Salin Artikel

Intifada Pertama: Sepenggal Kisah dari Mereka yang Mengalaminya

Mereka turun ke jalan menyuarakan unjuk rasa, dan terlibat kerusuhan dengan aparat keamanan Israel yang berujung dengan empat orang Palestina tewas, dan ratusan lainnya terluka.

Momen ini seakan menjadi penanda 30 tahun terjadinya Intifada Pertama.

Bagaimana Intifada Pertama Terjadi?
Pada 8 Desember 1987, kendaraan militer Israel mengejar mobil yang berisi empat pekerja Palestina di kamp pengungsi Jabalya, sebelah utara Jalur Gaza.

Para pekerja Palestina itu terbunuh sehingga memunculkan protes besar-besaran di Jalur Gaza dan Tepi Barat.

Keadaan itu diperparah dengan situasi politik yang begitu buruk di antara Israel dan Palestina.

Intifada Pertama yang berlangsung 1987 hingga 1993 identik dengan mobilisasi populer, dan protes besar-besaran.

Warga Palestina memboikot setiap produk dan usaha Israel, serta mencukupi kebutuhan sehari-hari dengan usaha rumahan milik Palestina.

Selain itu, terhadap sektor pendidikan dan kesehatan, warga Palestina mengelola universitas, klinik, maupun sekolah secara sembunyi-sembunyi.

Selama enam tahun Intifada Pertama, organisasi HAM asal Israel, B'Tselem mencatat 1.070 warga Palestina terbunuh, dengan 237 di antaranya anak-anak.

Selain itu, 175.000 pengunjuk rasa Palestina juga ditahan oleh polisi Israel.

Di bawah perintah Menteri Pertahanan Yitzhak Rabin, komandan pasukan Israel diinstruksikan untuk mematahkan tulang setiap demonstran Palestina.

Kini, kebijakan itu dipertahankan dengan cara menembak lutut dan kaki kaum muda Palestina yang melakukan protes untuk membungkam mereka.

Dilansir Al Jazeera Senin (11/12/20179), berikut adalah pengalaman tiga orang Palestina yang hidup di masa Intifada Pertama:

Wael Joudeh, 46 Tahun, Desa Iraq al-Tayeh, Nablus
Pada 26 Februari 1988, Joudeh yang masih berusia 17 tahun bersama sepupunya, Osamah, hendak pulang ke desanya setelah menggembala domba.

Tanpa diduga, langkah pulang mereka ternyata diikuti oleh serdadu Israel.

Tentara Israel kemudian menangkap mereka, membanting mereka di tanah, dan mencoba mematahkan tulang mereka menggunakan batu.

Aksi ini terekam video, dan menjadi bukti pertama insiden yang kemudian dikenal sebagai "Kebijakan Patahkan Tulang" tersebut.

Joudeh mengisahkan, salah seorang tentara Israel melepas topi militernya, dan menghantamkannya ke kepala Joudeh hingga dia terhuyung-huyung.

"Setelah itu, tentara itu meneriakkan kalimat 'saya terlahir untuk membunuh orang Palestina!'," ungkap Joudeh.

Tentara itu lalu mengunci tangan Joudeh di belakang punggungya, dan mulai mencoba untuk menghancurkan tangannya menggunakan batu.

Dalam pandangan Joudeh, para prajurit itu tidak hanya berusaha untuk sekedar memberikan luka fisik kepada Joudeh dan sepupunya.

"Mereka juga berusaha untuk mempermalukan dan menjatuhkan semangat kami," kata Joudeh.

Setelah Joudeh dan Osamah dihajar habis-habisan, mereka dibawa ke pusat hukuman Tubas' al-Faraa di Tepi Barat.

Malam harinya, Joudeh didatangi oleh seorng perwira Israel yang menanyai apakah dia baru saja dipatahkan tulangnya oleh pasukan Israel.

Joudeh mengenang, perwira itu berkata dunia tengah berpikir bahwa Joudeh dan sepupunya telah tewas.

Joudeh tidak menduga bahwa ada seorang pria yang berjarak 200 meter dari tempat mereka disiksa merekam setiap detil penyiksaan yang diterimanya.

Joudeh dan sepupunya kemudian dilepaskan setelah media internasional terus menekan militer Israel.

Momen ini bukan pertama kali dialami oleh Joudeh.

Pada 31 Desember 1985, sekelompok pasukan Israel menculik Joudeh ketika dia baru saja pulang sekolah.

Selama Intifada Pertama, tercatat Joudeh lima kali ditahan, dan menghabiskan waktunya di berbagai penjara dan pusat hukuman Israel.

Kini, Joudeh berusia 46 tahun. Dia telah menikah dan mempunyai empat orang anak.

"Saya selalu menceritakan pengalaman saya kepada anak-anak saya. Mereka kemudian menyampaikannya kepada teman-teman mereka," ucap Joudeh.


 

Khadija Abu Shreifa, 65 Tahun, Kamp Jalazone, Ramallah
Dulunya, Shreifa adalah pengungsi Palestina. Dia dan keluarganya terpaksa keluar dari rumah mereka di Desa Safriyya pada 1948.

Awalnya, mereka menetap di kamp pengungsi Aqabat Jabr, Jericho.

Kemudian berpindah menuju Wahdat di Jordania. Kamp Jalazone menjadi destinasi terakhir pasca-perang September 1970.

