Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Libya Masih Penuh Ketidakpastian

Kompas.com - 16/02/2014, 11:33 WIB
Oleh: Musthafa Abd Rahman

Rakyat Libya pada Senin (17/2) besok akan menggelar peringatan tiga tahun revolusi 17 Februari 2011. Revolusi rakyat yang kemudian beralih menjadi perang saudara itu telah menggulingkan rezim tirani Moammar Khadafy yang berkuasa di negeri itu sejak 1969.

Revolusi rakyat Libya berawal di kota Benghazi, Libya timur, pada 17 Februari 2011. Kota tersebut dalam sejarah Libya memang dikenal sebagai kota pemberontak terhadap pemerintah pusat.

Namun gerakan melawan rezim diktator Khadafy sesungguhnya sudah dimulai dua hari sebelum itu, yakni pada 15 Februari 2011. Pada tanggal itu, ratusan keluarga aktivis yang disekap di penjara Abu Salim di Tripoli, berunjuk rasa di depan kompleks pengadilan di kota Benghazi.

Hanya dalam hitungan jam, sudah jatuh korban 38 pengunjuk rasa tewas akibat ditembak aparat keamanan Libya saat itu.

Dua hari setelah itu, yakni 17 Februari 2011, berkobar apa yang disebut Hari Kemarahan Libya yang segera menjalar dari Benghazi ke kota-kota lain di seantero Libya. Hari itu yang kemudian disebut sebagai hari revolusi rakyat Libya.

Korban pun berjatuhan di seantero negeri akibat aparat keamanan menggunakan kekuatan berlebihan dalam menghadapi pengunjuk rasa itu.

Anggota militer dan aparat keamanan Libya, khususnya di Libya timur, mulai membelot dan bergabung dengan kaum revolusioner Libya. Satu per satu kota pun jatuh ke tangan kaum oposisi, terutama di Libya timur. Para petinggi Libya juga mulai membelot dan bergabung dengan kaum revolusioner, seperti Menteri Peradilan Mustafa Abdel Djalil yang kemudian menjadi ketua Dewan Transisi Nasional (NTC) Libya.

Revolusi rakyat Libya itu segera pula menjadi perang saudara yang berlangsung selama delapan bulan, dari bulan Februari hingga Oktober 2011. Dalam perang itu, telah tewas sebanyak 50.000 warga Libya, ribuan lainnya hilang, dan ribuan lagi luka-luka.

Revolusi rakyat Libya yang dibantu kekuatan militer NATO sejak bulan April 2011, akhirnya berhasil mendobrak kota Tripoli pada Agustus 2011 dan menduduki istana Khadafy di Bab al-Aziziyah.

Khadafy dan sejumlah kecil loyalisnya kemudian melarikan diri ke kota Sirte, Libya tengah, yang dikenal sebagai kota kelahirannya. Sirte pun dikepung dari segala arah oleh pasukan oposisi.

Khadafy dan pasukan loyalisnya sempat melakukan perlawanan terhadap pasukan oposisi yang mengepung kota itu. Namun, diktator nyentrik itu akhirnya tewas dekat Sirte pada Oktober 2011 di tangan milisi bersenjata dari kota Misrata. Khadafy tewas ketika mencoba lari dari Sirte.

Sulit ditebak

Akan tetapi, sejak ambruknya rezim Khadafy, Libya yang dikenal kaya minyak diwarnai gejolak politik dan keamanan. Sulit menebak bagaimana akhir cerita Libya pasca-Khadafy. Menjadi stabil atau malah semakin kacau balau?

Segala sesuatu di Libya berjalan seiring, antara upaya membangun negara baru untuk menciptakan stabilitas bagi rakyatnya, dan aksi ledakan, kerusuhan, pembunuhan, serta penculikan yang tak pernah berhenti sampai saat ini.

Di tengah ketidakpastian di negara di tepi Laut Mediterania yang berpenduduk sekitar 7 juta jiwa itu, pengaruh milisi bersenjata yang tersebar di seantero negeri semakin merajalela. Permasalahan kian rumit setelah sisa-sisa loyalis Khadafy berhasil mengonsolidasikan diri dan membangun kekuatan bersenjata di wilayah Libya selatan, yang berdekatan dengan perbatasan Chad dan Niger.

Pemilu parlemen (Kongres Nasional Umum/GNC) yang digelar pada Juli 2012 ternyata hanya menghasilkan parlemen dan pemerintah pusat yang lemah. Alih-alih mampu mengontrol seluruh wilayah Libya yang memiliki luas hampir 2 juta kilometer persegi, itu pemerintahan Perdana Menteri (PM) Ali Zeidan pun tak mampu mengontrol ibu kota Tripoli.

Bahkan GNC dan PM Zeidan sering tidak sejalan. Beberapa kali GNC mencoba mengajukan mosi tak percaya untuk menjatuhkan pemerintah Ali Zeidan, tetapi selalu kegagalan.

Maka, hanya di atas kertas saja ada pemerintahan Libya yang dipimpin PM Zeidan. Penguasa sesungguhnya di Libya adalah milisi-milisi bersenjata yang mengontrol kota-kota di negara itu.

Antara milisi bersenjata di satu dan lain kota berbeda-beda, sehingga setiap kota ada milisi penguasa sendiri dengan pengikut loyalnya masing-masing.

Menolak serahkan senjata

Mantan PM Libya dari kubu oposisi pada masa revolusi yang kini menjadi Ketua Aliansi Kekuatan Nasional di parlemen, Mahmud Jibril, dalam wawancara dengan harian Al Hayat pada 9 Februari lalu, mengungkapkan, setelah tewasnya Khadafy pada Oktober 2011, ia telah meminta semua anggota milisi menyerahkan senjatanya ke negara.

Para milisi itu kemudian diberi kebebasan untuk memilih kembali ke profesinya yang lama atau bergabung dengan militer atau polisi Libya yang akan dibentuk.

Namun, lanjut Jibril, milisi-milisi itu menolak menyerahkan senjata mereka, kecuali sebagian kecil saja.

Menurut Jibril, persoalan terbesar Libya saat ini adalah adanya senjata dalam jumlah besar di tangan milisi-milisi yang sering memaksakan kehendaknya dengan menggunakan kekuatan senjata itu.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com