Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hari Pengungsi Sedunia, di Ujung Lorong Penantian

Kompas.com - 20/06/2016, 11:18 WIB
Josie Susilo/Kris R Mada

Penulis

Meskipun Kota Medan siang itu tak berawan, sorot mata Mohammad Khan (39) sarat dengan mendung.

"Tak apalah jika harus bunuh saya, tetapi berilah harapan pada anak-anak saya," kata Khan sambil memeluk Nuriza (3), salah satu anak kembarnya.

Setelah menunggu lebih dari 16 tahun, lorong harapan pengungsi asal Mongdo, Myanmar, itu seakan telah tertutup.

Sebagai bagian dari komunitas Rohingya di Myanmar, Khan harus mengalami kerasnya konflik etnis di negaranya.

Bersama sejumlah temannya, ia pergi meninggalkan Mongdo tahun 1995.

Dengan menumpang kapal nelayan Thailand dan sempat dipekerjakan sebagai awak kapal, ia menyusuri perairan menuju Malaysia.

Selama berbulan-bulan ia tinggal di atas laut, dipindah-pindahkan dari satu kapal ke kapal lain, hingga akhirnya didaratkan di perbatasan Thailand-Malaysia.

Dari perbatasan, Khan berjalan kaki menuju Kuala Lumpur.

Selama bertahun-tahun, Khan hidup dalam persembunyian, hingga akhirnya pada tahun 2000 ia mendapat status pengungsi dari Komisi Tinggi PBB untuk Urusan Pengungsi (UNHCR) Malaysia. Kartu itu membuatnya sedikit leluasa bergerak.

Di kota itu ia bertemu dengan Marwani binti Abdullah, perempuan asal Lhokseumawe, Aceh.

Mereka pun menikah dan dikaruniai tiga anak. Tahun 2012, Khan mengantarkan istrinya pulang. Namun, baru tiga hari di Aceh, ia ditangkap.

Sejak saat itu, ia bersama keluarga kecilnya tinggal di penampungan sementara di Medan. Di tempat itu pula Nuriza dan saudara kembarnya, Nurina, lahir.

Namun, karena status Khan adalah pengungsi, Nuriza dan Nurina tidak dapat memiliki akta kelahiran. "Saya telah berusaha, tetapi pemerintah tidak kasih," kata Khan.

Harapannya untuk dapat ditempatkan di negara ketiga semakin tertutup. "Mereka hanya ambil orang yang memiliki keahlian," kata Khan.

Dari data Kantor Wilayah Hukum dan HAM Sumatera Utara, dari 45 pengungsi yang pada bulan Mei diberangkatkan ke Amerika Serikat dan Kanada, hanya empat orang warga Rohingya.

Sebagian besar pengungsi yang ditempatkan berasal dari Palestina dan Afganistan.

"Saya harus menunggu lagi, entah sampai kapan," kata Khan. Ia mengaku tidak dapat kembali ke Myanmar.

Meskipun rezim telah berganti, asam tetaplah asam, kata Khan, mengibaratkan kondisi politik di Myanmar.

Walaupun partai pejuang demokrasi Myanmar, Aung San Suu Kyi, berkuasa, situasi tidak banyak berubah.

Harian Kompas Jumlah pencari suaka di Indonesia

Baginya, saat ini situasi itu makin buruk karena masa lalunya itu berimbas pada anak-anaknya. Masa depan mereka turut suram.

Saat ini untuk menyokong hidup keluarga, ia membuat kios kecil di tempat penampungan. Hasilnya untuk menutupi kekurangan uang saku yang diberikan oleh Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM).

Situasi serupa dihadapi Husam Mahmood Faraj, mantan produser di salah satu stasiun televisi di Baghdad, Irak. Ia memutuskan pergi setelah hasil liputannya tidak menyenangkan sejumlah pihak dan keluarga salah satu anggota timnya tewas.

Insiden itu terjadi beberapa hari setelah beberapa orang mencari Faraj dan anggota timnya.

"Waktu dicari, saya masih tenang-tenang saja. Setelah ada putri teman saya tewas saat serombongan orang menyerbu rumah mereka, saya putuskan tak bisa lagi tinggal di Baghdad," tuturnya.

Setelah melewati beberapa negara, ia akhirnya masuk ke Indonesia. Perlu beberapa bulan di Indonesia sebelum akhirnya ia mendapat status sebagai pengungsi.

Selama tiga tahun terakhir, ia dan istrinya berpindah ke berbagai tempat penampungan sebelum akhirnya masuk Akomodasi Non Detensi (AND) Sekupang di Batam, Kepulauan Riau.

"Saya rindu liputan lagi. Saya sudah pernah mengirimkan lamaran kerja melalui UNHCR. Sampai sekarang, belum ada jawaban dari mereka. Tidak masalah di mana saja, saya siap bekerja sebagai jurnalis televisi. Saya masih menyimpan ijazah dan sertifikat-sertifikat kompetensi," tuturnya.

Meskipun mendapat jaminan, tidaklah nyaman menjadi pengungsi. Lorong harapan mereka seolah tidak pernah berujung....

(Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 20 Juni 2016, di halaman 8 dengan judul "Di Ujung Lorong Penantian")

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com