Salin Artikel

Korupsi dan Kecurangan Pemilu, Alasan AS Jatuhkan Sanksi pada Zimbabwe

AS juga mengenakan sanksi terhadap tiga bisnis yang berbasis di Zimbabwe. Alasannya sama, yaitu dugaan korupsi, pelanggaran hak asasi manusia, dan mencurangi pemilihan umum.

Sebelumnya, tahun 2003, AS menjatuhkan sanksi terhadap lebih dari 70 figur dengan posisi penting di pemerintahan Zimbabwe, termasuk Presiden Zimbabwe saat itu, Robert Mugabe. Alasanya, figur-figur tersebut telah “merusak demokrasi” Zimbabwe. Presiden Mnangagwa yang saat itu menjabat ketua parlemen Zimbabwe juga menjadi salah satu orang yang dikenakan sanksi AS.

Sanksi-sanksi dari tahun 2003 itu kemudian dicabut AS, setelah Presiden Joe Biden menyetujui tindakan eksekutif pada Senin (1/4/2023) lalu untuk mencabut sanksi tersebut. Sebagai gantinya, sanksi terbaru AS terhadap Zimbabwe kali ini akan dikerahkan berdasarkan Global Magnitsky Act tahun 2016.

Undang-undang itu memberikan wewenang kepada pemerintah AS untuk memberikan sanksi kepada pejabat asing di seluruh dunia jika memang ada dugaan pelanggaran hak asasi manusia. Caranya adalah membekukan aset mereka atau melarang mereka memasuki AS untuk urusan tidak resmi.

Dengan beralih ke undang-undang tahun 2016 itu, AS mengatakan akan lebih sedikit individu dan bisnis di Zimbawe yang menerima sanksi kali ini dibandingkan dengan tahun 2003.

Wakil Menteri Keuangan AS, Wally Adeyemo, menyebut sanksi kali ini “tidak dimaksudkan untuk menargetkan rakyat Zimbabwe”. Sanksi kali ini berfokus pada “target spesifik” seperti “jaringan kriminal pejabat pemerintah dan para pengusaha di bawah Presiden Mnangagwa yang paling bertanggung jawab atas korupsi dan pelanggaran hak asasi manusia terhadap rakyat Zimbabwe.”

Perubahan sanksi itu mendapat sambutan baik dari Rutendo Matinyarare, pendukung pemerintah yang memimpin Gerakan Anti-Sanksi Zimbabwe. Dalam unggahannya di X, Matinyarare menulis, “Sanksi sebenarnya sudah hilang sekarang, jadi tidak ada alasan lagi. Ayo bangun negara sekarang.”

Juru bicara pemerintah Zimbabwe, Nick Mnangagwa, juga menyambut baik keputusan Biden. Meski begitu, ia juga mengecam keputusan AS untuk memberikan sanksi baru lagi dan menyebut sanksi baru tersebut “illegal”.

“Dengan demikian, selama Presiden kami berada di bawah sanksi, Zimbabwe tetap berada di bawah sanksi ilegal, selama anggota Keluarga Pertama berada di bawah sanksi, Zimbabwe tetap berada di bawah sanksi ilegal, dan selama para pemimpin senior berada di bawah sanksi, kami semua terkena sanksi. Dan selama anggota korporasi Zimbabwe terkena sanksi, kami pun terkena sanksi,” kata Nick Mnangagwa dalam sebuah pernyataannya di platform X.

“Memang (sanksi) banyak badan hukum dan perorangan telah dihilangkan tetapi jika Presiden, Ibu Negara dan pejabat senior tetap diberi sanksi maka Zimbabwe tetap terkena sanksi dan dibebani oleh tindakan ilegal ini,” kata juru bicara dari salah satu partai di Zimbabwe, Zanu-PF, Farai Marapira di X.

Dalam sebuah pernyataan, pemerintahan Mnangagwa menyebut sanksi baru AS tersebut adalah “pencemaran nama baik” dan merupakan sebuah “fitnah yang tidak beralasan” terhadap para pemimpin dan rakyat Zimbabwe.

Alasan Sanksi

AS menjelaskan, pemberian sanksi itu demi mendorong demokrasi dan akuntabilitas serta mengatasi pelanggaran hak asasi manusia di Zimbabwe.

“Kami terus mendesak Pemerintah Zimbabwe untuk bergerak menuju pemerintahan yang lebih terbuka dan demokratis, termasuk dalam hal memberantas korupsi dan perlindungan hak asasi manusia, sehingga semua warga Zimbabwe bisa sejahtera,” kata David Gainer, Wakil Asisten Menteri Luar Negeri AS.

Zimbabwe menjadi salah satu fokus penting AS karena Zimbabwe merupakan salah satu penerima dana bantuan AS yang terbesar. Sejak kemerdekaan Zimbabwe dari Inggris tahun 1980 sampai dengan tahun 2020, Zimbabwe menerima bantuan AS sebesar 3,5 miliar dollar AS (setara Rp 237,9 triliun).

Selain AS, negara-negara lain seperti Inggris dan Uni Eropa juga mengenakan sanksi serupa terhadap Zimbabwe. Alasannya serupa dengan AS.

Pengaruh Sanksi terhadap Ekonomi Zimbabwe

Tahun lalu, Wakil Presiden Zimbabwe, Constantino Chiwenga mengatakan, Zimbabwe telah kehilangan lebih dari 150 miliar dolar AS akibat sanksi yang diberikan AS dan Uni Eropa.

Alena Douhan, Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk tindakan koersi sepihak melaporkan berdasarkan kunjungannya ke Zimbabwe tahun 2021, sanksi-sanksi tersebut jelas “... telah memperburuk tantangan sosial dan ekonomi yang sudah ada sebelumnya dengan konsekuensi yang membahayakan bagi masyarakat Zimbabwe, terutama mereka yang hidup dalam kemiskinan, perempuan, anak-anak, lanjut usia, penyandang disabilitas serta kelompok marginal dan rentan lainnya.”

Walau sanksi membawa dampak buruk bagi perekonomian Zimbabwe, seorang ekonom Zimbabwe, Gift Mugano mengatakan, korupsi membawa dampak lebih buruk lagi terhadap perekonomian Zimbabwe. Ia mengatakan kepada Al Jazeera, “Zimbabwe dapat meminimalisir potensi efek daripada sanksi, tetapi korupsi adalah masalah utamanya.”

Ia juga berargumen, AS maupun pihak lainnya tidak pernah mengenakan sanksi terhadap sektor perdagangan sehingga tetap memungkinkan Zimbabwe untuk masih mampu “... melakukan perdagangan dengan siapapun, termasuk Amerika dan Eropa: tindakan tersebut bersifat finansial dan tidak memengaruhi perdagangan.”

Sanksi Tak Berhasil

Eddie Cross, ekonom yang jadi penasihat pemerintah sekaligus seorang penulis biografi Presiden Mnangagwa menyebutkan bahwa sanksi yang diberikan tidak berhasil memberantas korupsi. Cross menyatakan, mengapa AS tidak mengenakan sanksi terhadap China saja yang ia nilai tidak demokratis.

Sebuah laporan Institute of Security Studies Africa (ISS) tahun 2022 juga menyebutkan bahwa sebagian besar sanksi yang ditujukan untuk mendorong demokrasi juga tidak berhasil. Berdasarkan laporan tersebut, pelanggaran hak asasi manusia masih terjadi dan kebebasan politik di Zimbabwe masih sangat dibatasi.

Amnesty International juga secara berkala menyoroti kebebasan berekspresi, penangkapan jurnalis, dan pelecehan terhadap anggota kepolisian oposisi dan anggota partai Zanu-PF di Zimbabwe.

Penyelidikan Al Jazeera tahun lalu menemukan bahwa pemerintah Zimbabwe memiliki geng penyelundup untuk menjual emas senilai ratusan juta dolar untuk membantu mengurangi dampak sanksi.

Respon Beragam dari Rakyat Zimbabwe

Sejak tahun 2019, para anggota Broad Alliance Against Sanctions telah berkemah di luar Kedutaan Besar AS di Harare. Mereka menuntut agar semua sanksi diakhiri.

Sally Ngoni, pemimpin kelompok tersebut menyebut sanksi sebagai “... alat untuk memengaruhi perubahan rezim di Zimbabwe; mereka ingin pemerintah kita gagal; itu hukuman karena merebut kembali tanah kami yang dicuri orang kulit putih.”

Di sisi lain, warga Zimbabwe lainnya yang justru mendukung sanksi tersebut dan berargumen bahwa sanksi itu harus tetap diberlakukan sampai pemerintah berhenti melecehkan dan membungkam tokoh oposisi.

Beberapa pihak juga meyakini penghapusan sanksi akan membantu mengungkap kelemahan pemerintah Zimbabwe. “Pencabutan seluruh sanksi akan memperlihatkan ketidakmampuan pemerintah karena mereka tidak dapat lagi menggunakan sanksi sebagai alasan,” kata Joseph Moyo, seorang akuntan di Harare.

https://internasional.kompas.com/read/2024/04/05/174947370/korupsi-dan-kecurangan-pemilu-alasan-as-jatuhkan-sanksi-pada-zimbabwe

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke