Salin Artikel

Krisis Iklim Berdampak pada Ketidaksetaraan Gender

Beberapa wilayah mulai kekeringan akibat tingginya suhu dan rendahnya curah hujan. Di sisi yang lain, ada wilayah yang rawan bencana seperti banjir atau kebakaran hutan. Tidak hanya itu, kini dalam mengakses kebutuhan-kebutuhan dasar perlu berhati-hati karena tingginya polusi, mulai dari polusi air hingga polusi udara.

Tidak hanya manusia, hewan dan tumbuhan juga terancam kehidupannya karena iklim yang semakin tidak menentu. Isu iklim dalam beberapa tahun terakhir menjadi salah satu fokus dalam forum-forum internasional. Beberapa upaya juga telah dilakukan guna mencegah kondisi ini menjadi lebih buruk.

Salah satu upaya global dalam menangani isu iklim adalah dengan menetapkan batas kenaikan suhu maksimal 1,5 derajat Celcius dari suhu pra-industri. Namun, laporan State of the Global Climate dari Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) yang berbasis di Geneva, Swiss, menyampaikan adanya kekhawatiran bahwa misi tersebut akan sukit tercapai melihat realitas saat ini.

“Belum pernah kita sedekat ini, walaupun hanya sementara, pada batas bawah 1,5°C sesuai perjanjian Paris mengenai perubahan iklim,” kata Sekretaris Jenderal WMO, Celeste Saulo. “Komunitas WMO menyuarakan peringatan merah kepada dunia,” lanjut Saulo.

Menurut Copernicus Climate Service Uni Eropa, rata-rata suhu global pada Maret 2023 hingga Februari 2024 telah melampaui batas 1,5 derajat Celcius dengan suhu rata-rata yaitu 1,56 derajat Celcius.

“Bumi mengeluarkan seruan darurat,” kata Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres. “Laporan State of the Global Climate terbaru menunjukkan bahwa planet kita berada di ambang kehancuran. Polusi bahan bakar fosil membuat kekacauan iklim semakin parah.”

Krisis iklim akan memberikan dampak yang signifikan terhadap kelayakan Bumi. Semakin parah krisis iklim, semakin tidak sehat Bumi untuk ditinggali. Terlebih lagi, krisis iklim juga dapat memicu berbagai macam masalah kemanusiaan mulai dari kekerasan, pelanggaran hak asasi manusia, pemindahan paksa, bahkan hingga ketidaksetaraan gender.

Tahun 2022, sebanyak 84 persen pencari suaka dan pengungsi berasal dari negara-negara yang rawan akan krisis iklim. Angka ini meningkat pesat dari tahun 2010 yang hanya 61 persen. Demikian menurut data Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR).

Di saat yang sama, ada sejumlah besar kelompok yang justru terpaksa berpindah ke negara rawan krisis iklim. Di tempat baru tersebut mereka kemudian kesulitan mendapatkan akses kepada kebutuhan-kebutuhan dasar.

Adapun kelompok-kelompok yang dilaporkan paling terdampak dari krisis iklim salah satunya adalah perempuan. Hal ini diakibatkan oleh peran, tanggung jawab, dan norma budaya yang berlaku di lingkungan mereka tinggal.

Bagi perempuan, krisis iklim dapat berperan sebagai pengganda ancaman. Banyak perempuan dalam kehidupan sehari-hari sudah berhadapan dengan ketidaksetaraan gender. Ketika krisis iklim melanda, kesenjangan semakin memburuk.

PBB menemukan, krisis iklim dapat meningkatkan resiko kekerasan kepada perempuan oleh pasangan, anak perempuan dikeluarkan dari sekolah, hingga pernikahan anak.

Selain hal-hal di atas, krisis iklim juga dapat meningkatkan resiko pelecehan seksual dan perdagangan manusia.

Menurut laporan tahun 2022 dari PBB untuk Narkoba dan Kejahatan, krisis iklim menghancurkan mata pencaharian, membuat orang jatuh miskin dan memaksa mereka meninggalkan rumah serta komunitasnya. Bagi perempuan, hal ini memperburuk kerentanan mereka terhadap eksploitasi seksual.

Para pelaku kekerasan dan perdagangan manusia akan lebih mudah menyasar perempuan yang berada di kota-kota asing atau mereka yang terpaksa tinggal di kamp-kamp dan tempat penampungan padat yang penuh orang asing.

“Ketika kita melihat siapa yang terkena dampak terburuk, siapa yang berada di garis depan krisis iklim, maka yang paling utama adalah perempuan-perempuan di negara-negara miskin dan rentan,” kata Selwin Hart, penasihat khusus Sekretaris Jenderal PBB untuk Aksi Iklim dan Transisi Adil, kepada CNN.

Nigeria

Berdasarkan data UNICEF, lebih dari 10 juta anak usia lima sampai dengan 14 tahun tidak bersekolah di Nigeria. Di wilayah timur laut dan barat laut negra itu, tidak sampai setengah dari total keseluruhan anak perempuan bisa bersekolah.

Tingginya jumlah anak-anak tidak bersekolah di Nigeria didorong oleh berbagai faktor seperti kemiskinan, geografis, dan diskriminasi gender. Isu ini kemudian juga diperparah dengan krisis iklim.

Suhu di Nigeria terus meningkat, membuat negara tersebut semakin panas dan kering. Cuaca ekstrem yang mengakibatkan banjir bandang dan tanah longsor semakin sering terjadi. Bencana-bencana alam akibat iklim seperti ini dapat mengakibatkan sekolah-sekolah sulit diakses dan tidak aman.

Tidak hanya itu, keluarga-keluarga yang kesulitan akibat krisis iklim seringkali memanfaatkan anak-anaknya untuk membantu perekonomian keluarga. Banyak perempuan Nigeria yang sehari-harinya sudah dilarang bersekolah, kini semakin sulit untuk memperoleh pendidikan akibat dari kondisi ini.

Brasil

Hutan hujan Amazon menyerap lebih banyak karbon dioksida di atmosfer daripada yang dilepaskan, menjadikannya hutan penyerap karbon yang paling penting. Sayangnya, krisis iklim dan deforestasi untuk pertanian dan peternakan mengancam keberlangsungan Amazon. Jika terlanjur kritis, maka akan sulit dipulihkan kembali.

Di Brasil timur laut, sekelompok perempuan di Lembah Amazon berupaya menentang perusahaan-perusahaan besar yang dengan ketat mengendalikan hutan Amazon. Sebanyak 60 perempuan pengumpul kelapa dari pohon palem babassu asli yang diwawancara CNN berkata bahwa kehidupan mereka semakin terancam karena perusahaan pertanian besar terus menebang hutan dan membatasi akses mereka ke pohon-pohon tersebut.

Sebagai respon, sebanyak 2.000 perempuan bersatu membentuk Gerakan Pemecah Kelapa Babassu untuk melindungi dan menjamin akses terhadap hutan palem asli babassu. Kelompok ini mengatakan kepada CNN bahwa gerakan mereka ini bukan hanya untuk memperjuangkan ketahanan pangan, melainkan sebagai perjuangan kesetaraan gender.

Filipina

PBB menemukan, tingkat perdagangan manusia di Filipina meningkat pasca Topan Haiyan di tahun 2013 yang menewaskan sekitar 6.000 orang.

Sebagai langkah penanganan, Filipina membentuk beberapa organisasi yang berdedikasi untuk mengakhiri perdagangan manusia. Salah satunya yaitu Yayasan Bantuan Pembangunan Pemberdayaan Pemulihan Rakyat (PREDA) yang berfokus dalam membantu membebaskan perempuan dari rumah bordil dan pedagang seks serta menyediakan perlindungan bagi mereka.

Pakistan

Kota Jacobabad di Provinsi Sindh, tenggara Pakistan, merupakan salah satu kota terpanas di Bumi. Tahun 2022, gelombang panas ekstrem di provinsi tersebut menyebabkan peningkatan suhu sampai dengan 50 derajat Celcius.

Wanita di Sindh yang sedang hamil mengatakan kepada peneliti dari organisasi nirlaba kesehatan ibu, White Ribbon Alliance, bahwa mereka mengalami banyak sekali masalah kesehatan, termasuk pingsan, mual, kehilangan nafsu makan, dan dehidrasi.

Banyak dari mereka yang tidak punya pilihan dan harus tetap bekerja serta sering berada di luar ruangan. Kondisi semakin memburuk akibat kurang istirahat dan suhu terik, membuat tubuh mereka semakin terbebani.

Bahkan setelah melahirkan, beberapa perempuan melaporkan kesulitan menyusui di cuaca panas. Banyak ibu yang khawatir terhadap kesehatan bayi mereka yang baru lahir karena rumah mereka yang panah, tanpa kipas angin atau cara lain untuk tetap sejuk. Para perempuan tersebut menuntut dukungan keuangan yang lebih baik dan akses terhadap panel surya untuk menyalakan kipas angin.

Guatemala

Guatemala merupakan salah satu negara paling rentan terhadap krisis iklim di dunia. Musim hujan yang biasanya dimulai bulan Mei kini bergeser. Ketika hujan, seringkali juga terlalu deras dan justru merusak.

Krisis ini paling banyak berdampak di dataran tinggi bagian barat Guatemala. Tanaman banyak yang hancur sehingga mata pencaharian warga hilang, mendorong mereka untuk pindah dari rumah mereka dan mencari pekerjaan di kota bahkan negara lain.

Perempuan-perempuan dari kelompok ini yang memiliki akses terbatas terhadap pendidikan, keuangan, dan sosial menjadi kelompok paling terdampak dari migrasi ini. Laki-laki merupakan mayoritas dari migrasi ini, sehingga menggandakan beban perempuan di sana. Perempuan-perempuan tersebut harus melindungi rumah dan anak-anak mereka sembari mencari cara untuk menghasilkan uang sendiri sampai para laki-laki dapat mengirim uang kepada mereka.

Bangladesh

Menurut Save the Children, Bangladesh dianggap sebagai “titik darurat” bagi hak-hak anak perempuan. Cuaca ekstrem di Bangladesh membuat semakin banyak orang jatuh ke dalam kemiskinan. Banyak keluarga yang kemudian menjadi putus asa. Untuk meringankan beban finansialnya, kata Save the Children, sejumlah anak dinikahkan oleh keluarganya.

Marufa Khatun dari Satkhira di barat daya Bangladesh contohnya. Ia menikah pada usia 11 tahun karena orangtuanya tidak mampu lagi mengurus rumah setelah topan dan banjir melanda lingkungan mereka.

Dalam laporan CNN pada November lalu, Marufa sudah berusia 14 tahun dan menjadi seorang ibu dari bayi berusia 3 bulan. “Saya menikah dini karena bencana alam sering terjadi saat ini dan ayah kami tidak mampu membiayai pengeluaran kami,” katanya.

Pemerintah di seluruh dunia telah berkomitmen untuk mengakhiri pernikahan anak pada tahun 2030. Namun analisis terbaru Save the Children menemukan, hampir 9 juta anak perempuan di seluruh dunia menghadapi resiko ekstrem bencana iklim dan pernikahan anak setiap tahunnya.

https://internasional.kompas.com/read/2024/03/25/103224170/krisis-iklim-berdampak-pada-ketidaksetaraan-gender

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke