Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah dari Mosul: Kisah tentang Ketakutan, Siksaan, dan Kematian

Kompas.com - 09/06/2017, 15:16 WIB

MOSUL, KOMPAS.com - Orang-orang yang tinggal di Mosul, kota di Irak utara, yang dikuasai oleh kelompok yang menamakan dirinya Negara Islam di Irak dan Suriah (ISIS) tiga tahun yang lalu, menggambarkan kehidupan mereka yang sarat akan teror.

Mereka berkisah mulai dari anak-anak yang dibunuh karena melakukan kesalahan kecil, hukuman cambuk di depan umum, dan orang hilang yang hampir terjadi setiap waktu.

Rekaman video dan kesaksian eksklusif dari wilayah timur kota besar kedua Irak, yang direbut kembali pada Januari 2017, mengungkapkan bagaimana kelompok ekstremis menganiaya para perempuan, kelompok minoritas agama, dan berupaya mengendalikan semua aspek kehidupan masyarakat.

Namun, video tersebut juga menunjukkan bagaimana sekolah-sekolah dan kafe-kafe dibuka kembali, juga toko-toko yang kembali menjual produk-produk yang sebelumnya dilarang.

Dilaporkan bagaimana kehidupan di Mosul yang direbut lagi sesudah dikuasai ISIS selama tiga tahun, dan juga tentang kebrutalan hidup di bawah kelompok militan itu dalam video yang direkam secara sembunyi-sembunyi untuk BBC.

Baca: Kisah dari Mosul: Ini Menyedihkan, Banyak Orang Diamputasi

Saat pasukan keamanan Irak menguasai kembali sebagian besar kota Mosul, wilayah bagian barat negara itu tetap berada di bawah kendali ISIS.

Mengatur perempuan

Video-video, yang direkam pada Maret 2017 itu, dengan menggunakan telepon genggam, menunjukkan bagaimana beberapa aspek kehidupan perempuan kembali normal, toko-toko terlihat mulai menjual pakaian dan kosmetik lagi.

Namun, kaum perempuan yang tinggal di kota tersebut menggambarkan bagaimana ISIS mewariskan berbagai peraturan yang hingga kini masih berlaku.

Maha (36) warga di lingkungan Al Zuhour, mengatakan, “Saya tidak akan pernah melupakan hari yang mengerikan itu dan apa yang terjadi pada anak berusia tujuh tahun di jalanan tempat kami berada.”

Maha menceritakan ada seorang gadis cilik yang datang ke sebuah toko kecil untuk membeli permen saat anggota kelompok militan ISIS mendekatinya.

Gadis cilik itu berbincang polos dengan pemilik toko yang sudah tua, tak lama kemudian anggota kelompok milisi mendekatinya dan menanyakan di mana rumahnya berada.

Baca: ISIS Bunuh Ratusan Warga Mosul, Mayat Digantung di Tiang Listrik

Ia pun menunjukkannya sebelum kemudian berlari dan bersembunyi. Kemudian orangtuanya datang untuk melihat apa yang sedang terjadi.

Para militan ISIS pun menasihati mereka agar tidak membiarkan anak perempuan berdua mengobrol dengan pemilik toko, karena menurut mereka hal itu melanggar hukum syariah.

Bahkan gadis cilik polos seperti dia pun tidak diperbolehkan untuk menikmati masa kecilnya untuk pergi dan membeli permen.

Gadis cilik disiksa sampai mati

Setelah cukup lama berdebat, para pejuang ISIS itu memutuskan untuk menghukum gadis cilik itu dengan cara digigit atau dicubit wajahnya atau tangannya oleh para perempuan Hisba (sebutan untuk polisi agama), atau monster "Godba" untuk lebih tepatnya.

Sang ibu yang ketakutan, memohon mereka untuk menghukum dirinya, bukan putrinya yang masih anak-anak, namun anggota militan tidak memberikannya kesempatan untuk berdiskusi.

