Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

District Six, Duka Saudara Kita di Tanah Mandela

Kompas.com - 07/12/2013, 15:43 WIB

KOMPAS.com — Jika nama District Six disebut, orang Afrika Selatan (Afsel) pasti akan emosional, terutama yang kulit berwarna (warga campuran). Distrik di daerah Cape Town ini memang menyimpan kisah pilu buat warga berkulit berwarna semasa Pemerintahan Apartheid di negeri itu.

Sebagian besar warga kulit berwarna itu masih keturunan atau setidaknya memiliki darah Indonesia. Pada abad ke-17, banyak warga Indonesia yang dibawa Belanda ke Cape Town sebagai budak. Mereka beranak pinak dan kemudian menghuni District Six atau Distrik Enam (Indonesia) atau Distrik Ses (Afrika).

Ini bukan sembarang distrik, melainkan wilayah bersejarah yang menumbuhkan komunitas warga coloured (berwarna) yang di dalamnya banyak keturunan Indonesia, beserta budayanya. Di sinilah tersimpan salah satu kisah pilu di tanah Mandela, Afsel, semasa Apartheid. Pemerintah Apartheid mengusir warga District Six hingga menghancurkan perasaan, kemapanan, juga keutuhan mereka.

Di tempat itu, orang-orang kulit berwarna yang sebagian besar mantan budak ditempatkan. Maklum, semasa apartheid, ada pemisahan permukiman berdasarkan ras dan warna kulit.

Nama District Six diberikan pemerintahan kulit putih pada 1867. Distrik ini dibatasi Sir Lowry Road di utara, Tennant Road di barat, De Waal Drive di selatan, dan Cambridge Street di timur.

Mulainya pengusiran

Menjelang akhir abad ke-19, distrik ini sudah menjadi daerah yang amat ramai dan berkembang. Jumlah penduduknya sepersepuluh dari populasi di Cape Town. Penduduk yang dominan adalah orang berkulit berwarna atau disebut Cape Malay. Di antara warga Cape Malay itu, keturunan bekas budak dan tahanan politik Indonesia sangat dominan. Selain itu, penduduknya terdiri dari sedikit kulit hitam keturunan suku Xhosa, kulit putih, dan India.

Setelah Perang Dunia II, District Six sudah menjadi kosmopolitan. Tiba-tiba, pada 11 Februari 1966, pemerintah mendeklarasikan District Six sebagai daerah khusus orang kulit putih lewat dekrit Group Areas Act. Penduduknya yang merupakan orang-orang kulit berwarna harus pindah. Ini membuat seluruh warga geram.

Sutradara David Kramer dan Taliep Petersen menggambarkan keresahan warga District Six dengan baik dalam opera mereka berjudul District Six. Opera ini mengambil setting pada 1967 ketika awal perpindahan diumumkan dan penduduk mulai didata pemerintah kulit putih.

Perpindahan kemudian dimulai pada 1968. Menjelang 1982, sudah ada 60.000 orang yang dipindah paksa ke Cape Flats, sejauh 25 kilometer dari District Six.

Alasan pemerintah waktu itu, District Six sudah berkembang menjadi daerah kriminal. Banyak perjudian, peredaran obat terlarang, dan permukiman kumuh. Namun, warga yakin bahwa alasan sebenarnya ialah karena kulit putih ingin menempati District Six yang letaknya strategis dan sudah menjadi kota yang berkembang.

Cerita nestapa

Banyak cerita duka dan nestapa pada periode pemindahan. Pemerintah Aparheid tak peduli dengan protes warga. Mereka membuldoser rumah-rumah warga hingga rata. Hanya ada beberapa bangunan yang dipertahankan. Ini duka yang terus diingat warga.

"Anda orang Indonesia harus tahu District Six. Ini tanah kebanggaan kami yang pernah direnggut dan menggoreskan banyak luka," kata Chris Mullins (54), warga asal Cape Town, yang mengalami perpindahan itu.

"District Six adalah rumah kami, tetapi Pemerintah Apartheid kemudian mengusir kami ke daerah terpencil," lanjutnya.

Setelah tumbangnya Apartheid pada 1994, partai berkuasa African National Congress mengembalikan District Six kepada pemiliknya. Warga Cape Malay pun sebagian menemukan lagi tempatnya.

Menjelang tahun 2003, pembangunan perumahan dimulai. Sebanyak 24 rumah akan menjadi milik orang yang berumur 80 tahun ke atas. Nelson Mandela, Presiden Afsel saat itu, menyerahkan sendiri kunci rumah secara simbolis kepada Ebrahim Murat (87) dan Dan Ndzabela (82). Tahun berikutnya, sekitar 1.600 keluarga kembali ke District Six.

District Six menjadi bagian dari kisah pilu korban apartheid. Luka itu begitu dalam, hingga kisahnya masih diingat warga. Bahkan, sebagian kisah itu terabadikan di dalam Museum District Six.

"Saya tak pernah melupakan kisah District Six. Anak saya pun tahu meski dia tak mengalaminya. Maka, saya selalu menyimpan semua lagu dan video yang bercerita atau berhubungan dengan District Six," tutur Chris Mullins yang dengan baik hati memberi kopi semua koleksinya tentang District Six kepada saya.

Karim lain lagi. Bapak berumur 35 tahun ini masih kecil ketika terjadi pengusiran warga District Six. Namun, dia ikut merasakan luka yang dalam setelah tahu cerita dari orangtua atau tetangganya.

"Ceritakan kisah District Six ini kepada teman-teman Anda jika sudah pulang ke Indonesia," kata Karim kepada saya dalam suatu percakapan tanggal 7 Juli 2010 lalu. (Hery Prasetyo)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com