MELBOURNE, KOMPAS.com - Bagi warga Indonesia yang tinggal atau sedang bertugas di luar negeri, menjalankan ibadah puasa selama bulan Ramadhan menjadi tantangan tersendiri. Apalagi di tengah udara musim dingin, misalnya mulai dari 12 derajat Celsius di Melbourne dan hingga minus 2 derajat Celsius di Canberra, ibu kota Australia.
Iyan Bachtiar, salah satu warga Indonesia yang bertugas di Australia selama sebulan, memulai ibadah puasanya sekitar 9 hari sebelum pulang ke Tanah Air.
Dia bersyukur bisa merasakan suasana yang berbeda dalam hidupnya saat mulai berpuasa di Melbourne. Bangun untuk sahur dalam godaan udara dingin sebelum puasa pada pukul 06.15 lalu menjalani puasa dalam udara yang juga dingin, apalagi jika hujan turun, hingga pukul 17.15.
"Puasa di sini beda banget karena sudah masuk winter (musim dingin) dan waktu puasanya jadi lebih cepat 2 jam daripada di Indonesia," ucapnya kepada Kompas.com.
Namun demikian, lanjutnya, meski waktu puasa lebih singkat, suhu dingin menjadi tantangan tersendiri untuknya.
"Lebih cepat haus karena dingin. Badan terasa lebih lemas jadinya," tutur pria berusia 30 tahun ini.
Udara dingin juga terkadang membuatnya enggan beraktivitas di luar. Namun karena pekerjaan menanti, dia tetap bersemangat menjalaninya sambil berpuasa. Iyan berusaha menjaga tubuhnya tetap fit dengan minum lebih banyak saat sahur atau buka puasa karena cuaca yang dingin.
Baca juga: Kolak Biji Salak dan Rendang, Obat Kangen Para Perantau Saat Ramadhan
"Tapi di sini lebih indah suasananya. Lebih tenang," ucapnya.
Selain itu, Iyan juga rindu akan suara azan yang berkumandang saat waktu buka puasa tiba. Pasalnya, di Australia, termasuk Melbourne, suara azan dilarang dikumandangkan dengan pengeras suara ke luar masjid.
Nadirsyah Hosen, dosen senior di Fakultas Hukum Monash University, pekan lalu, mengatakan, azan tidak boleh dikumandangkan dengan pengeras suara terkait kenyamanan bersama yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Australia.
Baca juga: Suara Azan, Paling Dirindu Saat Ramadhan di Australia
Interaksi lebih menarik
Lukman-nul Hakim, warga Indonesia lainnya yang sudah tinggal 2 tahun di Melbourne Australia, juga sepakat bahwa menjalani puasa di bulan Ramadhan di negara orang memberi warna tersendiri dalam kehidupannya.
Kandidat doktor di University of Melbourne ini menuturkan, dirinya tidak mengalami tantangan berarti terkait udara dingin yang menyertai ibadah puasanya.
"Misalnya saya bisa hadir di acara buka bersama yang diselenggarakan oleh komunitas negara lain, bagi saya jauh lebih berwarna. Tentu saja penting kita berinteraksi dengan kawan-kawan dari satu negeri, tetapi itu juga jangan sampai membuat kita menjadi tertutup dengan interaksi dengan kelompok-kelompok yang lain karena kita akan mendapat pengalaman yang luar biasa," tambahnya kemudian.
Tak ada kesulitan pula soal makanan untuk berbuka puasa. Pria yang kerap disapa Aim ini senang berkunjung ke komunitas negara lain dan menemukan teman serta makanan baru.
"Makanan kan biasanya starting point dalam intercultural interaction ya. Dari makanan kita bisa ngobrol yang lain," ungkapnya.
Aim tak memungkiri rasa kangen akan Tanah Air terkadang muncul, termasuk kepada keluarga.
"Tapi bagi saya sih biasa saja karena saya berusaha memaknai di mana saya tinggal," tuturnya.
Tulisan ini dibuat dalam rangkaian perjalanan Kompas.com yang diundang ABC Australia Plus ke Australia, 14 Mei-15 Juni 2016, bersama MNC Group dan Detik.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.