Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Mesra Pelaut Makassar dan Orang Aborigin pada Masa Lalu

Kompas.com - 22/07/2016, 10:02 WIB
Caroline Damanik

Penulis

Penduduk asli Australia ini lalu akan segera bersiap memanen teripang, juga mutiara dari tiram dan kerang, serta penyu sisik dan penyu hijau.

Hingga pada suatu waktu, tak hanya singgah untuk membeli, lama-kelamaan sebagian dari pelaut asal Makassar ini juga ikut tinggal sementara di Arnhem Land untuk membantu penduduk Suku Yolngu membudidayakan dan memanen teripang, mengolah, mengeringkannya, lalu mengirimkannya kembali ke Makassar dengan kapal untuk dijual.

Langgeng

Hubungan dagang terus berlanjut dan para pelaut dari Makassar selalu datang setiap barra berembus, tanda musim penghujan datang. Richard mencatat bahwa riwayat kedatangan dan jual beli antara Suku Yolngu dan pelaut Makassar, termasuk pengaruh yang diberikan oleh mangathara, dicatat oleh Suku Yolngu dalam serangkaian lagu yang disebut manikay.

Manikay pada dasarnya berisi pengetahuan dari para leluhur mengenai bagaimana cara Suku Yolngu hidup, biasanya dinyanyikan pada saat upacara adat.

Dari manikay diketahui bahwa teripang dibeli dengan cara barter dengan sejumlah benda, seperti alkohol, tembakau, dan beras, dari para pelaut Makassar.

Cerita turun-temurun juga mencatat benda-benda berbahan logam, misalnya kapak, kait pancing, pedang, dan senapan, sebagai hasil barter.

“Sementara itu, catatan sejarah pemerintah South Australia dan parlemen menunjukkan barang-barang yang diterima dari orang Makassar hanyalah tembakau dan beras,” tutur penulis buku Why Warriors Lie Down and Die ini.

Paul Thomas, dosen yang menjabat sebagai koordinator dari Indonesian Studies School of Languages, Literatures, Cultures and Linguistics dari Monash University, mengatakan bahwa pada saat itu, beras menjadi komoditas yang penting bagi Suku Yolngu.

Bahkan, Paul menyebutkan bahwa para pelaut dari Makassar-lah yang memperkenalkan logam untuk kali pertama kepada penduduk asli Australia. Sebelumnya, segala alat kerja Suku Yolngu terbuat dari batu.

KOMPAS.com/Caroline Damanik Gambar pinisi yang berisi pelaut dari Makassar yang datang berlayar ke tanah suku Yolngu, penduduk Aborigin yang tinggal di Arnhem Land di timur laut Australia, sekitar akhir abad 17 hingga awal abad 19 ditunjukkan oleh Paul Thomas, Coordinator Indonesian Studies School of Languages, Literatures, Cultures and Linguistics dari Monash University.
“Awalnya memang teripang, tetapi bagi suku asli, kunjungannya (pelaut dari Makassar) tentu lebih penting dari perdagangan biasa. Beras (di Nusantara) tidak terlalu mahal waktu itu, tidak dianggap penting, tetapi bagi suku asli, beras sangat penting. Jadi, untuk mereka, perdagangan dengan orang dari Indonesia jauh lebih penting karena (mereka butuh) beras, pisau, logam, dan tembakau,” ucapnya saat ditemui di Monash University.

Tak hanya saling memberikan keuntungan dari segi ekonomi, pertukaran budaya juga terjadi. Sejumlah anggota klan Yolngu ikut menempuh perjalanan laut ke Nusantara. Sejumlah pelaut dari Makassar pun ada yang tinggal sementara untuk memanen teripang.

Salah satu pengaruh kuat dari hubungan ini adalah dari segi bahasa. Bahasa Aborigin-Yolngu mengenal sejumlah kosakata yang mirip dengan kata dalam bahasa Indonesia, misalnya rrothi yang berarti roti, Balanda dari kata Belanda merujuk kepada orang kulit putih, prau yang berasal dari kata perahu dan rupiah dari kata rupiah untuk merujuk pada uang di kehidupan Suku Yolngu.

Paul mengatakan bahwa bahasa yang memengaruhi kosakata Suku Yolngu adalah bahasa Melayu. Ini menjadi salah satu bukti bahwa tidak semua anak buah kapal pinisi dari Makassar itu adalah orang Makassar, Bugis, atau Bone.

Tak hanya itu, penduduk Yolngu juga mengenal bendera yang diperkenalkan oleh pelaut dari Makassar. Penduduk asli memakai bendera untuk menunjukkan teritori kelompok tertentu dan sebagai simbol yang sangat penting dalam upacara adat. Mereka lalu mulai berinovasi dengan teknologi sederhana, misalnya membuat perahu kecil atau sampan yang disebut lipa-lipa.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com