Namun tentu saja, tidak semua orang mengapresiasi kehadiran perempuan yang vokal di industri media. Karen mendapat cercaan pada saat dia menjadi moderator acara “Debat Presiden” pada April 2016. Dia menghujani Duterte dengan pertanyaan terkait kemungkinan anaknya terlibat dalam narkoba. Duterte menyangkal pertanyaan tersebut dengan tegas dan kemudian debat berlanjut.
Tetapi malam itu, Karen telah membangunkan amarah dari 14 juta pengikut sosial media Duterte. “Saya mengira acara 'Debat Presiden' berjalan dengan baik dan saya bisa tidur dengan nyenyak, namun ketika saya bangun, saya terkejut melihat timeline Twitter dan Instagram saya yang dipenuhi oleh pesan-pesan amarah – termasuk ancaman pemerkosaan dan pembunuhan. Saya segera mem-posting sebuah pesan untuk menjelaskan bahwa seorang pemimpin seperti Duterte sangat mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti itu.”
Keesokan harinya, Duterte sendiri turun tangan dan mengeluarkan pernyataan bahwa dia tidak tersinggung dan pengikut-pengikutnya harus berhenti menyerang Davila.
“Cercaan pendukungnya berhenti seketika” kata Davila, “Saya menyadari bahwa terlepas dari apakah mereka ‘tentara’ atau relawan, laki-laki ini adalah pemimpinnya.” Namun benar, ada prasangka bahwa hubungan antara media dengan Malacanang belum membaik.
Davila melihat situasi tersebut dengan sederhana, “Duterte adalah seorang yang unik dan tidak tradisional. Kami di media yang harus menyesuaikan. Jurnalisme "soundbite" tidak lagi berlaku. Salah satu tantangan besar lain bagi kami semua adalah bagaimana mengedukasi dan berkomunikasi dengan pendukungnya. Kami membutuhkan mereka untuk memahami bahwa ini bukan perang antar kelas. Tidak ada perpecahan politik. Namun, ada isu-isu yang perlu dibahas untuk kemajuan bangsa.”
Di luar kontroversi-kontroversi yang terjadi, sangat menyegarkan melihat wartawan wanita seperti Davila yang berani berbicara dan mempertanyakan otoritas. Tantangan untuk berhasil menghadapi ini terkadang melebihi rintangan-rintangan yang harus dihadapi kaum wanita sehari-hari, seperti seksisme, diskriminasi gaji atau tindakan represif terhadap suara perempuan.
Namun, hal tersebut tidak menghentikan langkah wartawan wanita Filipina dan Indonesia lainnya, seperti Jessica Soho dari GMA, Maria Ressa dari Rappler, Rosianna Silalahi dari KompasTV, dan Desi Anwar dari CNN Indonesia untuk bergabung bersama Davila dan Najwa melewati batas langit yang seakan sudah ditetapkan untuk wanita pada umumnya.
Sebuah pola yang jelas muncul di Asia Tenggara saat ini adalah negara demokrasi yang baik menempatkan wanita di depan dan menjadi pusat perhatian. Kami hanya bisa berharap bahwa ke depannya ini akan menjadi sebuah kebiasaan dibanding menjadi sebuah pengecualian.
Ikuti Ceritalah ASEAN di:
Twitter: http://twitter.com/fromKMR
Instagram: http://instagram.com/fromKMR