Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pengakuan Seorang Gay yang Diburu ISIS ...

Kompas.com - 25/07/2015, 01:29 WIB

KOMPAS.com - Taim, seorang mahasiswa kedokteran berusia 24 tahun di Irak. Dia menceritakan bagaimana dirinya yang homoseksual luput dari hukuman dilempar dari gedung tinggi oleh kelompok ISIS.

Di antara masyarakat kami, menjadi homoseksual sama saja dengan mengundang kematian.

Bila ISIS membunuh orang gay, masyarakat pun senang karena kami dianggap sakit.

Saya pertama sadar saya gay ketika berumur 13 atau 14 tahun. Saya juga awalnya berpikir homoseksualitas adalah penyakit dan ingin sekali merasa normal.

Pada tahun pertama kuliah, saya mulai mengikuti terapi. Ahli terapi menyuruh saya mengatakan kepada teman-teman saya sedang melalui “masa-masa sulit” dan meminta dukungan mereka.

Saya datang dari keluarga Muslim tapi mantan pacar saya adalah orang Kristen dan saya pun memiliki sejumlah teman-teman Kristen.

Pada 2013, saya terlibat perkelahian dengan mahasiswa lain, Omar – yang kemudian bergabung dengan ISIS.

Dia memprotes saya yang sering bergaul dengan teman Kristen. Seorang teman saya mengatakan kepada Omar agar tidak membahayakan saya, karena saya sedang menjalani terapi untuk kaum gay.

Itulah bagaimana awalnya rahasia saya terkuak. Mungkin teman saya itu berniat baik tapi apa yang terjadi karena itu menghancurkan hidup saya.

November 2013, Omar dan dua temannya menyerang saya. Mereka memukuli saya, menghantam saya ke tanah dan mencukur kepala saya.

Dia mengatakan itu hanya pelajaran bagi saya. Saya tidak akan dibunuh saat itu karena saya berasal dari keluarga yang religius, dan dia menghormati ayah saya.

Setelah menghilang setelah beberapa saat, pada Maret 2014 saya memicu amarah Omar lagi. Kali ini karena mengatakan warga non-Muslim tidak seharusnya membayar pajak “jizya” yang diberlakukan bagi semua non-Muslim.

Omar dan teman-temannya menyerang saya di kamar mandi. Mereka menendangi saya hingga saya hampir pingsan. Saya berhenti masuk kuliah selama sebulan setelah itu.

Di tengah-tengah musim ujian, ISIS mengambil kendali. Omar menelpon saya, mengajak saya tobat dan bergabung. Saya langsung mematikan telepon.

Pada 4 Juli, sekelompok milisi ISIS mendatangi rumah saya. Mereka mengatakan kepada ayah saya, “Anak Anda seorang kafir dan penyuka sesama jenis. Kami datang untuk menghukumnya.”

Ayah saya kemudian memohon mereka untuk memberikan waktu, agar dia mencari tahu apakah tuduhan itu benar.

Dia kemudian masuk ke rumah dan berteriak-teriak, “Bila tuduhan itu benar, saya sendiri akan mengantarkan kamu ke mereka, dengan senang hati.”

Dan saya hanya berdiri di sana, tidak tahu harus mengatakan atau melakukan apa. Saya dalam kondisi shock.

Ibu memutuskan saya harus meninggalkan rumah secepatnya, dan dia mulai mencari tahu cara agar saya bisa keluar dari Irak.

Pada tengah malam dia mengatakan, “Kita akan pergi sekarang juga.”

Setelah bermalam di rumah seorang bibi, saya dibelikan tiket pesawat ke Turki dan mendapatkan visa.

Namun, saya harus melewati Erbil dan tinggal di sana selama dua minggu, mencoba masuk ke Kurdistan tanpa hasil.

Saya juga mencoba keluar melewati Baghdad namun perjalanan itu berbahaya dan pengemudinya pun tidak ingin menempuhnya.

