Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Wanita Dijadikan Budak Seks di "Sejumlah Kamp Pemerkosaan" di Sudan Selatan

Kompas.com - 28/09/2015, 14:07 WIB

BENTIU, KOPAS.com — Seorang perempuan diculik sejumlah tentara dan dibawa ke sebuah kamp militer. Di sana, dia diikat dan diperkosa berulang kali selama dua bulan.

Seorang perempuan lain diculik bersama adiknya yang berusia 15 tahun, dan diperkosa setiap malam selama lima malam. Seorang perempuan ketiga dibawa ke hutan bersama putrinya yang baru berusia 12 tahun. Di sana, keduanya diperkosa.

Penculikan perempuan dan gadis muda yang kemudian dijadikan sebagai budak seks—beberapa di antaranya ditahan tanpa batas waktu—diikat bersama ratusan orang lain di "kamp-kamp pemerkosaan" rahasia, merupakan sebuah aspek baru yang mencemaskan dari konflik yang telah berlangsung selama 21 bulan di Sudan Selatan, yang kejahatan perang dan pelanggaran hak asasi manusianya sudah sudah dikenal.

Para gadis Chibok di Nigeria, yang diculik Boko Haram pada April 2014, dan para perempuan Yazidi di Irak yang dijadikan budak seks oleh kelompok militan Negara Islam Irak dan Suriah atau ISIS, sudah diketahui dunia. Namun, nasib dari—mungkin ribuan—perempuan Sudan Selatan yang diculik dan berulang kali menjadi korban pemerkosaan brutal serta bekerja dalam kondisi seperti budak tetap tidak terungkap ke permukaan hingga kini.

Puluhan wawancara yang dilakukan kantor berita AFP di utara negara itu mengungkapkan sebuah pola sistematis penculikan dan pemerkosaan yang dilakukan tentara pemerintah dan milisi sekutunya selama sebuah ofensif berlangsung baru-baru ini.

Penyelidikan difokuskan pada serangan pasukan pemerintah. Namun, kedua belah pihak telah melakukan pembantaian etnis, merekrut dan membunuh anak-anak, serta melakukan pemerkosaan secara luas, juga penyiksaan dan pemindahan paksa penduduk demi "membersihkan" daerah musuh mereka.

Penculikan dan pemerkosaan sistematis

Nyabena, seorang ibu berusia 30 tahun, ditangkap ketika tentara menyerang desanya di Kabupaten Rubkona pada April lalu. Laki-laki dewasa dan anak laki-laki ditembak mati. Rumah-rumah dijarah dan dibakar hingga rata dengan tanah. Kaum perempuan dan anak perempuan ditangkap. Nyabena berada di antara 40 orang yang diambil dari dua desa bertetangga. Ia berurai air mata ketika bercerita tentang kejadian saat dirinya dipisahkan dari kelima anaknya.

Mereka dibawa ke Kabupaten Mayom. Nyabena ditahan di Kotong, wilayah yang dikuasai Mayor Jenderal Matius Puljang, komandan milisi Suku Nuer Bul yang beraliansi dengan tentara Sudan Selatan, SPLA, yang telah memerangi para pemberontak sejak Desember 2013.

Sejak April hingga Juli tahun ini, SPLA dan milisi Puljang telah melakukan serangan yang oleh para peneliti PBB digambarkan sebagai "kebijakan pembumihangusan" dalam laporan mereka pada bulan Agustus.

Pertempuran dan banjir telah membatasi akses ke sebagian besar wilayah Sudan Selatan. Hal itu membuat para pekerja bantuan menyebut bagian selatan negara itu sebagai "lubang hitam informasi".

Seorang penyidik HAM mengatakan, "Tidak ada yang tahu apa yang terjadi di Kabupaten Mayom," tempat banyak perempuan diculik. Seorang pakar militer memperkirakan bahwa "ribuan perempuan" diculik selama serangan itu.

"Di semua kabupaten di bagian selatan Sudan Selatan pun sama. Para perempuan yang melarikan diri ini beruntung. Mereka yang tidak (berhasil melarikan diri) akan diperkosa dan diculik atau dibunuh," kata penyidik HAM itu. "Penculikan kaum perempuan tampaknya sistematis. Itu bisa satu hari, atau lebih lama, atau untuk selamanya."

Mereka yang lolos menceritakan kisah mereka dengan suara yang tenang, tanpa emosi (karena sudah mati rasa). Mimpi buruk menimpa beberapa di antara mereka. Kadang, mereka berpikir bahwa dirinya masih ditawan.

Setelah diculik, Nyabena disuruh bekerja pada siang hari. Tugasnya antara lain membawa barang-barang hasil jarahan dan makanan, mengumpulkan air, dan mencangkul kebun. Dia selalu diawasi pada siang hari. Pada malam hari, dia diikat bersama para perempuan lainnya.

"Ketika salah seorang dari tentara itu ingin berhubungan seks, dia akan datang, melepaskan kami, dan membawa kami pergi. Ketika mereka selesai, mereka akan membawa kami kembali dan mengikat kami lagi," katanya, sambil meregangkan sikunya di belakang punggungnya untuk menunjukkan bagaimana dirinya diikat. Dia mengatakan, diperkosa oleh empat laki-laki dalam semalam merupakan hal biasa.

Perempuan yang menolak untuk bekerja atau melawan saat diperkosa pasti akan lenyap. "Pada pagi hari, kami mengetahui mereka telah hilang," katanya. Dari 40 orang yang tiba bersamanya pada April lalu, 10 orang hilang dengan cara ini.

Korban termuda berusia 12 tahun

Nyamai, seorang ibu berusia 38 tahun yang punya lima anak, diambil dari desanya di Kabupaten Koch. Dia selalu diawasi dan sering diikat. Sebanyak 10 tentara akan mengantre pada malam hari demi mendapat giliran untuk memerkosanya. "Tolong, satu orang saja yang berhubungan dengan saya, jangan semua," pintanya. Sebagai jawaban, dia dipukuli dengan tongkat.

Dalam sebuah kasus lain, tiga dari putri seseorang bernama Nyatuach belum menikah dan masih remaja ketika diculik pada Mei lalu dalam sebuah serangan ke desa mereka di Kabupaten Rubkona. Dua putrinya masih hilang, tetapi anaknya yang berusia 17 tahun berhasil melarikan diri bersama tiga keponakannya.

Mereka kembali dalam kondisi "sangat sakit, sangat kurus". "Tubuh mereka lemah, dan mereka mengeluarkan cairan yang berasal dari begitu banyak pria yang melakukan hubungan seksual dengan mereka," kata Nyatuach. Ia merujuk ke gejala umum fistula, sebuah kondisi buang air kecil tanpa sadar karena ada kerusakan di dinding antara vagina dan kandung kemih atau rektum, yang dapat disebabkan oleh pemerkosaan yang disertai kekerasan.

Sejumlah perempuan lainnya diperkosa berulang kali sampai mereka akhirnya dibebaskan atau dibunuh karena telah mengalami perdarahan dan tidak sanggup lagi.

"Ketika gadis-gadis itu rusak, mereka akan membuangnya," kata Nyatuach.

Rebecca, perempuan lainnya, bertemu lagi dengan putrinya yang berusia 12 tahun sehari setelah desa mereka di Kabupaten Koch diserang. "Ketika mereka membawa saya, orang-orang itu memanfaatkan saya," kata gadis itu kepada ibunya. Rebecca merebus air dan membasuh putrinya dengan kain panas.

"Kita tak bisa berbuat apa-apa," katanya kepada putrinya. "Begitulah keadaannya."

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com