Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kesan Ganjil Saat Berkunjung ke Perbatasan Korut

Kompas.com - 15/07/2015, 11:43 WIB

“Saya kira sungguh aneh ada orang-orang yang bekerja bersama-sama selama 2-3 tahun tapi mereka tak pernah berbicara satu sama lainnya. Mereka seperti terdoktrinasi, bahkan ketika saya mendengar penjelasan pemandu di sini tentang betapa salah satu pihak dilarang untuk berbicara ke atau menanggapi pihak lainnya, saya rasa sikap itulah yang membuat keduanya tak bisa bekerja sama,” tutur pemuda yang cakap berbahasa Mandarin ini.

Salah satu bagian penting di DMZ yang sarat dengan sejarah adalah jembatan penghubung perbatasan atau yang dikenal dengan sebutan ‘bridge of no return’. Dulunya, jembatan ini adalah titik akhir bagi para tawanan yang hendak dikembalikan ke negara asal, baik itu Korea Utara maupun Korea Selatan.

Csorba berpendapat, jembatan ini adalah salah satu titik di DMZ yang paling emosional.

“Di sini, para tawanan harus membuat keputusan, mau tinggal di Selatan atau kembali ke Utara. Jembatan ini juga menandai perbedaan insfrastruktur di antara keduanya. Kalau dulu saya selalu penasaran tentang tempat ini, sekarang, setelah datang ke tempat ini, saya jadi makin ingin tahu sejarahnya, apa saja yang terjadi di sini pada masa perang,” jelasnya kepada ABC di Seoul.

Sejarahlah yang disebut Henry sebagai hal yang wajib dipelajari siapa saja sebelum datang ke DMZ. Baginya, tanpa mengenal sejarah dan latar belakang di tempat ini, seorang pengunjung tak akan mampu memahami atmosfir di zona demiliterisasi.

“Harus dimulai dengan sejarah, karena tanpa itu, anda tak akan memahami apa itu warisan perang dingin, bagaimana semenanjung Korea terbagi dan dampak perang serta bagaimana keputusan dibuat pada era 1950an kala itu,” jelasnya.

Sejarah pulalah, menurut Henry, yang akan membantu para pengunjung DMZ untuk memahami mengapa Korea Utara selalu menuduh Korea Selatan sebagai boneka Amerika Serikat, dan mengapa warga Korea Selatan lebih bebas mempelajari sejarah mereka sendiri ketimbang warga Korea Utara.

Pria yang sedang menempuh studi doktoral ini mengutarakan, sejarah juga akan membantu siapa saja yang tertarik dengan zona perbatasan ini memahami peluang reunifikasi Korea.

“Tentu saja saya harap ini (reunifikasi) terjadi, tapi peluangnya sungguh berat. Banyak orang menyamakan Korea dengan Jerman, dan reunifikasi Jerman di akhir ‘80an, tapi ini berbeda, kondisi di sini jauh lebih berat,” terangnya.

Sementara bagi Andrew Carr dari Universitas Nasional Australia (ANU), zona perbatasan ini mengingatkannya pada perbatasan darat antara Amerika Serikat dengan Meksiko.

“Walau situasinya jauh berbeda, menurut saya, dari dua zona perbatasan itu sama-sama ada pemandangan yang menyedihkan. Di Meksiko, hanya beberapa kilo dari perbatasan, anda juga bisa lihat orang hidup sengsara. Mungkin tak jauh berbeda dengan di Korea Utara,” urainya.

Ia lantas menyambung, “Tapi di perbatasan Amerika itu, orang bebas keluar masuk, anda juga bisa lihat orang Meksiko itu seperti apa. Di Korea, anda tak akan melihat orang Korea Utara keluar masuk, bahkan anda tak bisa melihat mereka.”

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com