Final Piala Suzuki AFF yang diselenggarakan di Bangkok minggu lalu adalah sebuah pertandingan dramatis antara tim Thailand yang bermotivasi tinggi dan tim Garuda Indonesia yang berani dan telah menunjukan perbaikan performa terbaik di Asia.
Setelah menyaksikan Thailand yang telah berjerih payah memenangkan pertandingan di hadapan ribuan penonton yang memadati Stadion Rajamangala, mari kita sisihkan waktu sejenak memikirkan tim Malaysia, Harimau Malaya, yang saat ini menduduki posisi 156 dalam peringkat dunia FIFA terakhir, dan dikalahkan oleh Vietnam dan Myanmar dalam babak-babak awal Piala Suzuki.
Telah banyak tulisan tentang permainan sepak bola Malaysia yang terus menurun setelah melewati masa kejayaannya pada era 1970-an dan 80-an. Namun, pemain-pemain seperti Santokh Singh, Mokhtar Dahari, Soh Chin Aun, James Wong dan R. Arumugam tetap dipuja dan dihormati hingga saat ini, meski mereka tak lagi bermain secara profesional sejak 30 tahun lalu.
Saya bukan ahli sepak bola dan turnamen AFF pun tidak sebesar Piala Dunia. Meskipun demikian, saya tetap terpesona dengan dampak yang ditimbulkan olahraga ini terhadap semangat kebangsaan dan kesehatan jiwa raga rakyatnya.
Meski mungkin terlihat agak dibuat-buat, korelasinya patut diperhatikan. Coba simak penderitaan yang dialami tim Brasil (termasuk ketika kalah 1-7 dari Jerman pada Piala Dunia 2014) dan Presiden sebelumnya, Dilma Rousseff, yang proses pemakzulannya berlarut-larut yang baru dimulai segera setelah itu.
Kegaduhan politik Malaysia telah terdokumentasi dengan baik. Kekacauan yang terjadi telah mendepresikan banyak orang di tengah menurunnya performa negara ini--yang kemerosotannya menyamai tim sepak bola nasional.
Ada kejadian yang menarik pada Januari tahun ini, ketika orang-orang Malaysia disuguhi sebuah film yang mengklaim akan membuat kita "percaya kembali". Film yang diproduksi Astro Shaw ini berjudul "Ola Bola".
Dibuat secara garis besar berdasarkan grup pesepak bola legendaris Malaysia yang disebutkan di atas, "Ola Bola" melukiskan bagaimana sekelompok laki-laki muda dengan latar belakang yang berbeda-beda dari Malay, India, dan China (ditambah Malaysia Timur, Sabah) bersatu membentuk sebuah tim sepak bola nasional yang tak terkalahkan dan sangat percaya diri menghadapi dan mengalahkan musuh-musuh besar seperti Korea Selatan.
Dengan deretan pemain yang terdiri dari berbagai ras dan menekankan 'kekuatan keberagaman' Malaysia, film ini menyajikan sebuah pandangan yang positif dan menggembirakan atas potensi Malaysia – cukup terbalik dengan banyaknya berita-berita negatif yang melanda Malaysia belakangan ini.
Anak laki-laki dari pasangan supir truk dan ibu rumah tangga dari Batu Pahat, Chiu adalah orang di balik kesuksesan beberapa film terkenal Malaysia, seperti ‘The Journey’. Dia belajar perfilman di Beijing dan sangat percaya formalitas dari pembuatan film, yakni perbendaharaan kata dan tata bahasa dalam penyampaian cerita visual. Selain itu, dia juga seorang yang percaya pada takdir.
"Sebagai sutradara, kita tidak menciptakan film. Namun, saya percaya bahwa ada sebuah cerita yang menunggu untuk disampaikan dan saya beruntung karena telah dipilih untuk membuat hal itu menjadi kenyataan. Selain, tentu saja, saya juga penggemar sepak bola."
Chiu melihat Malaysia dengan sangat unik. Dalam bahasa perfilman, dia menceritakan bagaimana sebuah lensa panoramik yang ditempatkan di atas negara untuk memperlihatkan Malaysia yang sesungguhnya – ini yang menjadi sasaran film "Ola Bola". Sementara dalam "The Journey" melalui lensa zoom, dia memfokuskan secara eksklusif pada komunitas Cina, untuk memperlihatkan sebuah pengalaman Malaysia, yang memiliki perbedaan total dalam hal bahasa dan/atau budaya.
Deretan pemain muda dalam "Ola Bola" juga menceritakan antusiasme yang dirasakannya. Berbicara mengenai perannya, Luqman mengatakan, "Peran Ali sangat berarti buat saya. Dia menjadikan saya seorang Malaysia yang lebih baik dan telah menjadi sumber kekuatan dalam hidup saya dengan mengingatkan saya agar tidak pernah menyerah."
Untuk JC, seni juga meniru kehidupan. "Bagaimana saya memainkan karakter ini? Saya harus mempersiapkan… Saya harus menjadi seperti seorang kapten. Kapanpun ada fitting baju atau ketika wajah kita harus dirias, saya akan menjadi orang pertama yang siap di ruang fitting, untuk menunjukan bahwa inilah bagaimana seharusnya seorang kapten. Saya harus menunjukan tanggung jawab kepada tim, sehingga mereka bisa merasakan kita berada dalam tim yang sama. Inilah pelajaran yang saya dapat dari memainkan karakter Tauke. Jika kamu mau menjadi seorang pemimpin, kamu harus memberikan semua yang kamu bisa. Lakukan yang terbaik. Kamu harus tepat waktu. Kamu harus bertanggung jawab. Jadi inilah yang saya telah lakukan dan mengubah saya."
Meskipun para pengritik mencela pandangan positif yang diambil film ini dalam menggambarkan masalah-masalah negara, tidak ada yang dapat menyangkal bahwa "Ola Bola" adalah sebuah film yang memuaskan, yang dibuat dengan sangat baik dan dengan penuh ketulusan serta patut ditonton.
"Ola Bola" juga mengingatkan bahwa apapun masalah yang dihadapi Malaysia (dan sebenarnya ada banyak masalah), kunci mengoptimalkan kekuatan sebuah negara bersandar pada kerja sama antara perbedaan agama dan ras. Mimpi Malaysia memang telah rusak namun belumlah hancur.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.