Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Anak Muda Tak Mau Jadi Petani, Jepang Terancam Kekurangan Makanan

Kompas.com - 25/06/2024, 20:02 WIB
Paramita Amaranggana,
Egidius Patnistik

Tim Redaksi

Sumber DW

KEIIKO Ishii mengaku sangat lega saat putra bungsunya, Takashi Ishii, memutuskan untuk meninggalkan Tokyo dan kembali ke kota kelahirannya lalu mengambil alih pertanian keluarganya. Keputusannya itu membuat dirinya menjadi generasi kelima di keluarganya yang mencari nafkah dari pertanian.

“Dia pergi ke Tokyo selama beberapa tahun untuk bekerja dan saya khawatir dia mungkin tidak mau kembali, namun neneknya selalu bercerita kepadanya tentang kehidupan di pertanian dan tampaknya hal itu meresap dalam dirinya,” kata Ishii (75 tahun) kepada DW.

“Dia mengatakan bahwa dia merindukan pedesaan dan kami senang ketika dia memberitahu kami bahwa dia ingin kembali,” kata Ishii.

Ishii sendiri telah tinggal di pertanian yang terletak di Prefektur Tochigi selama 42 tahun terakhir, tepatnya sejak ia menikahi suaminya, Yoshiyuki Ishii (77 tahun).

“Dia telah kembali bersama istrinya dan dua anaknya dan, sedikit demi sedikit, kami mengajarkan mereka bagaimana pertanian bekerja.”

Baca juga: Donasi Politik Dipertanyakan, Menteri Pertanian Jepang Mundur

Keputusan Takashi Ishii untuk kembali tak dapat diragukan lagi merupakan keputusan yang orangtuanya sangat syukuri. Namun, keputusan semacam itu sebenarnya merupakan sebuah hal yang aneh di Jepang.

Bertani bukanlah karier yang didambakan oleh banyak anak muda Jepang, terutama oleh mereka yang sudah nyaman dengan gaya hidup di kota-kota besar atau tidak menyukai pekerjaan dengan jam kerja panjang, bergantung dengan cuaca dan fisik, serta pemasukan yang pas-pasan.

Banyak Petani Sudah Lanjut Usia

Karena sebagian besar anak-anak muda tak lagi mengikuti jejak orangtua mereka untuk bertani, mau tidak mau lahan pertanian mereka nantinya dibiarkan terbengkalai ketika orang tuanya sudah semakin tua dan memutuskan untuk pensiun.

Laporan tahunan pemerintah Jepang yang dirilis pada 31 Mei menunjukkan bahwa terdapat penurunan drastis jumlah orang yang bekerja di bidang pertanian.

Di tahun 2000, jumlah orang yang bekerja di bidang tersebut mencapai 2,4 juta orang. Namun, di tahun 2023, jumlah orang Jepang yang bekerja di bidang pertanian hanya mencapai 1,16 juta orang. Lebih buruknya lagi, hanya 20 persen di antara mereka yang berusia di bawah 60 tahun.

Saat ini, Jepang harus mengimpor sebagian besar makanan yang dikonsumsi penduduknya. Rasio swasembada pangan negara itu hanya 38 persen.

Hal tersebut kian mengkhawatirkan akibat konflik di Laut China Selatan atau di sekitar Taiwan yang masih terus berlangsung. Pada dasarnya, jalur laut berperan penting bagi impor dan ekspor dari Jepang. Konflik tentu dapat secara serius mengganggu pasokan pangan dan dengan cepat memicu kekurangan.

Pemerintah Jepang saat ini masih terus berupaya mengatasi masalah itu. Undang-Undang tentang Pangan, Pertanian, dan Daerah Pedesaan yang disahkan tahun 1999 menyerukan agar tingkat swasembada pangan ditingkatkan menjadi 45 persen pada tahun 2030. Namun, hal tersebut tampaknya tak akan tercapai, terlebih jika kaum muda terus meninggalkan pedesaan.

Ladang pertanian Ishii sendiri terletak di kota Otawara, sekitar 90 menit ke utara Tokyo jika ditempuh dengan kereta api. Wilayah tersebut terkenal dengan tanaman padinya, sementara keluarga Ishii juga menanam barley dan sayuran yang dijual melalui cabang lokal dari Koperasi Pertanian Jepang.

Baca juga: Industri Pertanian Indonesia Dikuasai Asing

Dengan luas hanya 6.250 meter persegi, ladang pertanian tersebut sangat kecil jika dibandingkan dengan standar Eropa dan Amerika Utara. Walau hal tersebut sudah biasa di Jepang, tetapi tentu juga membuat pertanian menjadi kurang efisien. Terlebih lagi, pekerjaan tersebut juga berat, kata Ishii.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com