Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bangga Jadi Istri Tahanan Israel, Setia dan Takkan Menceraikan Suami

Kompas.com - 08/03/2016, 07:00 WIB

RAMALLAH, KOMPAS.com –  Ketika dijatuhi hukuman seumur hidup oleh Israel satu dekade lalu, seorang pria Palestina, Ahed Abu Golmi, menawarkan istrinya agar menceraikan dirinya. Tujuannya agar sang istri bisa hidup bebas dan memilih suami baru, tetapi ditolak.

"Saya mencintai Ahed dan kami masih berhubungan," kata Wafa, yang tetap setia seorang diri mengurus seorang putra dan putri mereka setelah suaminya dihukum karena tersangkut kasus pembunuhan, seperti dilaporkan Agence France-Presse, Senin (7/3/2016).

Menurut kelompok pegiat HAM, Palestinian Prisoners Club, lebih dari 7.000 warga Palestina saat ini ditahan di penjara-penjara Israel. Lebih 600 orang di antaranya menjalani hukuman seumur hidup, termasuk Golmi.

Biasanya, para suami diceraikan jika ditahan seumur hidup di penjara. Hal itu dilakukan agar sang istri tak kesulitan mencari nafkah dan mengurusi anak-anak mereka. Namun, banyak istri memilih bertahan. Istri bangga jika suami mereka bisa membunuh orang Israel.

Para tahanan sering dimuliakan dalam masyarakat Palestina sebagai pahlawan “perjuangan”. Istri-istri kurang diperhatikan, sering dibiarkan sendiri merawat keluarganya. Bagi sebagian istri, mereka bangga bertahan karena menyangkut perjuangan dan harga diri bangsa Palestina.

Khalida Muslih (39), warga Palestina lainnya, mengatakan, dia tidak mempunyai pikiran lain ketika suaminya, Muhammad, dijatuhi humuman seumur hidup oleh Israel. Hal itu dilakukan karena serangan yang mematikan terhadap tentara Israel.

Menurut dia, menjadi istri seorang tahanan karena menyerang Israel adalah sesuatu yang bisa dibanggakan, dan dia tidak akan pernah berubah pikiran. Dia takkan menceraikan suaminya, dan tetap mencintainya, dengan mengurus keluarga seorang diri.

Ketika suaminya dihukum pada tahun 2002, hanya satu tahun setengah setelah mereka menikah, Muslih justru larut dalam sukacita. "Bertahun-tahun saya tidak pernah menyesal tentang hal itu," kata Muslih, yang anaknya baru berusia empat bulan ketika ayahnya dipenjara.

"Saya bangga menjadi istri seorang pejuang, bahkan sekalipun itu akan berarti ada banyak hal yang terampas dari diri saya sendiri dan menghancurkan hati saya," katanya Muslih lagi.

Dua belas tahun berlalu, Muslih tanpa bisa menjenguk dan berbicara dengan suaminya. Sampai suatu saat, setelah berjuang mati-matian secara hukum, ia akhirnya mendapatkan haknya untuk menjenguk suaminya di tahanan Israel.

Sekarang Muslih bisa berbicara dengan suaminya melalui telepon meski terhalang panel kaca antipeluru di antara keduanya saat berada di penjara. Muslih tetap mempertahankan "harapan yang tak pasti” bahwa mereka suatu hari ia bersatu kembali melalui pertukaran tahanan.

Bagi warga Palestina yang menyadari bahwa mereka dijajah Israel, mereka tetap berjuang dengan berbagai cara di berbagai kesempatan untuk mendapatkan kemerdekaan. Apa yang dilakukan kaum perempuan, atau istri, seperti Muslih dan Wafa adalah perjuangan demi harkat dan martabat bangsanya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com