Gaek, Brasil Siap Buat Pesawat Terbang Sendiri

Paen Long adalah satu dari enam anak seorang petani dan tumbuh besar pada masa Kamboja tengah berusaha memulihkan diri dari kehancuran yang diciptakan Khmer Merah dan sama sekali belum pernah menumpang pesawat.

Setelah melihat helikopter saat berusia enam tahun, keinginan Paen Long untuk terbang mengisi pikirannya selama berpuluh-puluh tahun.

"Saya selalu bermimpi soal pesawat setiap malam. Saya selalu ingin memiliki pesawat saya sendiri," katanya.

Awalnya keinginan itu hanya sekadar mimpi. Setelah keluar dari sekolah dan berlatih menjadi montir, salah satu pekerjaan yang meskipun tidak berhubungan dengan pertanian namun tersedia bagi pemuda tanpa ijazah SMA di Provinsi Svay Rieng.

Dan akhir tahun lalu, obsesinya terhadap pesawat semakin kuat. Paen Long, kini berusia 30 tahun, dan mengelola bengkelnya sendiri di Provinsi Prey Veng, memutuskan uangnya sudah cukup demi mewujudkan fantasi masa kecilnya.

"Saya mulai merakit pesawat sembunyi-sembunyi," katanya. "Saya takut orang akan menertawai saya, jadi kadang-kadang saya bekerja pada malam hari."

Dia merasa helikopter akan lebih rumit dibuat daripada pesawat, maka Long pun merancang pesawat seperti yang digunakan Jepang pada Perang Dunia II.

Pesawat satu kursi itu memiliki bentangan sayap 5,5 meter, dan Long butuh waktu hampir setahun untuk merakitnya dari awal menggunakan materi daur ulang.

Tempat duduk pilot adalah sebuah bangku plastik yang kakinya dipotong, panel kontrolnya adalah dasbor mobil, dan badan pesawat berasal dari kontainer gas bekas.

Hasil akhirnya dibuktikan pada 8 Maret lalu. Sesaat sebelum pukul 15.00, Long mulai menyalakan mesin pesawatnya.

Tiga orang membantu mendorong pesawat itu ke "landasan", sebuah jalan tanah di dekat bengkelnya yang tembus ke jalan arteri utama dan sawah.

Menurut penduduk desa, sekitar 200 sampai 300 orang (Long mengklaim bahwa ada sekitar 2.000 orang) datang untuk menonton aksi sang aviator lokal tersebut.

Dia mengenakan helm sepeda motor, satu-satunya pengaman yang digunakannya, dan duduk di dalam kokpit.

Pesawat menambah kecepatan saat akan lepas landas dan sesaat mengambang di udara. Long mengatakan dia mencapai ketinggian 50 meter sebelum jatuh ke tanah.

Suara tawa pun menyambut kejatuhan pesawat tersebut ke Bumi.

"Saya berdiri di sana dan air mata mengalir. Saya merasa emosional, karena saya tidak bisa menanggung apa yang mereka semua katakan pada saya," katanya, menyalahkan kegagalan tersebut pada beban pesawat seberat 500 kilogram.

Kemunduran itu mendorongnya untuk sukses, dan dia kemudian mengalihkan perhatiannya pada proyek baru. Kini dia membangun pesawat laut, juga dari bahan materi daur ulang, yang diyakininya cukup ringan untuk diterbangkan.

Karena desanya, Prey Chhor, terletak 200 kilometer dari lautan, seetlah pesawat selesai dibangun, Long berencana memindahkan prototipe itu ke Svay Rieng menggunakan truk dan menerbangkannya dari Sungai Waiko.

Dia memperkirakan, model awal pesawat itu membutuhkan biaya 10.000 dolar AS atau sekitar Rp 130 juta untuk membangunnya.

Sampai sekarang dia sudah menghabiskan 3.000 dolar AS atau hampir Rp 40 juta untuk membuat pesawat laut.

Jumlah itu cukup banyak di negara di mana upah minimum adalah 153 dolar per bulan atau sekitar Rp 2 juta dan sekitar 13,5 persen penduduk hidup di bawah garis kemiskinan.

Belum lagi, Long bisa membawa keluarganya berlibur ke luar negeri dengan uang sejumlah itu. Bagi Long ambisinya ini bukan hanya soal terbang tetapi membuat sesuatu yang tak mungkin menjadi mungkin.

Baca: Ingin Dunia Saling Terhubung, Facebook Bikin Pesawat Nirawak

"Saya tidak pernah terpikir menghabiskan uang untuk hal-hal lain," katanya. "Saya tidak pernah menyesalkan menghabiskan uang itu."

Selain orang-orang yang mencemoohnya, banyak warga yang kagum dengan tetangga mereka yang eksentrik ini.

"Saya belum pernah bertemu seseorang dengan ide seperti ini," kata Sin Sopheap, seorang pemilik toko berusia 44 tahun.

"Buat saya ini tidak biasa," kata Man Phary (29) pengelola warung makan dekat rumah Long, "Karena bagi orang Kamboja, tidak ada orang (lain) yang akan melakukannya."

Istri Long, Hing Muoyheng, seorang penjual onderdil mobil berusia 29 tahun mengatakan, dia khawatir akan keamanan suaminya, apalagi karena mereka memiliki dua anak laki-laki yang masih muda, namun dia tetap mendukung suaminya.

"Saya tidak tahu cara kerja pesawat dan tak punya keahlian apapun untuk membantunya," katanya mengungkapkan kekhawatiran.

"Saya coba bertanya padanya beberapa kali karena saya takut, tapi dia bilang dia tidak akan mengalami bahaya apapun, jadi saya ikut saja rencananya," tambah dia.

Meski Long berharap untuk mengurangi risiko terhadap dirinya dan orang lain dengan menguji pesawatnya Juli nanti di atas air, tetapi dia sadar bahwa pesawat buatannya ini punya banyak variabel lain yang di luar kendalinya.

"Bahaya bukanlah sesuatu yang bisa kita prediksi," katanya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com