Saya mencoba keluar berulang lagi, namun terus gagal.

Akhirnya pada Agustus, ibu saya mengatur cara agar saya bisa ke Kota Kirkuk.

Dari sana saya ke Sulaymaniyah. Saya berencana pergi ke Turki namun pesawat pertama yang tersedia terbang ke Beirut, Libanon, dan saya tidak memerlukan visa untuk itu – jadi di sinilah saya.

Bila saya tetap tinggal di Irak, saya akan diburu dan dibunuh oleh ISIS.

Kalau tidak di tangan mereka, saya akan dibunuh anggota keluarga. Adik ayah saya bahkan mengambil sumpah akan memulihkan martabat keluarga.

Baru-baru ini, saya menerima pesan Facebook dari akun anonim, bunyinya, “Saya tahu Anda di Beirut. Bila Anda ke neraka pun akan saya ikuti.”

Saya hanya ingin berada di tempat yang aman, jauh dari ayah dan siapapun dengan pandangan garis keras. Saya hanya ingin hidup.

Para pengacara HAM membantu saya mendapatkan status pencari suaka agar saya bisa ditempatkan di negara lain dan melanjutkan studi.

Di sini saya hidup di satu kamar, seukuran kamar mandi di rumah saya dulu.

Saya kehilangan kontak dengan keluarga saya. Sebulan setelah minggat, saya menerima pesan Facebook dari adik saya.

Dia menulis, “Saya harus meninggalkan rumah. Keluarga kita pecah berantakan dan itu semua gara-gara kamu.”

Saya marah awalnya, namun merindukan adik saya lalu menulis pesan balik. “Bukan salah saya lahir seperti ini. ISIS lah yang salah.”

Setelah itu kami bertukar pesan, mengenang masa kecil kami.

Saya belum berbicara dengan ayah saya. Tindakannya itu sangat melukai saya. Dia seharusnya melindungi dan membela saya sebagai seorang ayah. Namun ketika mengatakan akan menyerahkan saya kepada ISIS, dia tahu apa yang akan mereka lakukan kepada saya.

Mungkin nanti saya bisa memaafkannya, namun pada saat ini saya bahkan tidak ingin mengingatnya.

Saya berbicara dengan ibu setiap minggu. Terkadang susah baginya karena dia harus ke luar kota untuk mendapatkan sinyal yang baik.

Dia adalah perempuan yang sungguh luar biasa. Dia mencintai saya dan kami tidak pernah membincangkan homoseksualitas. Dia hanya berniat membawa saya ke tempat aman.

Mungkin karena dia ibu saya, saya pikir dia tahu saya penyuka sesama jenis. Namun saya hanya merasakan cinta dan kasih sayang darinya. Saya hanya ingin memeluknya sekarang.

Beberapa bulan lalu, salah seorang teman dekat saya dibunuh. Dia dilempar dari gedung pemerintah pusat. Dia seseorang yang sangat baik hati. Berusia 22 tahun, mahasiswa kedokteran dan bisa dibilang jenius.

Kami pertama bertemu di dunia maya – penyuka sesama jenis di Irak sering bergaul di komunitas online. Bila berhadap-hadapan dengannya, dia adalah pria yang pendiam, namun banyak berbicara dalam dunia maya. Dia menceritakan rahasia-rahasianya kepada saya.

Sebagai pria penyuka sesama jenis, kami semua harus menjalankan kehidupan ganda.

Ketika melihat foto-foto pembunuhannya, saya melihat saya di tempatnya. Saya sampai bermimpi ditangkap kemudian dilempar dari sebuah gedung, seperti yang dilakukan kepadanya.

Seorang teman mengatakan kepada saya dia tidak langsung meninggal, mungkin gedungnya kurang tinggi. Teman itu mengatakan dia dirajam hingga mati.

Sebelum ISIS datang pun saya hidup dalam ketakutan.

