Salin Artikel

Mengenal Shinto dan Buddhisme dalam Masyarakat Jepang

KOMPAS.com - Shinto dan Buddhisme pernah menjadi agama negara pada titik yang berbeda dalam sejarah Jepang. Meski sekularisme telah menjadi aspek yang menonjol dari masyarakat Jepang sejak diperkenalkannya Konstitusi Jepang (1947).

Sifat sekuler masyarakat Jepang dapat dilihat dari demografi afiliasi keagamaan. Tidak ada satu agama pun yang sangat dominan, dan orang sering kali mengikuti kombinasi praktik dari berbagai tradisi agamadi Jepang.

Cultura Atlas mengutip Pemerintah Jepang, 69 persen populasi menganut Shinto, 66,7 pesen mempraktikkan Buddhisme, 1,5 persen mempraktikkan Kristen, dan 6,2 persen mempraktikkan agama lain pada 2018.

Namun, masyarakat Jepang cenderung mengidentifikasi tanpa agama ketika ditanya tentang keyakinan agama.

Misalnya, ketika ditanya agama mana yang mereka percayai secara pribadi, 62 persen responden tidak memilih agama apa pun, 31 persen memilih agama Buddha, 3 persen memilih Shinto, 1 persen memilih Kristen, 1 persen memilih beberapa agama lain, dan 2 persen tidak menjawab.

Kondisi itu mencerminkan pandangan umum Shinto dan Buddhisme sebagai seperangkat praktik atau cara hidup yang dapat dipraktikkan bersama dengan kepercayaan lain di Jepang.

Selain itu, orang Jepang umumnya tidak memegang atau mengungkapkan keyakinan yang kuat, kecuali mereka yang merasa sangat terikat dengan identitas agamanya.

Shinto di Jepang

Shinto, digunakan untuk merujuk pada berbagai mitos agama, kepercayaan, dan ritual yang berasal dari Jepang, yang memiliki keyakinan pada ‘kami’ (dewa atau roh).

Sifat lokal Shinto berarti tidak ada otoritas pusat formal dan ada keragaman besar dalam kepercayaan dan praktiknya. Meskipun demikian, ada beberapa kesamaan, seperti kebiasaan mengunjungi kuil untuk melakukan ritual, dan pentingnya menjaga kemurnian.

Akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20 Shinto Negara bangkit di Jepang. Keluarga kekaisaran dan ideologi nasionalis dihubungkan dengan pemikiran Shinto.

Kuil disponsori dan diawasi oleh pemerintah, warga sangat didorong untuk menghormati Kaisar sebagai makhluk ilahi, dan agama-agama lain sangat tidak dianjurkan.

Ketika Jepang secara resmi menjadi sekuler pada 1947, Shinto negara dibubarkan dan status dewa Kaisar dihapus.

‘Kami’ dan Roh

Dasar dari Shinto adalah kepercayaan akan adanya penjaga atau dewa pelindung, yang dikenal sebagai “kami”. Diyakini ada ratusan Kami yang saling berhubungan dalam berbagai cara.

Beberapa Kami memiliki nama dan narasi kehidupan (seperti dewi matahari Amaterasu). Beberapa dianggap sebagai personifikasi alam, dan ada juga yang dianggap sebagai roh yang menghidupkan fitur alam seperti air terjun, pohon besar atau gunung.

Setiap Kami memiliki berbagai tingkat kekuatan, dan mampu melakukan tindakan yang ramah ataupun merusak.

Di samping Kami, ada jenis roh lain, seperti utusan dari Kami individual. Pembawa pesan ini biasanya bermanifestasi dalam bentuk binatang. Misalnya, utusan Kami Inari yang agung digambarkan sebagai rubah (kitsune). Kuil untuk Kami sering diisi dengan patung utusan mereka.

Roh-roh lain termasuk mereka yang melakukan tindakan yang bermaksud buruk, serta roh-roh pendendam yang membutuhkan pendamaian, seringkali melalui ritual Buddha atau cara lain.

