Salin Artikel

Kontroversi Hak Veto 5 Anggota Tetap Dewan Keamanan PBB

Kata veto berasal dari bahasa Latin yang berarti "Saya melarang". Dalam konteks politik dan hukum, hak veto adalah kekuasaan yang diberikan kepada suatu entitas atau individu untuk menghentikan secara sepihak keputusan, undang-undang, atau setiap tindakan legislatif tanpa persetujuan entitas atau individu lain. Hak veto merupakan alat pengawasan dan keseimbangan dalam sistem pemerintahan, dimaksudkan untuk mencegah adopsi kebijakan atau undang-undang yang mungkin dianggap merugikan oleh entitas atau individu yang memegang hak veto.

Dalam konteks Dewan Keamanan PBB, hak veto mengacu pada kekuasaan yang diberikan kepada lima anggota tetap (AS, Rusia, China, Prancis, dan Inggris) untuk mencegah adopsi setiap resolusi substantif, tanpa memandang dukungan mayoritas dari anggota lain. Dengan kata lain, jika salah satu dari anggota tetap tidak setuju dengan resolusi yang diajukan, mereka dapat menggunakan hak vetonya untuk "melarang" resolusi tersebut, sehingga menghalangi penerapannya, meskipun semua anggota lain mendukungnya.

Hak veto dimaksudkan sebagai alat untuk memastikan bahwa kepentingan utama kekuatan besar dunia diakomodasi dalam keputusan yang diambil Dewan Keamanan, dengan harapan mencegah konflik besar yang bisa berujung pada perang.

Pemegang hak veto di PBB punya kekuatan suara mutlak. Resolusi atau keputusan tidak akan disetujui jika salah satu dari lima anggota tetap memberikan suara negatif dalam Dewan Keamanan yang beranggotakan 15 negara.

Pada pertemuan Dewan Keamanan PBB pada Senin lalu itu, AS menggunakan hak vetonya itu untuk tidak setuju. Itu berarti resolusi tidak akan dilanjutkan meskipun 13 dari 15 negara telah menyatakan setuju.

Hak veto di PBB diperkenalkan dengan tujuan untuk menjaga stabilitas geopolitik dan mencegah terulangnya konflik besar seperti Perang Dunia I dan II. Pada masa pembentukan PBB, pemikiran utamanya adalah untuk memberikan kekuatan lebih kepada negara-negara besar yang dianggap sebagai penjaga perdamaian global.

Dengan adanya hak veto, diharapkan setiap keputusan penting yang diambil Dewan Keamanan akan mencerminkan kesepakatan dari semua kekuatan besar tersebut, sehingga mencegah kemungkinan konflik yang bisa timbul karena keputusan yang tidak populer.

Kritik dan Kontroversi

Meski hak veto dimaksudkan sebagai sarana untuk menjaga keseimbangan dan mencegah konflik, sering kali hal itu menjadi sumber kontroversi. Kritik utama terhadap penggunaan hak veto adalah kewenangannya untuk memblokir tindakan bahkan ketika ada konsensus luas di antara anggota PBB lainnya.

Hal itu dapat menghambat respons internasional terhadap krisis kemanusiaan atau pelanggaran hak asasi manusia, dengan contoh nyata dalam konflik di Suriah, dimana penggunaan hak veto telah menghalangi intervensi kemanusiaan atau terkait perang di Gaza saat ini ketika tuntutan gencatan senjata dimentahkan dengan hak veto AS.

Dalam praktiknya, penggunaan hak veto seringkali mencerminkan strategi geopolitik dan kepentingan nasional negara pemegang veto. Ini menyebabkan dinamika yang kompleks dalam hubungan internasional, di mana negara-negara anggota PBB lainnya harus bernegosiasi dan mencari kompromi dengan lima anggota tetap tersebut untuk mencapai tujuan bersama. Implikasi dari sistem itu adalah bahwa reformasi atau keputusan penting dalam kebijakan internasional sering memerlukan waktu yang lama untuk dicapai, mengingat kebutuhan untuk mendapatkan persetujuan dari semua pemegang veto.

Hak veto sejak awal telah menjadi subyek perdebatan dan kritik. Di satu sisi, hak veto dianggap sebagai alat penting untuk memastikan kerja sama dan konsensus antara kekuatan-kekuatan besar. Di sisi lain, banyak yang mengkritik hak veto karena dapat menghalangi tindakan Dewan Keamanan dalam menanggapi krisis internasional, terutama ketika salah satu anggota tetap memiliki kepentingan khusus dalam suatu masalah.

Sepanjang sejarahnya, hak veto telah digunakan dalam berbagai kesempatan. Misalnya, selama Perang Dingin, Uni Soviet menggunakan hak vetonya untuk menghalangi intervensi PBB dalam konflik yang dianggapnya sebagai bagian dari pengaruh geopolitiknya. Demikian pula, AS telah menggunakan hak vetonya untuk melindungi sekutu-sekutunya, termasuk Israel, dari resolusi yang dianggap tidak adil oleh AS.

Ada upaya-upaya terus menerus untuk mereformasi Dewan Keamanan, termasuk hak veto. Beberapa negara dan kelompok menyerukan perluasan jumlah anggota tetap untuk mencerminkan realitas geopolitik modern lebih akurat, serta pembatasan atau penghapusan hak veto dalam situasi tertentu, seperti kejahatan terhadap kemanusiaan. Namun, perubahan apapun terhadap hak veto memerlukan persetujuan dari semua anggota tetap, yang membuat proses reformasi menjadi sangat sulit.

Menjelang KTT Dunia tahun 2005, Panel Tingkat Tinggi mengenai Ancaman, Tantangan dan Perubahan menyerukan agar para anggota tetap berjanji untuk tidak menggunakan hak veto dalam kasus genosida dan pelanggaran hak asasi manusia skala besar.

Pasca KTT tersebut, sebuah grup terdiri dari Kosta Rika, Yordania, Liechtenstein, Singapura, dan Swiss yang menyebut diri mereka Small Five (S5) secara aktif mendesak anggota tetap untuk tidak menggunakan hak veto untuk menghalangi tindakan Dewan yang bertujuan untuk mencegah atau mengakhiri genosida, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

S5 dibubarkan tahun 2012, tetapi agenda dan sikapnya terhadap veto tetap diteruskan oleh Accountability, Coherence and Transparency (ACT), sebuah kelompok lintas-regional terdiri dari 27 negara kecil dan menengah yang bertujuan untuk meningkatkan efektivitas Dewan melalui perbaikan metode kerja, termasuk memberlakukan pembatasan pada penggunaan veto.

Adapun usaha pembatasan hak veto lainnya terjadi pada September 2014, ketika dalam Sidang Umum ke-69, salah satu anggota tetap DK PBB, Prancis, bersama dengan Meksiko berinisiatif untuk mengadakan pertemuan tingkat menteri tentang masalah tersebut.

Sama seperti upaya-upaya sebelumnya, pertemuan itu menghasilkan desakan terhadap anggota tetap agar secara sukarela dan kolektif berjanji untuk tidak menggunakan veto dalam kasus genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan perang berskala besar. Namun, hanya Inggris yang mendukung inisiatif tersebut.

Pada pertemuan DK PBB 17 November 2023, perihal veto kembali diungkit. Banyak yang mengulangi pandangan mengenai perlunya membatasi penggunaan hak veto.

Perwakilan Ukraina mengatakan bahwa sangat tidak pantas jika sebuah negara yang memiliki keanggotaan tetap memiliki hak istimewa untuk menggunakan hak veto, apalagi pada situasi di mana negara tersebut terlibat langsung sebagai pihak yang berkonflik atau menjadi penghasutnya. Pembatasan penggunaan hak veto oleh anggota tetap seharusnya bukan hanya mencakup kasus genosida tetapi juga harus mencakup konflik di mana anggota tersebut terlibat.

https://internasional.kompas.com/read/2024/02/27/180000570/kontroversi-hak-veto-5-anggota-tetap-dewan-keamanan-pbb

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke