Salin Artikel

Krisis Dokter Korea Selatan, Ada Apa Sebenarnya?

Hal itu menghambat operasi di berbagai rumah sakit besar serta mengancam kestabilan layanan kesehatan di negara tersebut.

Sebanyak 10.000 dokter bahkan mengajukan pengunduran diri dari ratusan rumah sakit di seluruh penjuru Korea Selatan.

Untuk pertama kalinya, pemerintah Korea Selatan mengeluarkan peringatan level tinggi pada sektor kesehatan masyarakat.

Mogok kerja besar-besaran itu didorong oleh rencana pemerintah untuk meningkatkan kuota penerimaan mahasiswa kedokteran tahunan di Korea Selatan sebanyak 2.000 orang. Saat ini kuotanya hanya 3.058 orang. Jika nanti ditambah, kuotanya menjadi 5.058 orang per tahun.

Rencana penambahan kuota itu dimaksudkan untuk meningkatkan jumlah dokter di Korea Selatan hingga setidaknya 10.000 dokter pada tahun 2035 guna mengatasi penuaan penduduk yang cepat. Pemerintah memperkirakan bahwa pada tahun 2025, lebih dari seperlima penduduk Korea Selatan akan berusia di atas 64 tahun.

Adapun bidang-bidang yang menjadi fokus utama pemerintah dalam rencana perluasan kuota ini mencakup pediatri, kebidanan, dan perawatan darurat.

Alasan Penolakan

Para dokter yang mogok kerja keberatan terhadap rencana pemerintah meningkatkan kuota mahasiswa kedokteran dengan alasan bahwa sudah cukup banyak dokter di Korea Selatan. Para dokter ini juga menambahkan bahwa perluasan perekrutan justru akan membahayakan kualitas perawatan medis di negara itu.

Para dokter itu memprediksi bahwa dokter yang bersaing dengan lebih banyak orang akan melakukan perawatan yang berlebihan sehingga meningkatkan pengeluaran medis negara.

Selain itu, sama seperti mahasiswa kedokteran saat ini, sebagian besar mahasiswa kedokteran yang direkrut kemungkinan besar juga akan bekerja di profesi yang populer dan berbayaran tinggi seperti bedah plastik dan dermatologi. Hal ini berarti masalah kekurangan dokter di bidang penting tetapi berbayaran rendah seperti pediatri, obstetri, dan departemen gawat darurat akan tetap tidak berubah.

Selain menyampaikan keberatan, para dokter juga menuntut adanya penambahan upah dan pengurangan beban kerja. Para dokter itu mengaku, alasan utama mereka mogok kerja adalah perihal upah dan beban kerja, bukan menentang rencana kuota mahasiswa kedokteran.

Laporan pemerintah Korea Selatan mengatakan, setiap 1.000 orang di negara itu hanya ditangani oleh 2,1 dokter. Angka tersebut masih terhitung rendah dibandingkan dengan rata-rata negara maju yang mencapai 3,7 dokter per 1.000 orang.

Dengan adanya penambahan kuota mahasiswa kedokteran, pemerintah berharap angka ini dapat segera diperbaiki. Namun siapa sangka, rencana itu justru mendorong krisis yang lebih parah.

Dampak

Semenjak berjalannya mogok kerja, beberapa rumah sakit besar terpaksa membatalkan 50 persen jadwal operasi bahkan terpaksa menolak melayani warga yang membutuhkan penanganan medis segera.

Di beberapa rumah sakit besar, jumlah dokter muda mencapai 30 persen sampai dengan 40 persen dari total keseluruhan dokter. Para dokter muda ini juga memegang peranan penting sebagai asisten dokter senior selama operasi serta menangani pasien rawat inap.

Dampak dari hal tersebut, pemerintah terpaksa memperpanjang jam kerja di lembaga medis, membuka ruang gawat darurat di rumah sakit militer untuk umum, dan memberikan izin kepada perawat untuk melakukan beberapa prosedur medis yang biasanya hanya dilakukan dokter.

Seorang warga lokal melaporkan kepada Reuters bahwa dia telah ditolak oleh tiga rumah sakit sampai akhirnya diterima oleh rumah sakit umum di Seoul, padahal, pasien tersebut membutuhkan tindakan operasi segera pada kakinya yang mengalami patah tulang.

Seorang pasien lain bernama Lee Joo-Hyung menyampaikan kekhawatirannya akibat adanya mogok kerja para dokter itu. Lee Joo-Hyung yang memiliki penyakit asma khawatir akan kesulitan menemukan dokter untuk membantunya dalam tiga bulan ke depan.

Ironisnya lagi, seorang lansia di Korea Selatan dikabarkan tewas setelah ambulans yang mengangkutnya ditolak berbagai rumah sakit karena adanya mogok kerja. Kasus ini masih berada dalam investigasi pemerintah.

Para pengamat mengatakan, stabilitas layanan kesehatan Korea Selatan akan semakin terpuruk jika mogok terjadi terlalu lama. Jika dokter senior juga ikut bergabung dengan protes itu, hal  yang mungkin saja terjadi, maka kondisi akan ikut semakin terpuruk.

Sejumlah orang mengatakan bahwa para dokter muda yang mogok kerja itu sebenarnya hanya khawatir upahnya akan semakin berkurang jika jumlah dokter ditambahkan. Dokter sebenarnya termasuk profesi yang dibayar tinggi di Korea Selatan, dan pemogokan para dokter magang sejauh ini gagal memenangkan dukungan publik, dengan survei yang menunjukkan sekitar 80 persen responden cenderung mendukung rencana perekrutan pemerintah.

Sebagai respons terhadap krisis itu, pemerintah mengeluarkan perintah bagi para dokter tersebut untuk segera kembali bekerja. Bagi yang menolak mematuhi perintah, lisensi medis mereka akan ditangguhkan hingga satu tahun dan bisa dipenjara tiga tahun atau denda 30 juta won. Mereka yang menerima hukuman penjara juga akan dicabut lisensi medisnya.

Walau demikian, beberapa pengamat mengatakan, pihak berwenang kemungkinan akan membatasi hukuman untuk para pemimpin mogok kerja karena takut akan adanya tekanan lebih lanjut pada operasi rumah sakit.

https://internasional.kompas.com/read/2024/03/01/060000070/krisis-dokter-korea-selatan-ada-apa-sebenarnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke