Salin Artikel

Nasib Demokrasi Hong Kong Semakin Terancam

Status ini, yang disebut dengan Wilayah Administrasi Khusus (SAR), berangkat dari sebuah konsep “satu negara, dua sistem”. Status ini memberikan Hong Kong kendali tinggi atas sistem politik dan ekonomi di wilayahnya. Inilah mengapa Hong Kong dapat memiliki mata uang sendiri, yaitu dollar Hong Kong, sedangkan China memiliki mata uang yuan.

Sampai saat ini, terdapat dua wilayah dengan status SAR di China: Hong Kong dan Macau.

Pemberian status SAR dipengaruhi oleh adanya riwayat kolonialisme Barat yang mengakibatkan penerapan sistem kapitalis dan tata kelola politik gaya Barat di kedua wilayah tersebut. Hal itu berbanding terbalik dengan pendekatan komunis yang dimiliki China.

Hong Kong khususnya, memiliki sejarah panjang dengan kolonialisme Inggris. Pada tahun 1842, Pulau Hong Kong diambil alih dari China oleh Inggris melalui Perjanjian Nanjing yang sekaligus menandai berakhirnya Perang Candu Pertama.

Saat komunisme mulai mendominasi di China tahun 1949, Hong Kong menjadi tujuan pelarian bagi warga China daratan yang ingin berada di bawah kungkungan komunisme.

Setelah lebih dari 150 tahun lamanya Hong Kong berada di bawah pemerintahan Inggris,  pada 1 Juli 1997 Hong Kong akhirnya dikembalikan kepada China dan sekaligus juga diberikan status SAR.

Dengan status SAR, kebebasan seharusnya menjadi satu hal yang dapat diagung-agungkan di Hong Kong. Meski demikian, apa yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir justru menyebabkan ribuan warga memilih untuk meninggalkan Hong Kong.

Demokrasi Hong Kong Terancam

Tahun 2019, warga Hong Kong pro-demokrasi melakukan protes besar-besaran setelah Beijing mengeluarkan undang-undang (UU) yang akan memungkinkan Hong Kong menahan dan memindahkan orang-orang yang dicari di negara-negara dan wilayah-wilayah yang tidak memiliki perjanjian ekstradisi formal, termasuk dengan Taiwan dan China daratan.

Carrie Lam, kepala eksekutif Hong Kong, mengatakan UU itu sangat dibutuhkan untuk mengadili seorang pria Hong Kong yang ditahan di Taiwan atas pembunuhan pacarnya.
Para kritikus berpendapat, UU tersebut akan memungkinkan siapapun di Hong Kong untuk ditangkap dan ditahan di China daratan, di mana hakim harus mengikuti perintah Partai Komunis. Mereka khawatir UU baru itu tidak hanya menargetkan kriminal tetapi juga aktivis politik.

Rencana ekstradisi itu berlaku untuk 37 jenis kejahatan, tidak termasuk hal-hal yang bersifat politis. Meski begitu, para kritikus khawatir UU tersebut justru akan melegalkan penculikan ke China daratan seperti yang terjadi di Hong Kong dalam beberapa tahun terakhir.

Protes warga terhadap UU ekstradisi berlangsung hingga tahun 2020 yang puncaknya terjadi ketika Beijing mengenakan UU Keamanan Nasional kepada Hong Kong. Inti dari UU itu adalah membatasi perbedaan pendapat dengan maksud menjaga stabilitas.

Namun, UU itu justru dipandang sebagai usaha untuk mencurangi otonomi Hong Kong. Beberapa kritikus bahkan menyebut UU ini “akhir dari Hong Kong”.

Semenjak dikeluarkannya UU tersebut, wajah Hong Kong kian berubah. Tingkat migrasi dari Hong Kong semakin meningkat. Sebuah penelitian menemukan, ada peningkatan perpindahan warga Hong Kong yang didorong oleh berubahnya perasaan percaya dan aman terhadap hukum dan sistem yang berlaku.

Para aktivis pro-demokrasi, advokat hak asasi manusia, dan warga yang berada di luar negeri sangat menyayangkan terkikisnya kebebasan di Hong Kong.

Pengacara Australia, Kevin Yam, yang pada Juli tahun lalu baru mengetahui bahwa ia "dicari" atas tuduhan kolusi mengatakan bahwa itu adalah perkembangan yang bersifat menghancurkan.

“Saya merasa sedih bagi masyarakat Hong Kong karena penegakan hukum akan terus berlanjut,” katanya.

Kini, Hong Kong justru akan mengadopsi UU itu ke dalam konstitusi kota. Disebut sebagai Pasal 23, UU itu akan memperkenalkan 39 jenis kejahatan keamanan baru termasuk pengkhianatan, spionase, hingga campur tangan eksternal dengan pelanggaran paling serius akan dihukum penjara seumur hidup. UU itu direncanakan akan mulai diimplementasikan pada Sabtu (23/3/2024) besok.

Kepala Eksekutif Hong Kong, Lee, menggambarkan keputusan itu sebagai “momen bersejarah bagi Hong Kong.”

“Kami telah menyelesaikan misi bersejarah, memenuhi kepercayaan negara dan tidak mengecewakan pemerintah pusat,” katanya merujuk pada kepemimpinan Partai Komunis China di Beijing.

Regina Ip, anggota parlemen pro-Beijing dan penasihat utama Lee, membantah pengesahan undang-undang tersebut karena “tunduk pada tekanan China.”

“Kami memiliki tanggung jawab hukum, konstitusional, dan moral untuk membuat undang-undang guna menjaga keamanan nasional,” katanya kepada CNN.

Sektor Bisnis Juga Terancam

Mantan legislator Hong Kong, Ted Hui yang sekarang tinggal di Adelaide, Australia, dan dulu termasuk dalam daftar “dicari” menyebut keputusan ini sebagai “paku terakhir di peti mati” bagi kota tersebut.

“Undang-undang baru ini disahkan oleh Parlemen Hong Kong sendiri, tidak seperti undang-undang keamanan nasional yang diberlakukan di Hong Kong empat tahun lalu,” katanya kepada ABC.

“Tetapi kali ini, undang-undang ini lima kali lebih kejam dibandingkan undang-undang sebelumnya… Saya pribadi memperkirakan akan lebih banyak orang yang dipenjara hanya karena memperjuangkan kebebasan demokrasi dan mengkritik pemerintah. Jadi ini sesuatu yang tragis bagi Hong Kong.”

Dia khawatir hal ini akan lebih memudahkan aparat keamanan nasional untuk menangkap orang-orang Hong Kong.

“Sangat mudah untuk tertangkap oleh undang-undang baru ini, hanya karena mengkritik pemerintah. Misalnya, melalui internet, di mana kritik tidak ditoleransi dan mudah ditangkap dengan hasutan kebencian,” kata Hui.

"Secara tradisional, itu adalah pelanggaran ringan, dengan hukuman dua tahun penjara. Sekarang mereka dapat memenjarakan Anda selama satu dekade."

Sektor bisnis di Hong Kong juga ikut khawatir akibat keputusan ini. Bloomberg melaporkan pada Selasa (19/3/2024) bahwa Bank of America telah mengurangi kantor di pusat kota Hong Kong menyusul beberapa bank lain yang telah mengurangi jumlah kantor mereka.

Andrew Collier dari Orient Capital Research mengatakan, dia berbicara dengan para pebisnis yang mengatakan bahwa mereka saat ini sedang secara diam-diam memindahkan sebagian perusahaan mereka ke negara-negara lain seperti Singapura.

“Banyak uang yang keluar dari China, keluar dari Hong Kong,” katanya.

“Jika Anda berbicara tentang perusahaan besar dan bank, mereka tidak terlalu mengkhawatirkan keselamatan pribadi mereka, namun mereka sedikit khawatir… (jika) risk officer berkata (kepada CEO), 'ya, ada satu persen kemungkinan Anda bertanggung jawab atas suatu masalah di Hong Kong atau China,' itu terlalu tinggi.”

“Jika Anda adalah pimpinan perusahaan multinasional atau bank besar, Anda tidak boleh mengambil risiko itu, karena resiko keamanannya terlalu besar.”

https://internasional.kompas.com/read/2024/03/22/104310470/nasib-demokrasi-hong-kong-semakin-terancam

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke