Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kabut Asap dari Indonesia Kembali "Serang" Singapura

Kompas.com - 26/08/2016, 20:18 WIB
Ericssen

Penulis

SINGAPURA, KOMPAS.com - Warga Singapura terbangun Jumat pagi (26/8/2016) disambut dengan kabut asap yang tebal di luar rumah mereka.

Seperti tahun-tahun sebelumnya, warga negeri Merlion kembali dibuat sesak napas akibat kiriman asap dari Indonesia.

Berdasarkan data terakhir dari National Environment Agency (NEA), pukul 20.00 waktu setempat, standar indeks polutan (PSI) untuk 24 jam terakhir menunjukan angka 87-118.

Sedangkan angka PSI untuk pengukuran setiap tiga jam sekali menembus angka 115.

Padahal, katagori udara sehat yang bisa dihirup manusia hanya boleh memiliki PSI maksimal 100.

NEA dalam pernyataannya menyatakan, kondisi berkabut kelihatannya akan berlanjut hingga akhir pekan ini.

NEA telah meminta warga untuk mengurangi aktivitas di luar rumah terutama bagi anak-anak, manula, ibu hamil serta individu yang mengalami gangguan jantung dan paru-paru.

Terdeteksi ada 11 titik api di Pulau Sumatera, di mana asap yang bermunculan itu kemudian berhembus ke Singapura karena tiupan arah angin.

NEA juga menyatakan, pimpinan institusi Laksamana Muda Ronnie Tay telah bekorespondensi dengan pejabat berwenang di Indonesia mengutarakan kecemasan Singapura akan kondisi berkabut ini.

Tay berharap pihak berwenang di Indonesia segera mengambil tindakan yang diperlukan untuk memitigasi dampak kebakaran hutan.

Berdasarkan pantauan langsung di Singapura, kondisi udara Singapura pada Jumat ini memang sangat berkabut terutama di bagian barat Singapura yang mayoritas adalah daerah pemukiman warga.

Bau asap langsung menusuk ke hidung ketika berjalan di daerah terbuka.

Tidak sedikit warga yang terlihat berseliweran memakai masker. Semakin sore kondisi udara semakin buruk dan semakin sulit bagi warga negeri jiran ini untuk bernafas dengan bebas.

Netizen Singapura meluapkan kedongkolannya terhadap “musim asap tahunan” ini.

Tagar #SGHaze menjadi trending topic Twitter Singapura.

Tidak sedikit yang mengeluarkan pernyataan sindiran mengucapkan terima kasih terhadap 11 bulan udara segar yang diterima dari Indonesia.

Adapun sindiran ini ditujukan ke Wakil Presiden Jusuf Kalla yang tahun lalu memicu kontroversi dengan menyatakan bahwa Indonesia tidak perlu meminta maaf soal asap dari hutan di Sumatera dan Kalimantan.

Padahal asap dari sana dianggap mengganggu lingkungan di beberapa negara tetangga.

Yang perlu dilakukan Indonesia adalah menangani dan mengatasinya agar kebakaran hutan yang menyebabkan polusi asap tidak terjadi kembali.

"Coba berapa lama mereka (negara-negara tetangga) menikmati udara yang segar dari lingkungan yang hijau dan hutan-hutan kita saat tidak terjadi kebakaran? Bisa berbulan-bulan. Apa mereka berterima kasih?" ujar Wapres kala itu.

"Tetapi, waktu terjadi kabakaran hutan, paling lama sebulan, asap-asap itu mengotori wilayah mereka. Jadi, mengapa mesti meminta maaf," ujar Kalla lagi.

Menteri Lingkungan dan Sumber Daya Air Singapura Masagos Zulkifli menuliskan bagaimana dia ‘terganggu” dengan kemunculan kabut ini tepat di hari pemakaman Mantan Presiden SR Nathan yang wafat Senin lalu.

Parlemen Singapura sendiri telah meloloskan RUU yang mengusulkan denda bagi sejumlah perusahaan yang menyebabkan polusi, terlepas dari apakah perusahaan itu beroperasi di negara itu.

Namun Wapres bulan Juli lalu mengatakan, Indonesia tidak akan membiarkan warganya diadili oleh Singapura karena masalah asap ini.

Kalla mengutarakan tindakan pelanggaran terjadi di Indonesia, dan Singapura tidak berwenang mengambil tindakan.

NEA bulan Juni lalu mengeluarkan perintah dari pengadilan terhadap salah satu Direktur Perusahaan yang diduga terlibat aksi pembakaran hutan. Namun yang bersangkutan tidak muncul untuk menghadiri sesi tanya jawab dengan NEA.  

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com