Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pengalaman Achmad Taufik Lulus Beasiswa ke Australia

Kompas.com - 29/09/2014, 11:10 WIB

Di kelas lama rasa baru, saya bertekad memenuhi janji saya kepada ibu. Saya lebih rajin, tidak bolos, dan selalu mengerjakan PR. Terkait mengerjakan PR ada sebuah peristiwa yang tidak dapat saya lupakan (tetapi sudah lama saya maafkan). Suatu hari ada PR akuntansi yang jatuh tempo. Meski ada segelintir teman yang mencontek pekerjaan teman yang lain sebelum kelas dimulai, saya tidak tergoda untuk melakukannya, saya yakin dengan pekerjaan saya sendiri.

Namun ketika PR dikoreksi, pak guru menghampiri meja saya dan beliau menemukan kalau saya melakukan kesalahan, suatu rekening yang seharusnya di-kredit namun salah saya debit. Saya pikir kesalahan tersebut sepele, namun reaksinya sungguh di luar dugaan. Dengan nada merendahkan dan jengkel ia berujar, “Bodoh kamu, mau mengulang lagi?" sambil tangannya menggoreskan kapur ke pipi saya.  Saya hanya diam, tapi di dalam hati saya mendidih. Saya tidak terima dihina serendah itu, suatu saat harus saya buktikan.

Singkat cerita tentang kelas dua jilid dua, janji saya kepada ibu terpenuhi. Akhirnya, saya berhasil naik ke kelas tiga dengan nilai baik, saya masuk peringkat sepuluh besar.

Suatu hari ketika di kelas tiga, kami anak-anak jurusan akuntansi mendapat kunjungan serombongan mahasiswa yang memberikan pengarahan ke setiap kelas. Mereka tampak gagah. Dengan jaket almamater berwarna biru donker beremblem kuning di dada kanan, samar-samar terbaca tulisan Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN). Ya, hari itu kami mendapat mentoring mengenai STAN/Program Diploma III Keuangan oleh perkumpulan mahasiswa Purbalingga yang saat itu tengah kuliah di sana.

Informasi mengenai kesempatan kuliah di STAN sungguh menarik sekaligus menantang. Bagaimana tidak?! Sudah kuliah gratis, saat  tingkat dua  mendapat uang saku, apabila lulus langsung menjadi pegawai negeri lagi - bisa di Departemen Keuangan, BPK (Badan Pemeriksa Keuangan), BPKP (Badan Pengawas Keuangan  dan Pembangunan) atau instansi keuangan lainnya.

Mengingat bapak saya yang sering sakit-sakitan hanya seorang pensiunan dan saya sekolah di kejuruan, sebelumnya saya tidak terlalu berharap akan kuliah setelah lulus SMEA. Akan tetapi, mendengar informasi yang mencerahkan tersebut saya jadi memiliki harapan, “Hmm, kesempatan emas!” pikir saya. Tapi yang menjadi masalah, persyaratannya juga tidak mudah. Di samping syarat nilai minimal yang cukup tinggi untuk bisa mendaftar, peserta ujian masuk kemudian juga harus bersaing dengan puluhan ribu pelajar dari seluruh Indonesia untuk memperebutkan hanya beberapa ratus kursi.

Bahkan setelah kuliah pun tidak dijamin aman, karena apabila tidak memenuhi Indeks Prestasi (IP) minimal 2,65 maka langsung dikeluarkan. Saya tertantang. Inilah saatnya untuk membayar kekalahan, “Aku harus mendaftar!”, tekad saya.

Hari-hari setelah pengumuman tentang peluang kuliah gratis di STAN  membuat saya lebih semangat untuk belajar. Saya bertekad harus lulus SMEA dengan nilai maksimal agar bisa mendaftar dan tentu saja supaya berhasil dalam ujian masuk STAN.

Hal pertama yang saya lakukan adalah memberitahu bapak dan ibu tentang niat saya tersebut dan mohon doa mereka agar saya diberikan kemudahan. Kemudian, persiapan ‘perang’ pun digelar. Buku-buku, alat tulis, dan radio tape sebagai teman belajar semua saya siapkan di meja kecil di sudut kamar. Rupa-rupa gambar dan tulisan penyemangat belajar juga saya tempelkan di dinding tepat menghadap meja belajar. ‘Si bodoh akuntansi’ akhirnya mendapat beasiswa kuliah di STAN. Setelah  itu barulah saya sadar, melanjutkan sekolah di SMEA adalah pilihan yang terbaik buat saya.

Barangkali anda menduga paragraf happy ending di atas akan berlanjut dengan keberhasilan demi keberhasilan yang klimaksnya mengantarkan saya mendapat beasiswa S2 di Australia.

Cerita sebenarnya tidak demikian. Saya lulus Diploma III STAN dengan nilai yang tidak terlalu memuaskan. IPK saya hanya 2,868 sehingga menempatkan saya di urutan 313 dari sekitar 450 wisudawan STAN di tahun 1994. Setelah lulus dari Diploma III STAN dan berdinas selama dua tahun di Direktorat Jenderal Pajak, saya berhasil lolos ujian seleksi masuk Program Diploma IV STAN (setara S1).

Saya kemudian kembali melakukan kesalahan. Saya melanggar motto saya sendiri “Tidak ada orang yang bodoh, yang ada hanya orang yang malas  belajar”. Saya lupa, itu adalah hukum besi, berlaku kapanpun. Saya malas belajar, maka saya pun menjadi bodoh. Indeks Prestasi saya saat di tingkat akhir Diploma IV di bawah persyaratan minimal  sehingga terima atau tidak, saya pun dikeluarkan. Ya Anda tidak  salah baca, saya  di-DO (drop out) dari Program Diploma IV STAN. Lalu, bagaimana akhirnya saya bisa memperoleh beasiswa S2 Luar Negeri dengan riwayat pendidikan amburadul seperti ini?!

Saya menyadari tidak bisa mengubah masa lalu saya tetapi mungkin dapat mengubah masa depan saya. Oleh karena itu, saya hanya fokus kepada hal-hal yang bisa saya ubah. Saya tidak bisa mengubah kenyataan bahwa saya pernah tidak naik kelas sewaktu SMEA dan dikeluarkan dari Diploma IV STAN, tapi saya bisa kuliah S1 lagi di manapun, perguruan tinggi negeri maupun swasta.  Saya tidak bisa mengubah nilai ijasah dan IPK saya di masa lalu, tetapi saya bisa memperbaiki nilai TOEFL, IELTS atau TPA saya untuk berlomba meraih beasiswa.

Saya tidak bisa mengubah fakta di masa lalu tidak pernah aktif berorganisasi, tetapi saya bisa belajar untuk berani berbicara di depan pertemuan atau mulai berperan kecil di  kegiatan apapun

Hasilnya, meskipun butuh waktu yang panjang, mimpi saya menjadi kenyataan. Benar awalnya hanyalah mimpi untuk mendapat beasiswa S2 luar negeri, mengingat ketidaklayakan riwayat pendidikan saya sebelumnya.

Angan-angan itu tumbuh setelah saya mendapat inspirasi dari para dosen Diploma IV STAN alumni S2/S3 Luar Negeri sewaktu saya masih berumur 25 tahun sekitar pertengahan tahun 1997. Meskipun kemudian saya drop out, mimpi tersebut tak pernah padam. Tidak ada kata terlambat.

Karena sudah berkeluarga sehingga ada beberapa hal lain yang lebih saya prioritaskan, saya baru kembali kuliah S1 tahun 2004 dan lulus tahun 2006 saat saya berumur 34 tahun. Karena kendala persyaratan administratif, gelar S1 harus tercantum dalam Surat Keputusan (SK) kepangkatan terakhir, saya baru berkesempatan mendaftar seleksi beasiswa S2 melalui kantor pada saat berumur 37 tahun.

Setelah usaha pertama mendaftar beasiswa Australian Development Scholarship (ADS) gagal di tingat wawancara, akhirnya di kesempatan kedua sekaligus terakhir saya berhasil mendapat beasiswa S2 Luar Negeri – SPIRIT World Bank pada saat saya berusia 39 tahun 9 bulan. Batas umur maksimal mendaftar beasiswa S2 waktu itu adalah 40 tahun.

Saat ini saya sudah berumur 42 tahun dan terdaftar sebagai mahasiswa tahun kedua Faculty of Business, University of Wollongong (UoW) mengambil jurusan Master of Commerce – Master of Strategic Human Resource Management (Double Degree).

Memandang berpuluh-puluh burung kakaktua terbang bebas di langit biru Australia dan hinggap di halaman kampus UoW di Northfields Avenue, saya seakan tak percaya kalau akhirnya saya benar-benar berada di sana. Satu mimpi kini telah menjadi kenyataan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com