Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Tak Adil, Anakku Tewas dengan Cara Seperti Itu..."

Kompas.com - 20/06/2016, 20:29 WIB

SANTA BARBARA, KOMPAS.com - Minggu, 19 Juni biasa diperingati sebagai Hari Ayah. Richard Martinez pun menghabiskan waktunya di sebuah restoran dia mana dia dan anak lelakinya, Christopher biasa melewatkan "Father's Day" bersama.

Namun, kesempatan kemarin adalah kali ketiga bagi Richard merayakan Hari Ayah sendiri, tanpa kehadiran buah hatinya itu.

Pada 23 Mei 2014, Christopher yang waktu itu berusia 20 tahun, bersama lima orang lainnya, menjadi korban tewas dalam penembakan yang terjadi di dekat kampus Universitas California, Santa Barbara.

Para pelajar itu tewas di the IV Deli Mart di Isla Vista, California.

"Dia tewas tertembak. Sebuah peluru bersarang di dekat jantungnya. Dia pun jatuh dan tewas," kata Richard (63) mengenang peristiwa tragis tiga tahun silam.

"Saya kehilangan anak saya karena kekerasan bersenjata di negara ini, dan saya marah. Sangat tidak adil Chris tewas dengan cara begitu," sambung Richard. 

Richard yang adalah pengacara untuk kasus kriminal, mengatakan, dengan peristiwa yang pernah dialaminya itu, dia pun bisa sangat mengerti luka yang dialami keluarga korban penyerangan di Orlando. 

"Mereka pasti harus menunggu berjam-jam, untuk memastikan apa yang terjadi, sambil terus berharap kerabat mereka selamat," kata dia.

"Sementara itu, pada saat yang sama mereka tak berhenti menulis pesan di ponsel mereka, atau mencoba menelpon," sambung Richard. 

Serangkaian kasus penembakan yang terjadi di AS telah mendorong RIchard untuk melakukan segala upaya demi mengubah undang-undang yang terkait dengan kepemilikan senjata api.

Richard melakukan perjalanan ke banyak negara bagian untuk menyuarakan pesan demi berkurangnya kekerasan bersenjata.

Upayanya ini disekong oleh sebuah perkumpulan "Everytown for Gun Safety" yang dibentuk setelah penembakan di sebuah sekolah dasar di Newtown, Connecticut.

"Kini, setiap detik yang kita lewati, membawa kita makin dekat dengan penembakan massal selanjutnya. Pasti akan ada penembakan lainnya, sementara para anggota kongres tak melakukan apa-apa," serunya.  

Dia mengatakan, jika para legislator tak mampu mencegah terjadinya penembakan massal, maka perubahan UU sesunguhnya bisa mengurangi jumlah korban secara drastis.  

"Ini abad ke 21 di AS, dan pasti anda bisa mengatakan kepada saya, bahwa kita bisa melakukan lebih baik dari yang sekarang," tegasnya. 

Richard, yang mengaku sangat dekat dengan Chris, juga menegaskan bahwa pemeriksaan latarbelakang seseorang masih penting untuk dilakukan. Hal ini berguna secara signifian dalam banyak kasus lain. 

Komentar ini diungkapkannya terkait munculnya pandangan bahwa pemeriksaan latar belakang seseorang tak berguna untuk mencegah kasus-kasus penyerangan macam di Santa Barbara, maupun yang terakhir di Orlando.

"Orang yang tewas dalam kecelakaan mobil meski mengenakan sabuk pengaman, tidak lantas memunculkan argumen bahwa 'seat belt'  tak berguna," cetus dia.

"Apa yang terjadi dengan anak saya bukan merupakan bukti untuk melandasi argumen bahwa pemeriksaan latarbelakang orang tak membantu. Justru dengan kasus itu menujukkan kita harus melakukan pemeriksaan dengan lebih teliti," ujar Richard. 

Menurut dia, yang dibutuhkan adalah lengkapnya informasi tentang seseorang, termasuk kondisi kesehatan mental.

Selanjutnya, harus ada tindakan yang mencegah, orang-orang dengan potensi penyakit mental, tendensi kriminal, dan pelaku kekerasan domestik untuk memiliki senjata.

Richard mengaku, terakhir kali bertemu dengan Richard saat momen Hari Ibu tahun 2014. Saat itu mereka berkumpul bersama mantan istri Richard, Karen.

"Kami menyantap hidangan 'brunch' kala itu. Setelah itu, kami mengantarnya ke areal parkir. Kami mengucapkan 'good bye', dan melihat dia memasuki mobil dan berlalu dari pandangan kami," kata Richard.

Dalam wawancara yang dirilis laman People ini, Richard terlihat mengenakan pita di pergelangan tangannya. Pita itu merupakan bentuk simpati kepada mereka yang kehilangan orang-orang yang mereka cintai karena kekerasan dengan senjata api.

Richard mengaku, ada kalanya dia mengalami putus asa dengan segara upayanya. Namun kata-kata dari saudara lelakinya membangkitkan niatnya lagi. 

"Dia bilang, jangan berpikir seperti itu, lakukan saja apa yang bisa kita lakukan sebaik mungkin. Sekalipun akhirnya kita gagal, tapi setidaknya kita sudah membuka jalan, memudahkan orang-orang setelah kita untuk melanjutkan perjuangan ini," kata Richard. 

"Kita tak bisa membiarkan kekerasan bersenjata terus terjadi di negeri tempat kita tinggal," ungkap Richard mengutip perkataan saudaranya. 

Baca: Senat AS Akan Lakukan Voting soal Pengawasan Senjata Api

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com