Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Bayi Saya Cacat karena Saya Melahirkan dengan Kaki Dirantai"

Kompas.com - 03/07/2014, 14:26 WIB
KHARTOUM, KOMPAS.COM - Seorang perempuan Sudan yang melahirkan di sebuah penjara di Khartoum dengan kakinya masih dirantai mengatakan, bayi perempuannya jadi cacat akibat perlakuan yang dialaminya.

Perempuan itu, Meriam Ibrahim (27 tahun), divonis dengan hukuman gantung karena murtad pada tanggal 15 Mei, ketika dia sedang hamil besar anaknya yang kedua. Kurang dari dua minggu kemudian, dia melahirkan Maya, tetapi otoritas penjara menolak untuk melepas belenggu di kakinya saat proses kelahiran itu terjadi.

"Saya melahirkan dalam kondisi dirantai," katanya seperti dikutip The Telegraph. Itu merupakan penjelasan pertamanya tentang kelahiran pada tanggal 27 Mei itu. "(Tangan) tidak diborgol, tetapi kaki saya dirantai. Saya tidak bisa membuka kaki saya sehingga sejumlah perempuan harus menurunkan saya dari meja. Saya tidak berbaring di atas meja."

Saat ditanya, apakah ia takut melahirkan dalam kondisi seperti itu bisa membahayakan bayinya. Ia berkata, "Sesuatu telah terjadi pada bayi itu."

Dia menjelaskan, putrinya telah menjadi cacat secara fisik, tetapi tingkat kecacatan tersebut belum menjadi jelas sampai dia menjadi lebih besar. "Saya tidak tahu apakah di masa depan ia akan membutuhkan bantuan untuk berjalan atau tidak," katanya.

Perempuan pengusaha itu dan keluarganya masih dibelit persoalan hukum. Ia masih di Sudan dan menunggu izin untuk pergi dari negara itu.

Derita Ibrahim dimulai sebelum Natal, ketika ia dituduh pihak berwenang telah "meninggalkan" Islam. Sudan telah memberlakukan hukum syariah sejak tahun 1983, dan murtad merupakan kejahatan yang diancam dengan hukuman mati.

Namun, dia mengatakan kepada pengadilan bahwa dirinya dibesarkan sebagai seorang Kristen, oleh ibunya yang seorang Kristen Etiopia, sejak ayahnya yang Muslim meninggalkan keluarga ketika ia berusia enam tahun. Hari Selasa lalu, ia mengulangi klaim itu. "Saya dari dulu orang Kristen," katanya kepada CNN. "Saya tidak pernah menjadi Muslim."

Ketika ditanya bagaimana perasaannya saat mendengar hukuman mati itu. Ia berkata, "Saya hanya memikirkan anak-anak saya dan bagaimana saya akan melahirkan. Saya benar-benar takut melahirkan di penjara."

Saat ia berada di penjara perempuan di Omdurman, ia mengatakan, narapidana lain mengejeknya. Ia juga mengaku diancam sesama napi.

Ia mengatakan, sejumlah pakar agama dikirim ke penjara untuk membuatnya bisa meninggalkan keyakinan agamanya.

"Sejumlah perempuan di penjara mengatakan berbagai macam hal seperti, 'Jangan makan makanan orang kafir.' Berbagai macam pembicaraan dan ejekan. Bahkan para petugas penjara ikut-ikutan."

Suaminya, Daniel Wani, yang memiliki kewarganegaraan AS dan Sudan Selatan, sedang mencoba untuk mendapatkan visa buat istrinya agar dapat melakukan perjalanan ke AS.

Ibrahim dibebaskan dari penjara pada 23 Juni, hanya untuk ditahan lagi ketika mencoba untuk meninggalkan Sudan menuju AS. Pihak berwenang, kata dia, yang bertindak atas informasi dari agen perjalanan, mengatakan bahwa ia bepergian dengan dokumen palsu karena dokumen-dokumen itu dikeluarkan oleh Sudan Selatan. Keluarga itu kemudian ditahan di kantor polisi selama dua hari sebelum dilepas ke kedutaan AS.

"Sejujurnya, saya benar-benar sedih," katanya. "Saya meninggalkan penjara untuk menyatukan anak-anak saya dan menetap. Saya menemukan diri saya di penjara hari ini dan besok dan sekarang ada protes terhadap saya di jalanan. Bagaimana bisa dokumen saya salah? Dokumen saya berasal dari Kedutaan. Itu 100 persen benar dan telah disetujui duta besar Sudan Selatan dan Duta Besar Amerika. Hak saya untuk menggunakan berkas-berkas itu dan memiliki paspor Sudan Selatan karena suami saya adalah warga negara Sudan Selatan. Ia memiliki paspor Amerika dan paspor Sudan Selatan. Saya tidak pernah memalsukan surat-surat."

Pengacara Ibrahim telah mengajukan permohonan kepada jaksa distrik untuk membatalkan kasus pemalsuan itu sehingga keluarga itu akhirnya dapat meninggalkan Sudan dan aman. Namun, hal itu sangat melelahkan bagi Ibrahim. Ia mengatakan, dirinya terlalu lelah untuk berpikir tentang langkah berikutnya.

"Saya bahkan tidak bisa memutuskan apa yang harus saya lakukan sekarang. Saya ingin pergi, tetapi pada saat yang sama saya tidak ingin pergi. Tetapi, keadaan saya sekarang menuntut bahwa saya harus pergi."

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com