Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Aktivis Indonesia Ajukan Petisi untuk Cabut Nobel Milik Aung San Suu Kyi

Kompas.com - 29/03/2016, 07:00 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Ratusan aktivis lewat situs Change.org mengajukan petisi kepada komite Nobel untuk mencabut hadiah Nobel Perdamaian yang diterima tokoh politik Myanmar, Aung San Suu Kyi, pada 2012.

Petisi ini muncul menyusul pernyataan Suu Kyi yang menyebut “Tak seorang pun memberi tahu bahwa saya akan diwawancara oleh seorang Muslim.”

Komentar yang tertulis di buku biografi berjudul The Lady and The Generals: Aung San Suu Kyi and Burma’s Struggle for Freedom tersebut dikeluarkan Suu Kyi karena "geram" seusai wawancara dengan wartawan BBC Mishal Husain yang berdarah Pakistan tiga tahun lalu.

Dalam wawancara dengan Suu Kyi, Husain menanyakan sikap presiden Partai NLD tersebut, yang membisu terhadap sentimen anti-Islam dan diskriminasi terhadap etnik minoritas Rohingya.

Salah satu penggagas petisi, aktivis sosial Hamid Basyaib, menilai pernyataan Suu Kyi itu sebagai tindakan “diskriminatif” terhadap Muslim.

“Itu kan pernyataan yang tidak pantas, yang tidak relevan. Kalau diwawancara, oleh siapa saja ya boleh toh? Orang Islam, atau apa...,” kata Hamid kepada BBC Indonesia, Senin (28/3/2016).

Turunkan kredibilitas Nobel

Komentar figur yang kerap disebut “pejuang demokrasi” tersebut, dinilai penggagas petisi, bertentangan dengan prinsip Nobel Perdamaian, yang menjunjung unsur-unsur antidiskriminasi, antirasialisme, dan pluralisme.

“Kalau seorang penerima Nobel perdamaian justru memunculkan sikap antitesis yang berlawanan dengan unsur perdamaian, berarti enggak pantas,” tambah Basyaib.

Agus Sari dari Publik Virtue Institute, yang ikut mengajukan petisi ini menyebut, “(Pernyataan Suu Kyi) menurunkan kredibilitas dari Nobel Peace Prize, karena banyak sekali pemegang Nobel yang betul-betul berjuang untuk perdamaian dan sampai akhir hayat konsisten.”

“Jadi, kalau tak bisa konsisten, lebih baik dikembalikan atau dipaksa untuk mengembalikan,” lanjut Agus Sari.

Pada petisi di situs Change.org ditulis, “Selama tiga tahun terakhir lebih dari 140.000 etnis Muslim Rohingya hidup sengsara di kamp pengungsi di Myanmar dan berbagai negara. Bukankah demokrasi dan HAM mengajarkan untuk menghormati setiap perbedaan keyakinan dan menjunjung tinggi persaudaraan?”

Dilansir dari The Telegraph, dalam buku biografinya, Suu Kyi disebut “menolak untuk mengutuk sentimen anti-Islam dan pembantaian terhadap kelompok Muslim di Myanmar”.

Penting untuk Indonesia

Menurut Agus, pengajuan petisi ini penting bagi Indonesia yang ikut menampung pengungsi Rohingya. “Indonesia dan Myanmar juga sama-sama negara ASEAN.”

Apalagi partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinan Suu Kyi telah memenangi pemilu. Suu Kyi bahkan menjabat menteri di kabinet baru Myanmar.

Setiap ucapan Suu Kyi akan berpengaruh pada kebijakan Myanmar, termasuk masalah yang menimpa etnis minoritas Rohingya.

“Namun, seperti politik pada umumnya, minoritas ini (Rohingya) tak akan memiliki kekuatan apa-apa. Dulu kita kira dia (Suu Kyi) tak berani bersikap, di bawah tekanan. Sekarang, telah bebas ternyata (tetap) tak ada sikap,” tegas Agus.

Pengajuan petisi ini dinilai Hamid Basyaib bisa menjadi pembelajaran pula bagi Indonesia.

“Enggak bisa kaum Muslim diskriminasi orang beragama lain, etnik lain. Ini kan imbauan universal, sebetulnya. Jadi, kalau bisa ini berdampak pula pada Indonesia, membuat para bigot atau yang biasa mendiskriminasi orang atas dasar agama, untuk jadikan ini renungan. Sikap semacam ini harus universal. Kita tak boleh mendiskriminasi Muslim dan tak boleh pula mendiskriminasi non-Muslim,” pungkas Hamid.

Petisi yang diluncurkan pada Senin (28/3/2016) sore tersebut diharapkan penggagasnya dapat meraih ratusan ribu dukungan dari Indonesia dan luar negeri dalam sepekan ke depan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com