Shreifa tidak ingat tanggal pastinya. Namun, dia mengingat dengan jelas momen menyedihkan yang menimpa dirinya saat Intifada Pertama.

Saat itu, pria dan perempuan di kamp Jalazone melancarkan protes kepada militer Israel yang dibalas dengan serangan.

"Saya masih ingat seorang tentara Israel mengucapkan kata-kata yang melecehkan perempuan," kata Shreifa.

Shreifa yang marah berusaha menegurnya. Namun, tentara itu malah menyumpahi dan mulai menyerangnya. Shreifa membalas dengan memukul si tentara.

Kejadian itu membuat gerombolan militer Israel mulai menyerbunya.

Shreifa menceritakan para tentara itu memukuli, menjambak rambutnya, dan berusaha membunuhnya dengan cara ditembak dari jarak dekat.

Untungnya, dua butir peluru itu menembus bahu dan kakinya.

Penghuni kamp Jalazone berusaha menyelamatkan Shreifa dari amukan militer Israel.

"Salah satu perempuan melepas jilbabnya, dan mulai menutup luka saya. Orang-orang di kamp kemudian membawa saya ke rumah sakit di Ramallah," kenang Shreifa.

Para perempuan yang melihat itu menjadi marah dan semakin aktif memprotes tentara Israel.

Akibatnya, 40 perempuan harus terluka karena ditembak menggunakan peluru karet.

Sejak kejadian itu, Shreifa berperan aktif mencegah kekerasan yang dilakukan tentara Israel terhadap orang Palestina.

Setiap kali serdadu Israel berusaha menangkap dan menyiksa seorang anak, Shreifa bakal berlari ke arahnya, dan mengklaim bahwa itu adalah anaknya.

Presiden Komite Perempuan Palestina, Khitam Saafin, berkata bahwa perempuan memainkan peran penting selama masa Intifada Pertama.

Peran itu, tidak hanya terlihat dari tindakan yang dilakukan Shreifa untuk melindungi kaum muda Palestina.

Para perempuan juga menyuplai kebutuhan batu yang digunakan demonstran untuk melempar aparat keamanan Israel.

"Mereka juga menyediakan kebutuhan sehari-hari Palestina ketika aksi boikot produk Israel meluas," kata Saafin.


 

Abdullah Abu Shalbak, 49 Tahun, al-Bireh, Ramallah
Graffiti, seni coretan di dinding, juga menjadi salah satu alat protes melawan Israel saat Intifada Pertama. Demikian Abdullah Abu Shalbak mengenangnya.

Cara itu menjadi satu-satunya komunikasi yang bisa dilakukan warga Palestina di dinding kamp pengungsian, atau kawasan mereka sepanjang Jalur Gaza dan Tepi Barat.

Saat itu, Shalbak muda menjadi anggota "pasukan graffiti" yang bertugas di dinding al-Bireh.

Bagi remaja yang baru berusia 19 tahun, tugas itu jelas menantang sekaligus mengkhawatirkan.

Shalbak berujar, pasukan militer sudah mengawasi setiap pergerakannya.

"Pasukan Israel berkeliaran di sepanjang gang, dan menempatkan mata-mata di antara kami," tutur Shalbak.

Shalbak memaparkan, setiap "pasukan graffiti" merupakan tim yang terdiri dari dua orang.

Mereka biasanya bertugas mengumumkan serangan besar, atau sekedar mengucapkan Hari Raya Idul Fitri maupun Idul Adha via mural.

Bersenjatakan cat, dan menutupi wajah mereka dengan Keffiyeh, Shalbak dan temannya bakal menuju ke tengah kota, tempat di mana mereka bakal menggambar pesan-pesan itu.

Sehari sebelum Idul Fitri, Shalbak dan temannya tengah menggambar di al-Bireh ketika tiba-tiba pasukan pendudukan Israel menyerbu mereka.

Shalbak dan temannya membuat perjanjian. Jika mereka diserang, mereka bakal lari ke arah yang berlawanan, dan bertemu di tempat yang disepakati.

Janji itu berjalan dengan baik hingga ketika mereka bertemu, Shalbak mengetahui rekannya terluka parah akibat kakinya tersangkut di pagar saat melarikan diri.

Shalbak kemudian meminta dokter kenalannya untuk merawat teman itu.

Selama tiga tahun terakhir Intifada Pertama, Shalbak terus menggambar slogan di dinding.

Militer Israel yang menangkapnya tidak pernah mengetahui bahawa Shalbak adalah pelaku graffiti di al-Bireh.

"Saat mereka pertama kali menangkap saya, mereka menuduh saya melempari mereka dengan batu dan bom molotov," ujar Shalbak.

Tantangan dari Shalbak dan para pelaku graffiti saat Intifada Pertama tidak hanya kekhawatiran bakal ditangkap Israel.

Melainkan juga omelan dari para pemilik gedung yang dindingnya mereka coret, atau persaingan di antara kelompok graffiti.

Selain itu, Israel juga sering menggunakan graffiti untuk memberikan kode kepada mereka yang bersekutu dengannya.

"Graffiti Israel biasanya ditandai dengan lingkaran dengan segitiga di dalamnya," kata Shalbak.

Shalbak melanjutkan, misi mereka adalah melacak graffiti milik Israel, dan menghapusnya sebelum mata-mata Israel dapat melihat isi pesannya.

https://internasional.kompas.com/read/2017/12/11/18382981/intifada-pertama-sepenggal-kisah-dari-mereka-yang-mengalaminya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke