Salin Artikel

Sosok Uskup Korban Penusukan Dalam Aksi Terorisme di Australia

Proyeksi gambar pita hitam tersebut harusnya jadi momentum bagi masyarakat untuk berkabung. Namun, di hari itu di Sydney justru terjadi insiden penusukan baru. Kali  ini menargetkan jemaat jemat Gereja Kristus Gembala Baik yang merupakan denominasi Gereja Ortodoks Asiria.

Seorang remaja laki-laki berusia 16 tahun menjadi tersangka dalam kasus penusukan itu. Sedikitnya ada tiga korban (seorang uskup, pendeta, dan jemaat gereja) dalam insiden tersebut. Mereka mengalami luka.

Kasus itu memperoleh kecaman publik yang luas. Insiden tersebut terjadi di tengah-tengah khotbah yang disiarkan secara langsung. Potongan adegan penusukan segera tersebar ke berbagai penjuru media sosial.

Hanya dalam waktu singkat, sekumpulan besar orang berdatangan ke lokasi. Warga menyorakkan “mata ganti mata” dan mendesak agar pelaku segera “dibawa keluar” dari dalam gereja.

Protes berlangsung berjam-jam dan tidak terorganisir. Lebih dari 100 polisi dari berbagai kawasan di Sydney dialihtugaskan ke lokasi penusukan itu guna menjaga kondisi tetap kondusif.

Amarah warga menjadi-jadi setelah tersebar sebuah video yang menunjukkan pelaku sedang mengkritik ucapan sang uskup terkait agama tertentu, sembari dirinya ditahan oleh para jemaat gereja pasca penusukan. Situasi kian memanas pasca rilisnya pernyataan kepolisian pada keesokan harinya yang menyatakan insiden tersebut sebagai aksi terorisme yang dimotivasi oleh ekstrimisme agama.

Banyak warga menggunakan momentum itu untuk mengutarakan kebenciannya kepada komunitas agama lain. Padahal, kepolisian sendiri tidak pernah memberikan detail terkait agama pelaku.

Uskup yang Jadi Korban Terkenal di Media Sosial

Kekacauan setelah penusukan itu dikatakan terjadi akibat belum meredanya ketegangan masyarakat usai insiden penusukan di pusat perbelanjaan Westfield yang terjadi dua hari sebelumnya. Perdana Menteri Australia, Anthony Albanese, mendesak masyarakat tidak main hakim sendiri.

“Kami memahami kesusahan dan kekhawatiran yang ada di masyarakat, terutama setelah peristiwa tragis di Bondi Junction pada hari Sabtu,” kata Albanese kepada wartawan, merujuk pada pusat perbelanjaan Westfield Bondi Junction.

Kekacauan itu juga terjadi kaena salah satu korban, yaitu Uskup Mar Mari Emmanuel, merupakan figur terkenal di berbagai platform media sosial.

Emmanuel lahir dan besar di Irak dari keluarga kristen yang taat. Dia pindah ke Australia bersama orangtuanya tahun 1980-an. Dia ditabiskan menjadi uskup  tahun 2011. Kini, dia menjadi pemimpin konservatif di gereja yang menjadi lokasi penusukan itu.

Khotbahnya rutin ditayangkan di Facebook dan Youtube milik gereja. Jika dikombinasikan, kedua platform milik gereja tersebut telah memiliki pengikut lebih dari 240.000 orang.

Uskup yang berusia 53 tahun itu mendapat penghargaan dari YouTube tahun lalu atas pencapaiannya mencapai 100.000 subscribers. Di TikTok, ia juga sangat populer dikalangan anak muda. Sebagai figur religius di internet, tentu kritik dan ujaran kebencian juga sudah jadi makanan sehari-harinya.

Dalam khotbahnya, Emmanuel menyindir isu-isu sekuler, seperti meragukan terpilihnya Joe Biden sebagai presiden Amerika Serikat, mempertanyakan hak-hak kaum gay, hingga mendesak Donald Trump untuk tetap setia kepada Tuhan dan menolak pengaruh Freemason.

Popularitas Emmanuel mencapai puncaknya saat pandemi Covid-19 saat banyak orang beralih ke khotbah Emmanuel yang ditayangkan secara daring. Emmanuel menjadi penentang yang vokal terhadap kebijakan lockdown dan vaksin. Ia menyebutnya perbudakan dan tidak ada gunanya.

Mengapa Dianggap sebagai Aksi Terorisme?

Sempat beredar rumor bahwa aksi penusukan di pusat perbelanjaan Westfield merupakan aksi terorisme. Namun, rumor itu dibantah karena pelaku tidak memiliki motif yang menunjukkan indikasi terorisme. Sementara aksi penusukan di Gereja Asiria dinilai sebagai aksi terorisme.

“Jawaban sederhananya adalah untuk menyebutnya sebagai aksi teroris, Anda memerlukan indikasi, informasi atau bukti yang menunjukkan bahwa sebenarnya motivasinya bermotif agama atau ideologis,” kata Mike Burgess, direktur jenderal Organisasi Intelijen Keamanan Australia (ASIO) kepada wartawan.

Di Australia, pada dasarnya serangan teroris didefinisikan sebagai “suatu tindakan, atau ancaman untuk melakukan suatu tindakan, yang dilakukan dengan maksud untuk memaksa atau memengaruhi masyarakat atau pemerintah manapun dengan intimidasi, untuk memajukan tujuan politik, agama, atau ideologi.”

Untuk disebut sebagai aksi terorisme, serangan harus menyebabkan kematian atau setidaknya mengancam keselamatan orang lain, kerusakan parah terhadap properti, resiko serius terhadap kesehatan dan keselamatan publik, atau gangguan terhadap telekomunikasi atau jaringan listrik. Di Australia, terbukti memberi dukungan ke teroris juga dianggap sebagai kejahatan.

Kepolisian New South Wales (NSW) mengatakan, keputusan untuk menyebut serangan penusukan di gereja itu aksi terorisme dilandasi oleh ditemukannya unsur-unsur menyangkut aksi ekstrimisme agama dan intimidasi terhadap publik.

“Dengan menghadiri gereja tersebut, saat siaran langsung, mengintimidasi tidak hanya umat yang hadir tetapi juga umat paroki yang menonton secara daring dan seterusnya, orang-orang yang datang ke gereja dari luar dan kerusuhan yang terjadi setelahnya.”

Meski sudah diklasifikasi sebagai aksi terorisme, status ancaman teror Australia kini masih dalam level “possible”. Sebelumnya, Australia sempat dalam status “probable” pada tahun 2014 sebagai dampak munculnya kelompok ekstrimis ISIS di Timur Tengah. Namun, status ini menurun menjadi “possible” tahun 2022.

https://internasional.kompas.com/read/2024/04/17/175614070/sosok-uskup-korban-penusukan-dalam-aksi-terorisme-di-australia

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke