MALAYSIA merupakan negara yang dengan cepat menjadi titik awal dari "perang budaya" global, karena bertentangannya visi yang diperjuangkan masyarakat dengan visi yang berkuasa.
Secara umum, terdapat dua kekuatan utama yang bekerja. Satu sisi adalah pandangan berbasis common law yang cenderung lebih condong ke arah Barat.
Hal ini telah terbentuk karena lokasi negeri ini yang strategis, yang berada di jantung salah satu rute perdagangan tersibuk di Asia, kaya akan sejarah, dan berbagai komunitas masyarakatnya yang telah menetap di sini.
Namun di sisi lain, terdapat sebuah pendekatan puris yang berpegang teguh pada tradisi Islam.
Sebagai penulis dan mantan pengacara, saya jelas termasuk dalam kategori pertama. Namun, tidak ada keraguan bahwa saat ini kategori kedua sedang menghimpun kekuatan.
Selama bertahun-tahun, saya telah menghindari banyak interaksi dengan sisi "yang lain" tersebut, karena perbedaan pandangan dunia tampak begitu keras dan kuat.
Didorong oleh rasa keingintahuan untuk memahami lebih baik masyarakat yang berpemikiran konservatif, saya pun mengatur pertemuan dengan pasangan Melayu yang baru saja menikah, Muna ‘Adila dan Afiq Awang.
Keduanya baru berusia pertengahan dua puluhan dan sama-sama lulusan Universitas Islam International di pinggiran timur Kuala Lumpur.
Dengan busana yang serba longgar namun sopan, hijab Muna pun hingga menyentuh pinggang, mereka terlihat sebagai umat Muslim yang saleh.
Namun, meski pakaian mereka berbeda dengan anak muda lainnya, sesungguhnya mereka menghadapi banyak tantangan yang sama, seperti bagaimana mengatasi biaya hidup dan harga rumah yang sangat tinggi.
Keduanya juga menyadari bahwa hidup mereka tidak semakmur orangtua mereka, yang pada satu titik memicu kemarahan dan penghinaan mereka terhadap Perdana Menteri Najib Razak dan pemerintahannya.
Secara pribadi, saya menyukai cara Afiq mendorong Muna, yang sedang dalam proses pelatihan untuk menjadi pengacara, untuk menyampaikan pandangannya.
Memang, saat kami berbincang, saya pun terpesona dengan indahnya senyum Muna serta sikapnya yang tenang dan berwibawa.
Sebagai seorang peserta pelatihan pengacara, lanjutan dari pendidikan hukumnya, di dalam diri Muna yang mempelajari sistem hukum Syariah dan Sipil ini telah tertanam sifat keterusterangan yang patut ditiru.
Afiq yang bekerja sebagai staf di bagian Kepatuhan Syariah sebuah perusahaan farmasi, tidak begitu banyak berargumen.
Sementara, Muna sangat bersemangat berbicara tentang sebuah rancangan undang-undang kontroversial (RUU 355) untuk mengubah Undang-undang Pengadilan Syariah (Undang-Undang Peradilan Pidana) 1965 yang diperjuangkan partai Islam Malaysia, PAS, dengan persetujuan diam-diam dari pemerintah.
Meskipun terlihat misterius dan tidak relevan, rancangan undang-undang tersebut telah menjadi penangkal dari berbagai kritikan. Mengapa? Intinya, hal ini bertujuan untuk memperkuat hukum di Pengadilan Syariah Malaysia.
Bagi sebagian besar penduduk non-Muslim Malaysia serta kalangan liberal dalam masyarakat Melayu, langkah ini dipandang sebagai upaya untuk memperkenalkan hukum hudud garis keras.
Dalam Kamus Besar Bahas Indonesia (KBBI) edisi daring, disebutkan hudud adalah hukum yang telah ditentukan bentuk dan kadarnya oleh Allah SWT, seperti hukum potong tangan bagi pencuri.
Maka tidak heran, Muna memandang segala sesuatu secara berbeda. Baginya, dua sistem hukum yang paralel seharusnya diterapkan secara sama.
Namun, ini jelas bahwa sistem syariah memiliki kekuatan yang lebih rendah dan Muna menganggap hal itu tidak adil.
Dia lantas menjelaskan bagaimana sistem syariah sesungguhnya sudah ada sebelum kedatangan orang-orang Eropa.
Bagi Muna, status yang rendah membuat dirinya seolah-olah merasa "…identitas kami sebagai masyarakat yang menyanjung nilai dan hukum Islam perlahan-lahan terkikis."
Seperti yang dia katakan, "Islam bukan hanya soal pribadi atau hubungan manusia dengan Tuhan, namun Islam juga mengatur hubungan antara manusia. Ada beberapa tindakan yang menurut Islam itu dosa, dan saya percaya, untuk itu ada hukuman yang sepatutnya dijatuhkan. Meskipun, tindakan itu urusan manusia dengan Tuhan, tetap harus ada undang-undang yang dibuat untuk mengatur hukuman itu.”
Mau tidak mau, perbincangan kami menyinggung politik dan bagaimana kontroversi tersebut bisa memengaruhi Pemilu Malaysia mendatang yang ke-14 sejak kemerdekaan. Karena keduanya anggota PAS, obrolan kami pun cukup memanas.
Ketika saya bertanya soal langkah-langkah yang taktis untuk mendorong rancangan undang-undang dengan sangat agresif, dan dampaknya terhadap nasib pemilihan partai PAS, Muna memotong pembicaraan saya.
"Pak Karim, PAS bukan hanya partai politik tapi juga sebuah gerakan yang berusaha mengubah masyarakat. Ada dua hal di luar urusan politik, yakni tarbiyyah (pendidikan) dan dakwah. Tujuan kami adalah menciptakan masyarakat Islam yang benar-benar menerapkan ajaran ajaran Al-Quran," kata Muna.
Muna juga menambahkan dengan tegas, "Jangan lupa, sebagian besar anggota UMNO pun menyebarkan pandangan kami tentang Islam dan kebutuhan untuk meningkatkan rasa hormat kami terhadap agama kami. Soal pemimpin mereka, itu masalah yang berbeda."
Dengan tegas dan terus terang, Muna selalu menyangkal pertanyaan saya di setiap kesempatan. Ini membuat saya menyadari betapa besarnya “perang budaya” ke depan.
Meski saya tetap berkomitmen pada sistem common law yang ada sekarang, dan saya merasa memiliki kemampuan khusus untuk menyeimbangkan antara hak dan kepentingan dari masyarakat Malaysia yang berbeda-beda, saya khawatir mereka-mereka yang ditugaskan menangani sesuatu, seperti yang dimiliki Muna dan Afiq saat ini, mungkin kurang memiliki semangat dan dorongan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.