Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Politik di Arab, Teologi di Indonesia

Kompas.com - 01/06/2015, 15:15 WIB

 

Irak menamakan perang tersebut sebagai perang yang berdimensi keagamaan dengan menyebutnya Perang Qaddisiyyah (Qaddisiyyah Saddam). Perang Qaddisiyah (636) adalah perang antara tentara-tentara Arab-Islam melawan dinasti Sassanid, Persia, yang dipimpin Kaisar Yazdegrid III yang beraliansi dengan Kaisar Heraclius dari Bysantium pada masa penaklukan Islam. Sementara Khomeini menyebut perang tersebut sebagai Pertahanan Suci melawan agresor dan Revolusi Islam.

Akan tetapi, pergolakan politik dan perang yang terjadi di dunia Arab sekarang, baik di Yaman (antara aliansi Arab yang dipimpin Arab Saudi dan pemberontak al-Houthi yang didukung Iran), Suriah (antara pemerintahan Presiden Bashar Asad yang didukung Iran dan pemberontak yang didukung beberapa rezim Arab), Palestina (antara Fatah dan Hamas), fenomena Islamic State in Irak and Syria (ISIS), Kurdi (yang melibatkan Suriah, Irak, dan Turki dengan segala aliansi pendukungnya), bahkan Mesir (antara Presiden Abdel Fatah El-Sisi dan Presiden Mursi dengan Ikhwanul Muslimin-nya), dan lain-lainnya, telah membingungkan bangsa Indonesia, khususnya umat Islam, dan memancing keberpihakan yang sektarianistik.

Di dunia Arab apa yang disebut dengan politik itu dihayati sebagai benar-benar siasat yang sarat muslihat canggih. Tidak mudah bagi kita orang Indonesia memahami perpolitikan di negara-negara Arab yang begitu rumit dan enigmatik itu. Politik di sana bukan hanya who get what, when, and how, melainkan siasat dalam bentuk paling sempurna (par excellence) dan tinggi (in optima forma) yang tidak mudah disimplifikasi dalam perspektif agama apalagi sektarianisme yang miopik dan hitam putih.

Bablasan sejarah lama

Politik di Arab itu menjadi penjuru atau variabel independen dalam berbagai kehidupan, bahkan sampai dalam pengembangan ilmu dan pemikiran yang notabene banyak dicerna di sini dalam konteks Indonesia yang sebenarnya berbeda. Setelah menjelaskan fenomena politik di dunia Arab yang berperan dalam mengarahkan dan membelokkan pemikiran Arab-Islam sejak era kodifikasi, Abed al-Jabiri, seorang pemikir Arab kontemporer, penggagas proyek pemikiran Kritik Nalar Arab dalam bukunya Takwin al-'Aqlu al-'Arabi (1989), mengatakan bahwa berbagai analisis terhadap pemikiran dan keilmuan Arab tidak akan pernah utuh-dan kesimpulan-kesimpulannya bisa menyesatkan-jika tidak mempertimbangkan faktor politik struktural dan historis.

Pasalnya, dalam konteks Arab politik (siyasah) adalah panglima: politiklah yang melahirkan sekte-sekte teologi dalam Islam, dan karena itu politik pulalah yang sejatinya menjadi ibu dari skisma Sunni-Syiah. Sikap-sikap politik yang tentu saja bersifat parsial mulai mencari sandaran dalam agama dan ini merupakan langkah teoretis permulaan yang menjadi landasan bagi apa yang di kemudian hari disebut dengan ilmu teologi (ushuluddin).

Buya Syafii Maarif menegaskan bahwa sebelum 657 M itu golongan Sunni, Syiah, dan Khawarij belum dikenal dalam sejarah Islam. Perang Siffin itulah yang memicu kemunculan sekte-sekte dalam Islam dan merusak seluruh perjalanan sejarah umat Islam selama 14 abad. Benar sekali jika Dr Thoha Husen, ilmuwan dan sastrawan Mesir modern, menyebut Perang Siffin sebagai malapetaka terbesar (al-fitnatu al-kubra) dalam sejarah Arab-Islam.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com