Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Seorang Korban Kekerasan Seksual 1965 Berikan Kesaksian

Kompas.com - 12/11/2015, 08:28 WIB
DEN HAAG, KOMPAS.com — Seorang perempuan berusia 70 tahun memberikan kesaksian dari balik tirai hitam dalam lanjutan Pengadilan Rakyat Internasional (IPT) mengenai peristiwa 1965 di Den Haag, Belada, Rabu (11/11/2015).

Awalnya bertutur dengan lancar, saksi yang namanya tidak mau disebutkan ini kemudian beberapa kali berhenti memberikan kesaksian sambil menahan tangis.

Ia dihadirkan sebagai saksi korban dugaan kekerasan seksual yang dialami oleh orang-orang yang dianggap anggota atau simpatisan PKI.

Kepada panel hakim, ia mengatakan, ketika pecah kekacauan politik di Indonesia pasca 30 September 1965, ia adalah seorang mahasiswi Katolik yang pandai kesenian, terutama menari di desanya di Yogyakarta.

Pengadilan di Den Hag ini digagas oleh sejumlah pegiat hak asasi manusia dengan tujuan, antara lain, meminta pertanggungjawaban negara atas gelombang kekerasan 1965-1966, yang diperkirakan menewaskan 500.000 hingga satu juta jiwa.

Pemeriksaan dengan penyiksaan

Tak ada satu pun alasan, tegasnya, untuk menggolongkannya sebagai simpatisan PKI atau anggota Gerwani, organisasi perempuan yang dikaitkan dengan PKI. Namun, dia menjalani pemeriksaan demi pemeriksaan yang diwarnai penyiksaan, penelanjangan, dan intimidasi.

"Kamu pilih mengaku kenal (dengan pria yang sama-sama diperiksa), melakukan gerilya politik, atau kamu saya telanjangi," ujar penyintas asal Yogyakarta itu menirukan ucapan petugas yang memeriksanya di Corps Polisi Militer setempat.

"Itu bukan pilihan, Pak. Saya tidak dapat memilih, tapi akhirnya toh kami ditelanjangi."

Ditambahkannya, sang pemeriksa mengeluarkan intimidasi lagi untuk memosisikan perempuan itu dengan tahanan lain duduk berpangkuan dalam keadaan telanjang. Intimidasi tersebut benar-benar diwujudkan setelah jawaban perempuan itu tidak berubah.

"Mereka tidak mendengarkan jawaban saya," kata sang ibu ini.

Disuruh menciumi kelamin

Dalam pemeriksaan berikutnya, ia dihadirkan seorang diri dan pertanyaan yang dilontarkan pemeriksa agak berbeda.

"'Berapa orang anggota gerilya politik itu?' Saya malah menjadi bingung. Kok tidak seperti dulu pertanyaannya?".

Ia lantas menjawab bahwa tidak melakukan gerilya politik dan sudah mempunyai posisi mapan sebagai mahasiswa yang kemudian menjadi guru, sedangkan adik-adik dan ibunya memerlukan topangannya setelah ayah dijebloskan ke penjara karena dituduh anggota PKI.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com