Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Karim Raslan
Pengamat ASEAN

Karim Raslan adalah kolumnis dan pengamat ASEAN. Dia telah menulis berbagai topik sejak 20 tahun silam. Kolomnya  CERITALAH, sudah dibukukan dalam "Ceritalah Malaysia" dan "Ceritalah Indonesia". Kini, kolom barunya CERITALAH ASEAN, akan terbit di Kompas.com setiap Kamis. Sebuah seri perjalanannya di Asia Tenggara mengeksplorasi topik yang lebih dari tema politik, mulai film, hiburan, gayahidup melalui esai khas Ceritalah. Ikuti Twitter dan Instagramnya di @fromKMR

Lebih Baik Panggil Tharman

Kompas.com - 06/10/2016, 21:15 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorFidel Ali

Singapura adalah negara yang berbeda - atau setidaknya begitulah kebanyakan orang memandang Singapura. Negara ini adalah negara yang paling teknokratis: diisi oleh para sarjana dari universitas terbaik dunia.

“Politik” dapat dikatakan telah dihapus dari negara ini. Selain itu, dalam serangkaian transisi kekuasaan Singapura yang dilaksanakan dengan sangat baik, mulai dari "Founding Father" Lee Kuan Yew kemudian Goh Chok Tong pada 1990 dan setelah itu ke Lee Hsien Loong pada 2004, kondisi negara ini selalu stabil.

Kira-kira enam bulan lalu, sebuah kolom tentang suksesi politik di Singapura bisa dilihat sebagai sebuah lelucon. Namun, dua peristiwa yang terjadi baru-baru ini telah mencemaskan negara pulau itu.

Pertama, pada bulan Mei, “generasi keempat” penerus Lee, seorang Menteri Keuangan berusia lima puluh empat tahun yang ramah dan sangat kompeten, Heng Sweet Keat terserang stroke secara tak terduga saat menghadiri sidang kabinet.

Kemudian yang paling mengejutkan, pada 21 Agustus malam, saat Perdana Menteri menyampaikan pidato tahunan Hari Nasional, lelaki berusia enam puluh empat tahun ini roboh dan pingsan. Untungnya, kamera media dengan cepat diarahkan ke tempat lain pada saat dia jatuh – dengan begitu martabat mantan penderita kanker ini tetap terjaga.

Meskipun demikian, rekaman “peristiwa” itu sudah tersebar di seluruh kota (jika bukan seluruh Asia Tenggara) hanya dalam beberapa menit. Saya ingat, waktu itu saya sedang berada di Jakarta dan sibuk mencari saluran televisi segera setelah saya mendengar berita tersebut.

Segala sesuatu menjadi menarik sewaktu kami menunggu kabar tentang kondisi Lee. Saya hanya bisa membayangkan banyaknya pertanyaan yang muncul: Ada apa dengan PM? Mungkinkah kondisi kesehatannya kembali menurun? Apakah itu stroke atau serangan jantung?

Bagi sebuah negara yang begitu terjaga keseimbangannya, situasi yang tidak pasti ini mengkhawatirkan orang-orang. Selain itu, peristiwa ekonomi yang terjadi baru-baru ini - faktor-faktor negatif mulai dari menurunnya permintaan dari China (pasar ekspor terbesar Singapura), jatuhnya harga minyak dan gas serta lesunya sektor ritel dan game – menimbulkan kekhawatiran di negara ini. Pertumbuhan diperkirakan hanya mencapai 1 sampai 2% pada akhir 2016.

Saat negara ini berspekulasi, suara Wakil Perdana Menteri Teo Chee Hean terdengar melalui pengeras suara. Mantan Laksamana Muda ini dengan tenangnya (dan terlihat kurang berempati) menjelaskan kepada para hadirin bahwa semua baik-baik saja dan pidato akan dilanjutkan setelah penundaan sejenak.

Seorang profesional muda yang sedang menonton pidato tersebut pada saat itu mengatakan kepada saya, “Saya merasa, kesannya Teo hanya sekadar basa-basi. Kata-katanya dingin dan kurang empati.”

