Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Karim Raslan
Pengamat ASEAN

Karim Raslan adalah kolumnis dan pengamat ASEAN. Dia telah menulis berbagai topik sejak 20 tahun silam. Kolomnya  CERITALAH, sudah dibukukan dalam "Ceritalah Malaysia" dan "Ceritalah Indonesia". Kini, kolom barunya CERITALAH ASEAN, akan terbit di Kompas.com setiap Kamis. Sebuah seri perjalanannya di Asia Tenggara mengeksplorasi topik yang lebih dari tema politik, mulai film, hiburan, gayahidup melalui esai khas Ceritalah. Ikuti Twitter dan Instagramnya di @fromKMR

Karen Davila, Penentu Agenda Filipina

Kompas.com - 30/09/2016, 09:57 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorTri Wahono

Karen Davila adalah Najwa Shihab versi Filipina. Atau sebaliknya, Najwa Shihab adalah Karen Davila versi Indonesia.

Di kedua negara demokrasi terbesar di Asia Tenggara ini, media memainkan peran penting. Berita yang disiarkan media secara riuh dan sulit diprediksi mampu menjadi topik pembicaraan di masyarakat.

Lalu bagaimana kedua wanita ini bisa masuk dalam daftar figur yang paling berpengaruh dalam industri media di dua negara demokrasi terbesar di ASEAN: yang satu, dengan mayoritas penduduk Muslim dan satunya lagi, dengan mayoritas penduduk Kristen?

Pertama, mereka bekerja di perusahaan media yang sangat berbeda. ABS-CBN - tempat Karen bekerja - merupakan perusahaan raksasa tingkat nasional yang mendominasi siaran televisi Filipina selama berpuluh-puluh tahun.

Sedangkan, Najwa bekerja di MetroTV - sebuah stasiun televisi berita dengan jejak politik yang kuat - yang relatif lebih kecil dari pada ABS-CBN.

Dengan tim produser, penulis, dan periset di belakang mereka, kedua wanita ini berada di garda terdepan mewakili sebuah organisasi media yang sangat kompleks tempat mereka menyajikan isu-isu yang sangat sensitif.

Tentu saja, talenta, pesona dan kecerdasan mereka menjadi nilai tambah yang turut membantu. Sebagai contoh, Presiden Filipina Rodrigo Duterte menyebut Davila "delicious". Sama halnya dengan Najwa, yang memiliki banyak penggemar laki-laki.

Saya mewawancarai Davila di Manila baru-baru ini. Saya dibuat takjub dengan jadwalnya yang padat dan kemampuannya untuk multi-task.

Davila memulai harinya pada pukul 08.00 dengan program acara “Headstart” yang membahas isu-isu terkini di daerah komunitas kelas atas Rockwell – sebuah daerah yang dikembangkan oleh keluarga Lopez yang juga pemilik ABS-CBN.

Lalu pada pukul 16.30, dia pergi ke markas besar ABS-CBN di Quezon City untuk membawakan program radio berbahasa Tagalog dan kemudian dilanjutkan dengan program berita malam "Bandila" pada pukul 22.30.

Dengan memiliki lebih dari 2,4 juta pengikutnya di Twitter dan 361.000 di Instagram, tingkat popularitas Karen di lingkup sosial media mampu mengimbangi Najwa meskipun Karen berasal dari negara dengan jumlah penduduk yang kurang dari setengahnya penduduk Indonesia.

Program acara “Headstart” telah menjadi platform media utama bagi pejabat-pejabat pemerintahan Duterte yang berusaha keras meminimalkan dampak negatif dari banyaknya celaan yang dilontarkan oleh Duterte.

Saya telah menonton program “Headstart”, dan saya dapat menjamin akan dampaknya yang begitu besar. Program acara ini mampu menentukan agenda politik pada satu hari dengan penonton yang menjangkau figur-figur penting Filipina mulai dari Istana Presiden, Senat, Kongres hingga rival program acaranya.

Mengingat program acara ini menampilkan wawancara yang panjang (hingga 45 menit), acara ini dapat menyulitkan pembicara-pembicara yang datang dengan kurang persiapan. 