Gadis cilik itu kemudian dihukum di depan ibunya yang menjerit-jerit. Monster-monster itu dengan agresifnya memukuli dan mencubitnya berulang kali.

Anak itu menjerit sampai dia jatuh pingsan dan jantungnya berhenti berdetak.

Ibunya yang meratap, tak sadarkan diri saat melihat anaknya meninggal di depannya.

Baca: 100.000 Anak Terjebak Perang di Mosul, 700.000 Orang Melarikan Diri

Seluruh warga di lingkungan itu pun menjadi takut kejadian itu menimpa anak-anaknya setelah peristiwa yang terjadi hari itu.

Reem (27), warga lingkungan Al-hadbaa, mengisahkan, “Ayah saya sangat memperhatikan pertumbuhan kami, dan selama dua setengah tahun di bawah aturan ISIS, dia mengkhawatirkan keberadaan kami, jadi hampir setiap waktu kami berkumpul di rumah.”

Seperti di penjara

“Rasanya seperti tinggal di penjara selama ini, dan kami sangat jarang melakukan kegiatan di luar.

Suatu ketika, saya sedang berjalan kaki di jalanan, dan karena wajah kami harus terus ditutupi kain hitam, saya selalu tersandung saat berjalan,” katanya.

Waktu itu para pejuang ISIS melihat Reem dan mulai membuntutinya. “Saya lalu berlari lebih cepat dan berkali-kali saya tersandung- seperti seorang narapidana yang melarikan diri dari hukuman mati.”

Reem akhirnya berhasil sampai di rumah hari itu, namun rasa takut tetap tak beranjak.

“Saya terus-menerus dihantui mimpi buruk diikuti oleh orang-orang itu, dan saya terbangun dengan sangat ketakutan dan kelelahan.”

Bahkan setelah kota ini lepas dari kendali kelompok milisi itu, Reem masih mengalami mimpi buruk itu.

Hidup di bawah kendali ISIS terasa hampa dan membosankan, karena kami harus diam di rumah. “Mereka menutup perguruan tinggi kami dan menulis pengumuman di pintu depan yang berbunyi, ‘Kerajaan perempuan adalah rumahnya’.”

Seorang perempuan yang tidak disebutkan namanya mengungkapkan, sekolah-sekolah, universitas dan pendidikan umumnya merupakan pecundang besar dari di balik kelamnya aturan yang diterapkan ISIS.

Teknik jihad dan tempur

MOHAMMED AL-ZAKARIA/FACEBOOK/INDEPENDENT Dalam foto yang diunggah ke media sosial ini terlihat para pemudi Muslim kota Mosul, Irak bersama-sama membantu memperbaiki dan membersihkan biara St George yang rusak dan kotor.
Sebagian besar institusi tersebut ditutup, dan pendidikan di bawah ISIS difokuskan untuk mengajarkan teknik jihad dan bertempur.

Perempuan dan laki-laki dipisahkan dan para perempuan disuruh untuk menutup seluruh anggota tubuhnya dengan kain hitam.

Perempuan menjadi kalangan yang paling menderita saat ISIS memerintah, karena banyak dari mereka yang memilih tinggal di rumah selama bertahun-tahun. Sepanjang kelompok ini menguasai kota kami, kota itu menjelma menjadi sebuah penjara yang sangat luas.

Baca: Begini Cara ISIS Bebaskan Abu Bakr al-Baghdadi dari Kota Mosul

Di bawah kendali ISIS, kehidupan warga kota benar-benar berubah. Rekaman video memperlihatkan bagaimana berbagai perguruan tinggi yang ditutup di kota itu rusak parah. Namun, warga di kota itu masih berupaya untuk belajar.

Hussein (30 tahun), warga di lingkungan Al-Andalus, menuturkan, satu setengah tahun dikuasai ISIS, mereka memutuskan untuk melarang antena parabola.

“Ayah saya khawatir kami akan dihukum berat jika kami kedapatan memiliki antena parabola, jadi kami mencabutnya,” katanya.

Namun, setelah beberapa minggu tinggal di rumah, hampir sepanjang hari terkunci – menganggur dan tidak bisa kuliah atau mempunyai kegiatan lain sejak ISIS mengambil alih – sampai  akhirnya merasa bosan dan memutuskan untuk memasangnya lagi.

“Kami memasangnya lagi dengan cara yang tidak bisa mereka lihat dengan jelas dari jalan. Kami menempatkannya di atap di belakang beberapa tangki air.”

Dihukum cambuk

Beberapa hari kemudian, “kami mendengar pintu rumah kami diketuk keras dan ada orang berteriak-teriak di jalan, kami tahu itu adalah Hisba (polisi agama) yang datang, jadi saya berlari ke lantai atas untuk membongkar antena parabola itu.”

“Begitu saya mengintip, saya mendengar teriakan, ‘Turunlah, kami melihatmu’, dan saya baru menyadari bahwa mereka punya mata-mata yang mengintip dari atas atap yang lebih tinggi.

Pada saat itu beberapa pria mengetuk pintu rumahnya dan menyeret ayah Hussein ke luar.

“Saya berlari secepatnya dan mendorong mereka pergi. Akibatnya, saya dibawa pergi bersama dengan banyak pria dari lingkungan saya.”

Hussein kemudian dikurung selama sembilan malam tanpa tidur. “Kami bergiliran untuk bisa berdiri dan duduk di sel kami yang penuh dan sesak.”

Hussein kemudian diajukan ke depan hakim yang umurnya lebih muda darinya dan jelas dia tidak bisa membaca atau menulis. “Dia memvonis saya untuk dicambuk 60 kali,” katanya.

Mereka bertanya bagian tubuh mana dari Hussein yang akan dipilih untuk dicambuk. “Namun, saya tidak paham bedanya, jadi saya mengatakan kepada mereka untuk mencambuk bagian atas tubuh saya.”

Mereka lalu mengikat Hussein dan mulai mencambuk bagian atas tubuhya.

“Setiap kali saya menjerit kesakitan mereka akan mulai lagi mencambuk saya dari nol. Rasanya seperti siksaan yang tidak berakhir. Saya merasa hidup saya berakhir, karena saya sangat kesakitan.”

Disiksa habis-habisan

Tamarra (25), lulusan sastra Inggris, mengatakan, “Ayah saya bekerja untuk intelijen Irak dan dalam dua tahun terakhir hidupnya dihabiskan sepenuhnya untuk perang psikologis dengan ISIS.”

Saat mereka tidak meninggalkan Mosul, mereka mulai bersembunyi di dalam kota. “Ayah saya ditangkap dalam sembilan kesempatan terpisah.”

Baca: ISIS Eksekusi 284 Pria dan Anak di Mosul

Saat pertama kali mereka membawanya pergi selama tiga hari, rasanya seperti tiga tahun.

Ia diberitahu oleh seorang hakim bahwa ia akan dihadapkan kepada seorang 'hakim darah' (seorang algojo), tapi mereka menghukumnya dengan cara menyiksanya habis-habisan dan kemudian membebaskannya.

“Kami sangat senang pada akhirnya ia dilepaskan. Semua sudah selesai, ayah saya kembali berada di tengah-tengah kami,” kata Tamarra.

Tapi mereka (militan ISIS) kembali lagi dalam beberapa hari, dan kekecewaan kembali menggelayuti keluarga Tamarra seperti saat sebelumnya ayahnya dibawa selama tiga hari .

“Saat itu, kami semua menunjukkan tanda-tanda depresi. Rumah kami dijarah oleh ISIS dan kemudian dibom oleh serangan udara koalisi internasional. Kami harus pindah ke lantai atas rumah tetangga paman saya,” tuturnya.

Beberapa hari kemudian bel pintu berbunyi lagi, dan “ketika sepupu saya Ahmed membuka pintu, para militan ISIS mencengkramnya dan menanyakan keberadaan ayah saya.”

Ahmed mengatakan kepada mereka bahwa ayah Tamarra tidak ada di sana, tapi mereka memukulinya dan menaiki tangga ke tempat kami berada.

“Mereka menghempaskan ayah saya ke tanah. Seorang perempuan polisi agama mengumpat kami, bahkan menyumpahi nenek saya yang duduk di kursi rodanya.”

Baca: PBB: ISIS Bunuh 163 Warga Mosul yang Hendak Meninggalkan Kota

“Salah satu perempuan dari polisi agama ini benar-benar kasar terhadap nenek saya. Ia menggeledah nenek saya dan meninggalkannya dalam keadaan tanpa pakaian. Lalu mereka membawa ayah saya.”

“Sudah berbulan-bulan saya tak melihatnya. Saya menangis sampai air mata saya mengering.

Hari di mana ayah saya sangat rindukan telah terjadi. Kami telah terbebas dari kendali ISIS, tapi ia tidak ada di sana untuk menyaksikannya.”

Dipaksa menyaksikan kekejian

Ahmad (28), warga lingkungan Al-Arabi menuturkan, “Saya tidak pernah lagi keluar dari rumah. Saya muak melihat orang-orang dihukum sepanjang waktu oleh kelompok ISIS.”

Militan ISIS menentukan sebuah tempat untuk mengumpulkan semua orang setiap kali ada orang yang akan dihukum, dipukuli atau bahkan dipenggal.

Orang-orang dituduh melakukan berbagai kejahatan – perzinahan, berkonspirasi dengan aparat keamanan, dan alasan apapun yang mereka lontarkan untuk menakut-nakuti warga.

“Saya sudah tidak bekerja pada saat itu, jadi saya memutuskan untuk tinggal di rumah.

Tapi hanya dua hari, listrik kemudian padam dan mesin genset di tempat kami tak menyala.

Saya pikir petugas lupa menyalakannya, jadi saya memutuskan untuk pergi dan memeriksanya.”

Saat Ahmad pergi, keponakannya yang berusia delapan tahun memutuskan untuk ikut juga. “Ia juga berada di rumah karena sekolahnya sudah tutup. Kami tidak ingin dia belajar di sekolah yang dikuasai ISIS.”

Ketika Ahmad dan keponakannya mendekati mesin genset, mereka melihat sudah banyak orang yang berkumpul di sana. Ahmad langsung bisa mengetahui, para militan ISIS ada di sana juga.

“Mereka memaksa pemilik mesin genset untuk mematikannya, supaya orang-orang keluar dan berkumpul dan menyaksikan kejahatan keji mereka.”

“Saya menyesal sudah keluar rumah hari itu dan saya menyalahkan diri sendiri karena membiarkan keponakan saya melihat pemandangan mengerikan, yang saya tahu dia tidak akan pernah lupa.”

Mengontrol ekonomi

Reuters Warga distrik al-Zuhoor, Mosul, mengungsi untuk menghindari pertempuran antara pasukan Irak dan militan ISIS, 8 Januari 2017.
ISIS memberlakukan kontrol ketat atas aktivitas ekonomi selama tiga tahun masa pemerintahan mereka.

Seorang pemilik toko kelontong menjelaskan bagaimana ia harus menutupi wajahnya dan produk produk yang dia jual saat kelompok milisi berkuasa.

Baca: Pasukan Irak Berjuang Merebut Kantung Terakhir ISIS di Mosul

Para warga mengatakan gambar-gambar produk susu bayi dan popok juga harus disembunyikan.

Seorang perempuan yang tidak disebutkan namanya menuturkan, “Sangat sulit melakukan aktivitas perdagangan di bawah peraturan mereka, karena ISIS menerapkan aturan yang sulit bagi para pedagang dan berbagai kebijakan yang tidak mungkin mereka ikuti.”

Para penegak hukum ISIS akan mengatur jenis barang apa saja yang bisa dijual oleh para pedagang. Hal pertama yang mereka lakukan adalah melarang impor daging sapi dan ayam dan memaksa setiap orang untuk mengandalkan produk lokal.

Mereka juga melarang kaum pria memperdagangkan kosmetik dan asesoris perempuan. Mereka yang kedapatan melanggar peraturan akan dicambuk dan didenda.

Mereka juga memastikan bahwa setiap bungkus produk yang menampilkan wajah pria atau perempuan harus tertutup.

Sama halnya dengan gambar yang menunjukkan rambut perempuan atau bayi. Bahkan susu bayi dan popok pun harus ditutupi.

Ketika berita tentang "pertempuran pembebasan" diumumkan, para pejuang ISIS bingung, dan mereka mengintimidasi orang-orang dengan menaikkan harga dan menetapkan aturan yang keras.

Mereka bahkan melarang pemasangan antena parabola dan mulai menerbitkan publikasi audiovisual mereka sendiri melalui saluran mereka sendiri.

Mereka menyebarkan rumor tentang kemenangan mereka dan apa yang mereka sebut "menaklukan" kota-kota yang dibebaskan.

Mereka pergi dari rumah ke rumah untuk mencari telepon genggam dan jika ada orang yang kedapatan memilikinya, dia akan dihukum mati.

Penindasan minoritas

Gereja-gereja dan masjid-masjid syiah telah dihancurkan oleh kelompok ISIS yang adalah kelompok radikal Sunni, begitu juga dengan rumah-rumah penduduk.

Warga menuturkan bagaimana rumah-rumah kosong itu dijarah – terutama milik orang-orang Kristen.

Hamza (32), warga di jalan Al Jazaera, mengatakan, setelah ISIS memasuki kota, mereka menyerbu berbagai gereja dan beberapa masjid lalu menjarah apapun yang mereka temukan di dalamnya.

Mereka menggunakan meja dan kursi dari beberapa gereja sebagai tempat untuk menyiarkan kabar, di mana mereka menyebarkan propaganda.

Baca: ISIS Lakukan Genosida terhadap Orang Kristen, Syiah, dan Yazidi

Kelompok milisi juga mencari rumah-rumah kosong di seluruh penjuru kota untuk kemudian dirampok dan dirampas barang-barangnya, terutama rumah orang-orang Kristen yang telah meninggalkan kota.

ISIS juga menjarah rumah-rumah Muslim yang tidak sealiran mereka, yang telah melarikan diri, yang mereka sebut sebagai orang-orang murtad dan merampas harta benda mereka.

Orang-orang mencoba melindungi rumah-rumah ini dengan menempatkan anggota keluarga mereka sendiri dan berpura-pura bahwa rumah-rumah ini masih dihuni.

“Salah seorang tetangga saya diberi kunci rumah oleh teman Kristennya sebelum dia melarikan diri dari kota,” kata Hamza.

Suatu hari, sekelompok pria bersenjata muncul untuk menyita rumah tersebut. “Tetangga saya mengatakan kepada mereka bahwa rumah ini berada di bawah pengawasannya, dan jika mereka menghormati Nabi, mereka harus menghormati konsep perlindungan rumah tersebut.”

Mereka lantas membiarkannya hari itu, namun mereka terus kembali merongrong. Sekali waktu kelompok militan ISIS membawa tetangga Hamza pergi untuk dicambuk tapi dia tidak pernah menyerah.

Dia akhirnya meyakinkan mereka bahwa dia membeli rumah itu untuk putranya, dan dia menjaganya sampai hari kota itu kembali ke tangan pemerintah, saat dia menyerahkan kuncinya kembali ke temannya yang datang untuk memeriksa rumahnya.

 

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com