Dua puluh menit kemudian, Wakil Perdana Menteri II Tharman Shanmugaratnam berbicara langsung kepada media nasional. Meskipun ketidakpastian semakin terasa, dia tetap bersikap tenang, bersahaja dan percaya diri.

Merasakan keterkejutan yang dialami negara ini, dia mengatakan bahwa dia sudah berbicara dengan Lee, serta dokter-dokter dan bahwa situasinya sudah terkendali.

Melihat kinerja sempurna Tharman, saya menyadari bahwa saya sedang menyaksikan intuisi politik yang murni. Hanya dalam hitungan menit, Wakil Perdana Menteri ini dapat terhubung dengan seluruh bangsa, merasakan kecemasan yang mereka alami dan kemudian menghilangkan kekhawatiran mereka.

Bertentangan dengan apa yang selama ini diyakini oleh ahli-ahli politik Singapura, “kepemimpinan” tidak dapat dihasilkan dengan begitu saja.

Beberapa pihak menunjukkan popularitas Tharman yang terus naik dibandingkan rekan-rekan kabinetnya – mengutip hasil beberapa poling, hasil pemilihan umum di Jurong Group Representative Constituency (GRC), dan kemampuan komunikasinya yang baik.

Bagi saya, tes yang sesungguhnya datang di saat-saat setelah Lee jatuh, ketika dia menyadari perlunya campur tangan dan menenangkan negaranya pada saat yang dibutuhkan. Prospek kepemimpinan Tharman di masa depan menjadi topik hangat yang diperdebatkan di Singapura sekarang ini.

Dilihat dari luar, dia dipandang sebagai produk sempurna dari sistem PAP yang melahirkan calon-calon pemimpin. Dia juga dipandang memenuhi sejumlah kriteria. Berpendidikan tinggi? Tharman merupakan lulusan dari LSE, Cambridge dan Harvard. Keunggulan teknokratis?

Ia sebelumnya adalah Chief Executive dan kemudian Ketua Otoritas Moneter Singapura (MAS). Dia juga menjalankan tugas sebelumnya sebagai Menteri Edukasi dan Menteri Keuangan dengan sangat baik.

Bagaimana pengalaman internasionalnya? Dia memimpin Komite Keuangan dan Moneter Internasional (IMFC) di IMF. Apakah dia pandai dalam berkampanye? Dia sukses di daerah pemilihan Jurong sejak 2001 dengan selalu mendapat suara mayoritas di sana.

Lalu apakah etnis Tharman sebagai seorang India Singapura di negara dengan mayoritas penduduk beretnis China bisa menjadi suatu masalah?

Memang benar, sebuah artikel yang baru-baru ini dipublikasikan oleh Straits Times menguraikan enam kandidat yang dipertimbangkan akan berkompetisi dalam mendapatkan jabatan perdana menteri. Nama Tharman tidak termasuk dalam keenam orang tersebut.

Apa yang menyebabkan hal itu terjadi? Bukankah Singapura menganut sistem meritokrasi? Bukankah Singapura selalu merekrut dan mengangkat yang terbaik dan paling cerdas?

Saya akui bahwa saya sangat tertarik mengetahui mengapa ada keengganan untuk mempertimbangkan seorang pria yang secara jelas lebih unggul di atas rekan-rekannya, terutama mengingat badai ekonomi dan finansial yang sedang dan akan dihadapi Singapura dalam satu dekade ke depan?

Kaum elite Singapura sedang dihadapkan dengan dilema yang tidak biasa: seseorang yang berpotensial menjadi seorang pemimpin dengan kinerjanya yang melampaui semua rekan-rekannya dalam hal kemampuan administrasi dan politik.

Di Singapura, di mana kemampuan otak dan kecerdasan yang didapat dari membaca buku telah mengungguli kecerdasan emosional dalam waktu yang lama, sedangkan Tharman memiliki intuisi dan retorika yang tidak dimiliki oleh orang lain untuk memenangkan dan membujuk orang-orang sebangsanya

Akhirnya, kita harus bertanya apakah warga Singapura benar-benar dilayani oleh kegagalan imajinasi ini dalam kesuksesan mereka?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com