Abdul Basit tidak bisa digantung sesuai dengan panduan ketentuan eksekusi karena ia adalah seorang pengguna kursi roda. Demikian kata seorang petugas saat memerintahkan penundaan.
Dalam ketentuannya, narapidana harus berdiri di tiang gantungan untuk menjalani eksekusi.
"Peraturan mengandaikan terpidana berjalan menuju tiang gantungan, sesuatu yang tidak mungkin dalam kasus Abdul Basit," kata Wassam Waheed, juru bicara Justice Project Pakistan (Proyek Keadilan Pakistan), kepada BBC.
Para pegiat hak asasi manusia beranggapan, menggantung seorang penyandang cacat merupakan tindakan keji dan merendahkan martabat. Risikonya sangat tinggi, penggantungan tidak berlangsung "lancar" terkait kondisinya sehingga menimbulkan penderitaan dan makin merendahkan martabat.
Abdul Basit (43) menderita kelumpuhan dari pinggang ke bawah. Ia menggunakan kursi roda setelah menderita sakit saat berada dalam penjara.
Pakistan mencabut moratorium hukuman mati dan memberlakukannya lagi pada Desember 2014 dan sejak itu sudah menggantung 239 terpidana.
Saat itu, pemerintah beralasan, pemberlakuan kembali hukuman mati diperlukan untuk memerangi terorisme, menyusul aksi Taliban yang membantai 150 orang, sebagian besar anak-anak, di sebuah sekolah di Peshawar.
Basit dijatuhi hukuman mati enam tahun yang lalu untuk pembunuhan terhadap paman dari seorang perempuan yang disebut memiliki hubungan dengannya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.