Kuil (Jinja) dan Ritual Shinto

Sebuah kuil (jinja) adalah tempat utama di mana doa dan ritual Shinto berlangsung. Ada ratusan ribu kuil di seluruh Jepang, yang sebagian besar adalah kuil rumah tangga atau kuil lokal umum dalam berbagai ukuran.

Kuil lokal umum terakhir ini sering dirawat oleh guru (kannushi). Mereka mengelola persembahan yang dipersembahkan kepada Kami tertentu di lokasi tersebut.

Banyak kuil terletak di lingkungan alami, seperti taman atau hutan. Kuil di daerah yang lebih terpencil sering memiliki pintu gerbang yang dikenal sebagai torii yang membatasi area tempat kami tinggal. Torii, terutama yang berwarna merah cerah, adalah yang paling dikenal dan menjadi simbol utama Jepang.

Orang-orang dapat mengunjungi kuil lokal mereka setiap hari, sering kali dalam perjalanan mereka ke tempat kerja dan untuk memperingati peristiwa siklus hidup. Kuil umum yang populer dapat menjadi tuan rumah layanan ritual skala besar dan festival tahunan besar.

Kematian dan segala sesuatu yang berhubungan dengan kematian juga dipandang sebagai sesuatu yang sangat najis.

Sejumlah ritual dan unsur tertentu dianggap bisa membawa orang tersebut kembali ke keadaan kemurnian alami mereka. Air tawar, air asin, dan garam dipandang sebagai zat yang memurnikan, dan sering muncul dalam banyak aspek kehidupan Jepang.

Buddhisme di Jepang

Agama Buddha masuk ke Jepang beberapa waktu selama abad ke-6 M dari semenanjung Korea dan China. Transmisi Buddhisme melalui Asia Timur Laut umumnya dikenal sebagai Buddhisme Mahayana.

Selama berabad-abad berikutnya, gerakan Buddhisme Mahayana di Jepang berkembang menjadi kumpulan tradisi dan alirannya sendiri. Banyak di antara nya berlaku saat ini baik di negara ini maupun di seluruh dunia.

Di samping Shinto, pemikiran Buddhis terus memengaruhi nilai dan sikap masyarakat Jepang.

Sekolah dan Organisasi Buddhisme Jepang

Sejak diperkenalkannya agama Buddha di Jepang, agama tersebut telah berkembang menjadi banyak aliran dan tradisi yang berbeda.

Beberapa dari aliran ini telah ada selama berabad-abad, seperti Tendai, Shingon, Jodo, Jodo Shinsh, Rinzai, Soto dan Nichiren, yang semuanya memiliki cabang dan sub sektenya sendiri.

Sebagian besar dari lebih dari 77.000 kuil Buddha di Jepang berafiliasi dengan salah satu dari tujuh sekolah besar ini. Sekolah dengan afiliasi kuil terbesar adalah Soto (lebih dari 14.000 kuil), diikuti oleh Jodo Shinsh (lebih dari 10.000 kuil).

Kuil (Tera) dan Altar (Butsudan)

Kuil Buddha (tera) ditemukan di seluruh Jepang, dengan hampir setiap kota dan kota memiliki setidaknya satu kuil. Kompleks di sekitar kuil umumnya mencakup beberapa bangunan yang melayani fungsi yang berbeda, seperti ruang pengajaran, biara dan kuburan.

Banyak kuil di Jepang dimiliki, dikelola, dan dirawat oleh satu keluarga. Sistem warisan ini muncul sebagai hasil dari monastik yang dapat menikah dan memiliki anak.

Dengan demikian, tanggung jawab kuil biasanya diturunkan secara patrilineal melalui keluarga. Praktik serupa terjadi dengan umat awam, di mana orang akan sering terus menjadi pelindung kuil yang sama dengan keluarga mereka.

https://internasional.kompas.com/read/2021/11/13/120000070/mengenal-shinto-dan-buddhisme-dalam-masyarakat-jepang

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke