VIETNAM adalah negara ASEAN yang sangat mengesankan sekaligus merepotkan bagi saya. Bagi saya, Kota Hanoi dan Ho Chi Minh adalah kota yang menyenangkan, sekaligus juga melelahkan.
Setelah tiga puluh tahun mengalami masa perang dan menderita kerugian besar, masyarakat Vietnam seolah bertekad untuk mewujudkan hidup yang lebih baik.
Mereka berupaya keras untuk menjadi sukses. Hal ini membuat saya khawatir ketika membandingkan keadaan tersebut dengan negara-negara lain di Asia Tenggara.
Lima negara "Pendiri ASEAN" telah mengalami ledakan pertumbuhan ekonomi yang cepat. Sekarang, kita sedang menghadapi konsekuensinya, terutama di Malaysia dan Singapura, dan tiba-tiba kita pun tersadar bahwa hidup akan jauh lebih sulit bagi para generasi muda.
Negara-negara kompetitor bisa saja menunjukkan bahwa Vietnam merupakan kompetitor yang kejam, infrastrukturnya lemah, terutama sistem pendidikannya yang masih "jauh tertinggal" di belakang negara-negara ASEAN lainnya.
Namun, survei terbaru dari the OECD’s 2016 Programme for International Student Assessment (PISA) atau Program Penilaian Siswa Internasional menunjukkan bahwa para remaja Vietnam telah melebihi para remaja sebayanya di kawasan ASEAN.
Bahkan remaja Vietnam kini secara konsisten telah mengungguli orang-orang Amerika Serikat dan Inggris dalam matematika dan sains.
Survei itu digelar oleh PISA yang hasilnya diumumkan oleh Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD). Survei PISA menguji kemampuan siswa usia 15 tahun di bidang sains, matematika, dan membaca. Jumlah keseluruhan siswa yang mengikuti survei ini mencapai lebih dari 500.000 orang.
Baca juga: Singapura Teratas, Indonesia di Papan Bawah
Berdasarkan survei ini pun terlihat, siswa-siswa Singapura memperoleh nilai tertinggi, disusul oleh siswa di Jepang, Estonia, Taiwan, Finlandia, Makau, Kanada, Vietnam, Hongkong, China, dan Korea Selatan.
Negara-negara Eropa barat, seperti Inggris, Jerman, Belanda, dan Swiss, masing-masing berada di urutan ke-15, 16, 17, dan 18. Indonesia berada di papan bawah, di atas Brasil, Peru, Lebanon, Tunisia, Kosovo, Aljazair, dan Republik Dominika.
Jadi, sementara kita melihat Vietnam sebagai bagian integral dari Asia Tenggara, saya tidak yakin apakah mereka memiliki sudut pandang yang sama dengan negara-negara Asia Tenggara umumnya.
Terkait hal ini, saya berhenti sejenak di Kuil Konfusius di pusat Hanoi untuk melihat anak-anak sekolah setempat yang sedang dibimbing oleh para guru mereka untuk mencari inspirasi.
Posisi Vietnam yang menurut hasil survei Programme for International Student Assessment (PISA) cukup mencengangkan para ahli, hanyalah sepenggal kisah kesuksesan terkait anak-anak Vietnam. Di balik itu, banyak kisah lainnya yang begitu kompleks di Vietnam.
Seperti sebagian besar wilayah Asia Tenggara lainnya, sistem pendidikan lokal masih penuh dengan kekurangan, terutama karena adanya obsesi pembelajaran dengan hafalan dan tes standar. Padahal, di era perkembangan teknologi yang sedang bergerak cepat, para murid perlu diajarkan untuk berpikir kreatif.
Ketegangan yang sudah berakar ini sangatlah jelas terlihat, terlebih lagi ketika seseorang mengingat bahwa Vietnam merupakan negara Komunis.
Karena ingin mendapatkan perspektif yang sesungguhnya mengenai masalah pendidikan yang dihadapi Vietnam, saya mengobrol dengan Dang Thi Doan Trang, seorang guru bahasa Inggris Sekolah Dasar di pinggiran kota Hanoi.
Seiring dengan pemerintah daerah yang sedang berjuang untuk mengantisipasi tantangan di masa depan maka kebijakan di bidang pendidikan menjadi ujian yang utama. Pertanyaan utamanya berkisar pada bagaimana pemerintah menangani pengajaran bahasa asing.
Bagaimana dengan kelas agama, etika, dan moral? Sejauh mana teknologi akan berperan di Vietnam? Jelas bahwa Malaysia, Indonesia, dan Myanmar sedang menghadapi tantangan berat dalam melawan pengaruh fundamentalis agama yang terus tumbuh.
Kebanyakan para orangtua di Asia Tenggara menganggap bahasa Inggris sebagai bahasa komunikasi global. Mereka yakin adanya pengajaran yang baik dapat menjadikan para murid lebih memiliki banyak kesempatan kerja.
Menariknya, dan ini tidak seperti kebanyakan negara ASEAN lainnya, bahasa Mandarin tidak diangggap sebagai bahasa penting di Vietnam.
Trang dengan nada meremehkan justru balik bertanya, "China? Mengapa kita harus belajar bahasa China?" Mungkin dia ingin menunjukkan hubungan negaranya yang lemah dengan negara raksasa di utara.
Sebaliknya, kecintaan Trang terhadap bahasa Inggris tidak tertahankan. "Sejak awal, saya menyukai kata-kata bahasa Inggris. Ketika saya masih seorang mahasiswi, saya juga belajar bahasa Rusia. Namun kemudian pada 1993 saya beralih ke bahasa Inggris. Saya tahu bahasa Inggris lebih penting sehingga saya beralih. Mengajar bahasa Inggris adalah hasrat saya, saya tidak melakukan ini demi uang, " katanya.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.