“Headstart” membicarakan topik-topik yang bervariasi, mulai dari Laut China Selatan (dikenal dengan “Laut Filipina Barat”), pembunuhan di luar hukum, hingga dunia kewirausahaan.

Instagram.com/iamkarendavila Karen Davila.
Karen mengatakan, “Saya bekerja sangat keras. Anda tidak bisa memandu program seperti “Headstart” begitu saja tanpa persiapan yang matang. Anda harus mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya. Setiap malam saya tidur dengan kertas-kertas dan dokumen-dokumen yang berserakan. Namun, Anda harus menyeimbangkan hidup Anda. Saya memiliki suami dan dua anak laki-laki.  Saya harus membantu mereka mengerjakan pekerjaan sekolah,  dan kami juga menyediakan waktu untuk pergi sekeluarga – segala sesuatu harus diatur dengan baik.”

Namun tentu saja, tidak semua orang mengapresiasi kehadiran perempuan yang vokal di industri media. Karen mendapat cercaan pada saat dia menjadi moderator acara “Debat Presiden” pada April 2016. Dia menghujani Duterte dengan pertanyaan terkait kemungkinan anaknya terlibat dalam narkoba. Duterte menyangkal pertanyaan tersebut dengan tegas dan kemudian debat berlanjut.

Tetapi malam itu, Karen telah membangunkan amarah dari 14 juta pengikut sosial media Duterte. “Saya mengira acara 'Debat Presiden' berjalan dengan baik dan saya bisa tidur dengan nyenyak, namun ketika saya bangun, saya terkejut melihat timeline Twitter dan Instagram saya yang dipenuhi oleh pesan-pesan amarah – termasuk ancaman pemerkosaan dan pembunuhan. Saya segera mem-posting sebuah pesan untuk menjelaskan bahwa seorang pemimpin seperti Duterte sangat mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti itu.” 

Keesokan harinya, Duterte sendiri turun tangan dan mengeluarkan pernyataan bahwa dia tidak tersinggung dan pengikut-pengikutnya harus berhenti menyerang Davila.

“Cercaan pendukungnya berhenti seketika” kata Davila, “Saya menyadari bahwa terlepas dari apakah mereka ‘tentara’ atau relawan, laki-laki ini adalah pemimpinnya.” Namun benar, ada prasangka bahwa hubungan antara media dengan Malacanang belum membaik.

Davila melihat situasi tersebut dengan sederhana, “Duterte adalah seorang yang unik dan tidak tradisional. Kami di media yang harus menyesuaikan. Jurnalisme "soundbite" tidak lagi berlaku. Salah satu tantangan besar lain bagi kami semua adalah bagaimana mengedukasi dan berkomunikasi dengan pendukungnya. Kami membutuhkan mereka untuk memahami bahwa ini bukan perang antar kelas. Tidak ada perpecahan politik. Namun, ada isu-isu yang perlu dibahas untuk kemajuan bangsa.”

Di luar kontroversi-kontroversi yang terjadi, sangat menyegarkan melihat wartawan wanita seperti Davila yang berani berbicara dan mempertanyakan otoritas. Tantangan untuk berhasil menghadapi ini terkadang melebihi rintangan-rintangan yang harus dihadapi kaum wanita sehari-hari, seperti seksisme, diskriminasi gaji atau tindakan represif terhadap suara perempuan.

Namun, hal tersebut tidak menghentikan langkah wartawan wanita Filipina dan Indonesia lainnya, seperti Jessica Soho dari GMA, Maria Ressa dari Rappler, Rosianna Silalahi dari KompasTV, dan Desi Anwar dari CNN Indonesia untuk bergabung bersama Davila dan Najwa melewati batas langit yang seakan sudah ditetapkan untuk wanita pada umumnya. 

Sebuah pola yang jelas muncul di Asia Tenggara saat ini adalah negara demokrasi yang baik menempatkan wanita di depan dan menjadi pusat perhatian. Kami hanya bisa berharap bahwa ke depannya ini akan menjadi sebuah kebiasaan dibanding menjadi sebuah pengecualian.

Ikuti Ceritalah ASEAN di:
Twitter: http://twitter.com/fromKMR
Instagram: http://instagram.com/fromKMR

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com