Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dua Hari yang Sangat Melelahkan dan Penuh Bahaya

Kompas.com - 27/09/2015, 15:05 WIB

Haji sebagai puncak ritual peribadatan bagi para umat Islam, sejak berpuluh tahun lalu, menjadi "ritual" penyerahan diri secara total kepada Allah, Sang Pencipta dan Penguasa Seluruh Alam.

Ketika pesawat terbang belum menjadi alat transportasi utama bagi kaum Muslimin di Indonesia, ribuan Muslimin Indonesia telah menyerahkan dirinya secara total untuk pergi berhaji dengan kapal laut. Risiko selama terombang-ambing di lautan dan wafat dalam perjalanan atau selama berhaji diterima dengan ikhlas.

Kini ketika berhaji semakin mudah dan perjalanan haji dari Indonesia ke Arab Saudi bisa dalam beberapa jam saja, risiko berhaji berpindah ke dua hari yang sangat melelahkan.

Dua hari itu adalah perjalanan ketika jemaah menjalankan wukuf di padang Arafah, sekitar 20 kilometer dari pusat kota Mekkah, pada 9 Zulhijah, hingga ritual melempar jumrah aqabah pada 10 Zulhijah.

Sebelum melaksanakan wukuf atau berdiam diri di Arafah sejak matahari terbit hingga matahari terbenam, banyak jemaah memaksimalkan peribadahan mereka dengan melaksanakan sunat Tarwiyah atau pembekalan, yaitu sudah berada di Mina sebelum shalat Dzuhur hingga seusai shalat Subuh keesokan harinya.

Meski inti dari Tarwiyah adalah melaksanakan shalat lima waktu, dari Dzuhur hingga Subuh di Mina, ritual ini cukup melelahkan dalam kondisi udara yang sangat panas di Mina.

Beristirahat di tenda dengan alas tidur seadanya dan pendingin ruangan yang tidak mampu menurunkan suhu hingga di bawah 30 derajat serta harus mengantre minimal 10 menit untuk bisa masuk ke toilet, membuat energi cukup terkuras.

Dalam kondisi seperti itulah para jemaah kemudian bergerak ke Arafah yang jaraknya sekitar 10 kilometer dari Mina dengan menggunakan bus untuk menjalankan wukuf. Tenda-tenda di Arafah yang kondisinya lebih minimalis didirikan semipermanen, sementara terik dan panas matahari melampaui 45 derajat, membuat energi jemaah lebih terkuras. Lebih khusus lagi untuk jemaah asal Timur Tengah dan Afrika, yang banyak memilih menjalankan wukuf di Bukit Jabal Rahman, yang jaraknya antara 1 kilometer hingga 3 kilometer dari tenda mereka.

Tidak sedikit pula jemaah yang berhaji "ala backpacker" yang tidur di mana saja dan menjalani ritual haji sepenuhnya dengan berjalan kaki. Meski tidak dianjurkan, bahkan oleh beberapa pihak dilarang, berwukuf di Jabal Rahmah memiliki nilai spiritual sendiri karena jemaah bisa merasakan lebih dekat lagi dengan Sang Penciptanya setelah menjalani perjuangan yang tidak mudah untuk mencapai Jabal Rahmah.

Selesai menjalankan shalat Maghrib di Arafah, para jemaah seluruhnya kemudian bergerak ke Muzdalifah, sekitar 8 kilometer dari Arafah, untuk menjalankan mabit atau bermalam di Muzdalifah. Para jemaah harus berdesak-desakan masuk ke dalam bus yang akan membawa mereka ke Muzdalifah.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com