Pihak militer diam-diam membunuh orang dan tidak ada yang memprotes. Bagi mereka, kami hanyalah sekelompok kriminal yang patut diberantas dan dipandang sebagai akar semua keburukan.

Beberapa tahun belakangan sangat sulit.

Pihak keamanan atau militer akan menangkap seseorang yang diduga gay, memperkosanya, menyiksanya. Terjadi banyak pembunuhan dibawah pengawasan militer.

Saya melihat sebuah video dimana sejumlah pria penyuka sesama jenis lehernya dijerat tali dan mereka diseret-seret di jalanan. Warga menimpuk mereka dengan bebatuan dan membakar mereka mati.

Sebelum ISIS berkuasa, mungkin status keluarga saya bisa melindungi saya. Namun tanpa ISIS pun ancaman terhadap hidup saya masih sangat serius, karena saya diketahui sebagai penyuka sesama jenis. Yang berbeda adalah sekarang media berfokus pada tindak-tanduk ISIS.

Dan ISIS pun merekam semua aktivitas mereka dan mengatakan, “Kami membunuh para penyuka sesama jenis ini dengan hukuman sesuai buku suci.”

ISIS sangat profesional melacak kaum gay. Mereka menelusuri semua satu persatu. Ketika ditangkap, mereka menyisir informasi ponsel dan Facebooknya. Dan ini seperti efek domino. Bila satu ditangkap, yang lain akan ditangkap juga.

Sangat menghancurkan melihat reaksi publik terhadap pembunuhan-pembunuhan itu. Anda harus melihat komentar Facebook setelah ISIS mengunggah video pembantaian orang gay, “Kami benci ISIS namun bila mereka melakukan ini kami mencintai mereka. Tuhan meridhoi ISIS.”

Lalu ada yang berkomentar, “Saya menentang ISIS namun mendukung mereka membunuh kaum gay.”

“Kejahatan terburuk di dunia adalah homoseksualitas. Kerja bagus oleh ISIS.”

Dan terdapat ribuan orang yang setuju dengan komentar-komentar penuh kebencian itu.

Itulah yang sangat menganggu. Itulah komunitas yang saya tinggalkan.

Islam menentang homoseksualitas. Ayah membuat saya belajar hukum Syariah selama enam tahun.

Terdapat sebuah hadith yang mengatakan pria penyuka sesama jenis harus dilempar dari jurang dan kemudian merupakan keputusan hakim atau khalifah apakah dia harus dibakar atau dirajam.

Saya pikir tindakan ISIS melemparkan pria gay dari gedung itu karena mereka tahu kami dibenci masyarakat dan mereka menggunakan itu untuk menggalang dukungan.

Saya mencoba tidak menonton video ISIS. Namun saya suka mencari video dimana mereka mati syahid, untuk mencari Omar, pria yang menghancurkan hidup saya.

Saya mengkhawatirkan pria-pria gay disana. Saya memiliki lusinan teman-teman yang tidak mampu meninggalkan Irak.
Namun setelah kematian teman saya itu, saya berpamitan dengan mereka semua dan memblokir mereka, untuk keamanan mereka sendiri.

Saya menceritakan ini untuk mengenang teman saya yang dibunuh – dan untuk pria-pria gay lainnya yang masih di Irak.

Saya ingin masyarakat Irak melihat kami sebagai manusia, kami bukan kriminal. Kami memiliki perasaan dan jiwa. Jangan membenci kami hanya karena kami berbeda.

Saya beruntung bisa keluar. Namun bagaimana nasib mereka nanti? Apakah mereka bisa bertahan hidup? Dan bila bisa, apakah mereka bisa pulih dari trauma karena dikejar-kejar?

Ini adalah bencana. Mereka semua menjadi target.

Taim menceritakan kisahnya kepada Caroline Hawley dari BBC. Taim bukanlah nama aslinya, dan Omar juga bukan merupakan nama asli penyiksanya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com