Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Karim Raslan
Pengamat ASEAN

Karim Raslan adalah kolumnis dan pengamat ASEAN. Dia telah menulis berbagai topik sejak 20 tahun silam. Kolomnya  CERITALAH, sudah dibukukan dalam "Ceritalah Malaysia" dan "Ceritalah Indonesia". Kini, kolom barunya CERITALAH ASEAN, akan terbit di Kompas.com setiap Kamis. Sebuah seri perjalanannya di Asia Tenggara mengeksplorasi topik yang lebih dari tema politik, mulai film, hiburan, gayahidup melalui esai khas Ceritalah. Ikuti Twitter dan Instagramnya di @fromKMR

Poklong Anading: Menemukan Seni dalam "Kekacauan" Manila

Kompas.com - 18/02/2017, 20:31 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorTri Wahono

Ia memandang rongsokan, sampah, dan limbah yang entah bagaimana menjadi lebih penting dan bermakna dari pada produk-produk Abad 21: bangunan, papan-papan reklame, jalan raya, dan tol.

Dengan kata lain, dia mengamati, menilai, dan melahirkan inspirasi dari apapun yang "dibuang" orang– baik secara harfiah dan kiasan.

Sebagai contoh, di sebuah sudut komplek Cubao yang tenang, Poklong sedang menyiapkan sesuatu yang tampak seperti laboratorium (walaupun ia menyebutnya sebagai “arsip”): sebuah tempat untuk mengumpulkan, dan membersihkan “trapos,” sebuah kain lap pembersih yang tidak bernilai dan dapat ditemukan dimana mana di dalam kota.

Seperti yang terjadi, kata “trapos” memiliki makna ganda, “kain” dalam bahasa Spanyol dan “politisi tradisional” dalam bahasa Tagalog.

Namun, bagi Poklong, “trapos” sangat penting dan dia memperlakukannya dengan penuh hormat, dia menggarisbawahi pentingnya sesuatu yang kita sia-siakan dan hancurkan.
Relevansinya pun meluas melampaui pemahaman orang-orang pada umumnya sebagaimana Poklong menjelaskannya secara misterius, “Waktu ketika saya memulai untuk membersihkan adalah waktu ketika pemerintah kita juga mulai untuk ‘membersihkan’.”

“Saya bukanlah seniman yang berada di atas. Saya berada di tengah. Air dan cahaya adalah yang utama. Apa yang diproduksi gambar-gambar ini adalah cahaya.”

Narasi personal Poklong sendiri sulit dan tidak menentu sebagaimana kisah kehidupan kelas pekerja Filipina yang harus berjuang demi memperoleh makna hidup dan kemerdekaan, seperti yang diakuinya sendiri:

"Ibu saya kerja di luar negeri. Saya hanya melihatnya setiap dua atau tiga tahun sekali. Saya tumbuh bersama nenek sejak berumur dua tahun. Ayah saya tidak benar-benar hadir. Tapi kemudian nenek saya mengalami stroke dan kami dirawat oleh bibi saya. Saya kemudian lebih banyak menghabiskan waktu dengan nenek, menjaganya seperti seorang pengasuh karena bibi saya bekerja."

“Karena masa kecil saya, saya selalu bekerja paruh waktu, mencari uang dari produksi film dan TV untuk bertahan hidup. Ini semua tentang bagaimana hidup mandiri dan tidak didikte oleh apapun.”

Di sebuah kota di mana tragedi dan drama begitu tipis jaraknya, Poklong mampu menciptakan karya seni dalam bentuk esai yang indah tentang kehilangan, pengabaian, dan identitas.

Dengan membenamkan diri dalam kekacauan yang dinamakan Manila, Poklong meraih sebuah keajaiban kecil: mengubah rongsokan dan sampah menjadi puisi dan karya seni.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com