Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Karim Raslan
Pengamat ASEAN

Karim Raslan adalah kolumnis dan pengamat ASEAN. Dia telah menulis berbagai topik sejak 20 tahun silam. Kolomnya  CERITALAH, sudah dibukukan dalam "Ceritalah Malaysia" dan "Ceritalah Indonesia". Kini, kolom barunya CERITALAH ASEAN, akan terbit di Kompas.com setiap Kamis. Sebuah seri perjalanannya di Asia Tenggara mengeksplorasi topik yang lebih dari tema politik, mulai film, hiburan, gayahidup melalui esai khas Ceritalah. Ikuti Twitter dan Instagramnya di @fromKMR

Teknologi vs Manusia

Kompas.com - 06/11/2016, 08:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorTri Wahono

Lahir di Surabaya tapi besar di Los Angeles, Michael Haris (22) adalah seorang software programmer. Ketika dia berbicara, satu ruangan seolah terhipnotis oleh paparannya yang kaya dengan kata-kata mutiara sekaligus sarat dengan istilah-istilah teknologi. 

Bagi Michael, “gereja adalah kampus”, dan “…keimanan bukanlah sesuatu yang meragukan. Itulah keyakinan.”

Tak ada satu cara untuk mendapatkan “tiket” masuk Silicon Valley yang menawarkan 100.000 dolar AS ditambah gaji awal dan berbagai fasilitas tunjangan. Gelar dan koneksi pun tidak berguna di sana dan generasi muda, seperti yang kita tahu, sangat susah diatur.

Tetapi Michael memiliki saran. “Kalian harus bagus dalam melakukan apa pun, dan harus punya keingintahuan untuk menyelesaikan masalah. Kemampuan kalianlah yang kelak membuktikannya.“

Jadi ketimbang menyelesaikan kuliahnya, Michael lebih memilih untuk mengikuti “boot-camp” selama tiga bulan untuk mendapatkan pelatihan intensif tentang “coding” -- salah satu program yang difasilitasi raksasa teknologi terkemuka di Valley.

Tentu saja pelatihan tentang coding ini berbeda dengan kuliah yang diberikan Stanford University--yang memiliki sumber daya kuat dengan dukungan dana hingga 22 juta dolar AS, dan prestasi akademik yang spekatakuler.

Stanford tercatat telah memberikan kesuksesan dari generasi ke generasi bagi para pemain di industri teknologi Bay Area, mulai dari Hewlett-Packard hingga Oracle, lalu Apple, Facebook dan Snapchat.

Keberhasilan demi keberhasilan telah menghasilkan kesuksesan.

Setiap pengusaha ingin menjadi Mark Zuckerberg berikutnya ketika para kapitalis sedang mencari-cari “unicorn” berikutnya. Inilah yang memperkuat dominasi AS di industri teknologi global.

Saat ini, 7 dari 10 perusahaan teknologi terbesar dunia adalah perusahaan Amerika. Namun, dominasi ini diikuti munculnya berbagai masalah, seperti Google yang sedang menghadapi tuntutan pajak baik di Uni Eropa dan bahkan di Indonesia.

Tetapi yang paling penting adalah apakah dominasi teknologi ini (oleh Amerika) akan berlangsung terus?

Keberhasilan dalam semalam dari sejumlah programmer telah mendorong banyak perusahaan start-ups mengolah sumber dayanya--seolah untuk mengatasi masalah-masalah utama dunia—dengan mengembangkan konten-konten baru untuk aplikasi mobile, atau untuk area-area yang lebih penting, seperti kesehatan dan pendidikan.

Namun buruknya adalah ketika keberhasilan instan itu justru menggiring mereka menjadi merasa berhak untuk mendapatkan privilege atau perlakuan istimewa. Ini telah melahirkan budaya yang arogan dan ketidakpedulian terhadap sekelilingnya.

Boleh jadi banyak dari mereka tidak tertarik dengan pemilihan presiden AS.

Memang dalam dunia yang bergerak serba cepat ini, membuat para programmer itu kehilangan jati dirinya.

Termasuk Michael yang malu-malu mengungkapkan obsesinya terhadap privilege. “Kalau Anda terus-menerus bekerja dengan baik maka Anda akan mulai bertanya pada diri Anda sendiri, dan Anda pasti akan berusaha keras agar tetap di jalannya.”

Bagaimanapun, perkembangan teknologi yang begitu cepat—realita alternatif, kecerdasan palsu dan perkembangan robot—mulai merusak hal-hal yang sifatnya mendasar.

Contohnya, apa yang terjadi ketika robot dan aplikasi-aplikasi yang tercipta dapat menggantikan tugas manusia? Apakah kemudian membuat kita tak lagi dibutuhkan? Dan jika demikian, apakah kemudian tujuan hidup kita? Apakah lalu kita menerima tunjangan dari pemerintah hanya untuk sekadar ada?

Tentu saja, pada akhirnya itu akan tergantung pada bagaimana seseorang memperlakukan teknologi. Dalam beberapa dekade, teknologi terbukti lebih banyak memberikan keuntungan ketimbang kerugian.

Hanya saja, transisi dari satu era teknologi ke era berikutnya bisa menyulitkan dan membingungkan. Lihatlah bagaimana aplikasi transportasi online, Uber, mengancam seluruh jasa transportasi non-online. Pekerjaan jasa layanan pun menjadi semakin rentan.

Siapa yang butuh pegawai di perusahaan layanan Call Center, atau di kantor akuntan dan hukum ketika robot bisa melakukan pekerjaan itu sama bagusnya dengan manusia?

Jadi ketika teknologi menghilangkan pekerjaan manusia, meninggalkan banyak masalah tanpa menciptakan pekerjaan yang layak, bagaimana teknologi dapat memberikan “arti hidup”?

Mungkinkah kemudian keyakinan Michael akan bermanfaat?

Tentu saja, kita tidak sendiri ketika mengajukan pertanyaan-pertanyaan ini. Presiden AS Barrack Obama dalam edisi terbaru majalah teknologi “Wired” berbicara tentang semangat dan komitmennya terhadap teknologi dan inovasi.

Sementara tidak ada keraguan lagi menyangkut kekuatan modal yang dimiliki Silicon Valley dan cara-caranya melampaui apapun yang China bisa kembangkan, kepercayaan Presiden China terhadap kurangnya pengetahuan teknologi memiliki kedalaman moral dan sosial yang lebih besar.

Teknologi sesungguhnya hanyalah soal pengembangan aplikasi. Apa yang lebih dibutuhkan di tahun-tahun mendatang adalah menyangkut sisi manusianya.

Pada dasarnya, kita harus mulai bertanya kepada diri sendiri, apa gunanya semua kehebatan teknologi itu?

Bagaimana caranya agar teknologi justru dapat meningkatkan eksistensi manusia?

*Artikel CERITALAH USA--akan terbit setiap hari mulai Kamis (3/11/2016)-- merupakan rangkaian dari CERITALAH ASEAN, yang ditulis dari perjalanan Karim Raslan selama 10 hari ke AS dalam rangka mengamati pemilu di sana.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com